73.CALM DOWN

3 0 0
                                    

Tin ... tin ...
"Ah ... siapa sih?" Dengan kepala menelungkup di atas kasur, Elena bergerak.

Tin-tin .... klakson mobil terdengar lagi di luar jendelanya. "Diam!" erangnya sambil terkantuk-kantuk, merapatkan bantal ke telinganya dan mengubur wajahnya semakin dalam ke pelindung matrasnya yang berlapis-lapis.

Tin-ti-ti-ti-tin ... tin-tin ....
Berbunyi lagi. Kali ini lebih mendesak, meski terdengar seperti dibuat-buat. Elena mengerang dengan enggan. "Kenapa sih mereka harus membuat kebisingan di jalan?!" teriak Elena menggerutu sendiri.
Mau tak mau Elena mendengar bunyi klakson itu lagi dan lagi, Elena merasa suaranya itu berada tepat di depan flatnya.
"Oh, shit!" serunya meledak dari selimut dalam semburan kacau yang terdiri atas lengan, kaki, payudara dan rambut. Elena melesat ke jendela kamar dan menyentak kan bilah-bilah kerai tirai kayunya. Persis di seberang jalan, di bawah, sebuah Mercedes hitam terparkir dengan mesin menyala. Sang pengemudinya adalah seorang wanita berumur lima puluhan dengan kulit eksotis yang mengenakan syal sutra merah muda yang dilingkarkan di sekeliling kepalanya membentuk semacam turban. Setumpuk perhiasan perak besar, serta lipstik merah bata yang warnanya bertabrakan sedang mengintip keluar dari jendela mobil. Kedua tangannya menekan dengan mantap tanpa kompromi pada klakson. Itu adalah Margaret, asisten pribadi CEO The Only One Design. Sebuah agensi seni dan desain internasional tempat Elena bekerja selama tiga tahun terakhir. Kendati perbedaan umur diantara mereka cukup jauh, Elena dan Margaret adalah sahabat baik. Setiap berangkat bekerja, Margaret memberikan tumpangan untuk Elena.

Tiiiiiiiiiiiiin .....

"Ya Tuhan! Aku kesiangan!" seru Elena sambil berlari kesana-kemari sambil bersiap diri sebelum terlihat oleh Margaret jika dirinya baru saja bangun. Melewati bak mandi tercinta beserta segala macam ritual yang biasanya dia lakukan di kamar mandi. Elena bergerak kalang kabut, memakai apapun yang kebetulan tergeletak di sofa lalu melesat cepat keluar dari flat setelah memasukkan berbagai benda ke dalam tasnya. Perutnya bergemuruh keras, dia lupa jika dirinya belum memasukkan makanan atau minuman kedalam perutnya.

Elena segera menunjuk dapur dan mencari sesuatu yang dapat ia gunakan untuk menenangkan perut laparnya itu. Sebotol yogurt dirasa cukup untuk ukuran perut seorang Elena Fairly. Namun kenyataannya minuman itu ternyata sudah lewat dari tanggal kadaluwarsanya. Elena segera menyemprotkan yogurt itu dari mulutnya dan yang terjadi sebagian menetes dan mengotori lengan bajunya. Sambil mengumpat dengan fasih, dilemparkannya minuman itu ke tempat sampah dan meninggalkannya, menepuk lengan baju dengan serbet yang penuh dengan serbuk kopi milik Harley sehingga meninggalkan bekas bintik-bintik hitam kecil pada lengan kardigan LV favoritnya. Sementara Margaret masih saja membunyikan klakson membabi buta.

"Sebentar ...." teriak Elena seraya berjalan keluar.

"Santai saja, Cantik. Kita tidak buru-buru," sindir Margaret dengan santai, setelah itu melesat menuju Wandsworth Common.

Sepanjang perjalanan Elena hanya berdiam diri, dirinya masih memikirkan kejadian pagi ini yang membuat dirinya berantakan.

"Apa kau baik-baik saja? Kau nyaris tidak bicara." ucap Margaret penasaran.

"Apa? Oh ya, ya," jawab Elena gelagapan. "Begini, tentang pagi ini ... aku minta maaf tentang keterlambatan ku. Hari ini ulang tahunku dan ...."

"Wow, sweetie, harusnya kau bilang," keluh Margaret seraya memukul paha Elena dengan sayang dan menatapnya cerah.

"Marg. Jalannya!" tegur Elena pada Margaret yang tidak memperhatikan jalan.

"Tiga puluh satu," cengir Elena, hidungnya mengerut ketika memikirkan bahwa dirinya sudah menjadi wanita dewasa. 'Sangat tua' menurut Elena sendiri. Tapi melihat dari sisi positifnya, dengan kecepatan seperti ini dia beruntung kalau bisa hidup sampai umur tiga puluh dua, pikirnya sambil mencengkram kain jok kursi yang sudah rantas. Sementara mereka menerobos lampu lalu lintas, dari arah yang berlawanan sebuah mobil Ferarri melaju ke arah mereka.

"Marg, mobil itu!" pekik Elena, dia sudah mempersiapkan diri untuk sebuah tabrakan.

"Aku lihat, aku lihat, kok ...." sanggah Margaret sambil membanting setir dengan sudut tajam. Decitan rem yang memekakkan telinga membahana dan pria pengemudi mobil itu mulai membunyikan klaksonnya penuh amarah. Sementara Margaret justru berlaga tidak tahu apa-apa.

"Awww, masih bayi," umpat Margaret sambil tertawa gembira.
Bagi Elena seorang Margaret adalah wanita yang memiliki saraf baja. Mengenai kejadian barusan, wajah Elena sudah pucat pasi karena takut.

"Kuberi tahu ya, saat kau seumuran ku baru kau perlu mulai khawatir," lanjut Margaret terdengar sama sekali sekali tidak khawatir.

Elena terpaksa tersenyum. "Aku justru tidak melihatmu khawatir, Marg."

"Aku tahu. Dan kau benar," Margaret mengangguk lalu tertawa keras-keras.

Sesampainya mereka di gedung tempat mereka bekerja, segera mereka menuju ruang masing-masing. Elena sibuk dengan pekerjaannya yang lumayan menumpuk. Tak banyak yang bisa dilakukan Elena dengan pikirannya yang kacau karena Harley. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang seharusnya dia bisa bergembira, namun sayang kenyataan tak selamanya indah. Kini Elena tak ingin semakin larut dengan pikirannya tentang Harley, ia fokus dengan pekerjaan yang menuntutnya untuk segera selesai hari ini.

Sementara di tempat yang berbeda, Vincent masih meratapi kesedihannya karena kepergian Jane. Waktu bisa sangat menyebalkan, satu menit yang lalu dia tidak ingin pergi kemana-mana, kemudian menit berikutnya ... bum! Dia menderu secepat kilat ke masa depan hingga seolah-olah segalanya sudah berakhir sebelum dimulai.

Mencium Jane untuk terakhir kalinya, Vincent bisa merasakan bahwa proses itu sudah dimulai. Seketika Jane sudah mengumpulkan tas-tasnya, lalu mengatakan pada Vincent bahwa dirinya baik-baik saja agar dirinya tidak panik.

Dan sebelum Vincent sadar, tangannya sudah tidak lagi memegang pinggang Jane yang telanjang. Sekarang tangan mereka sama-sama terbenam dalam sakunya  masing-masing. Vincent melihat Jane berjalan menjauh sambil mendorong troli Samsonite. Menyaksikan Jane melambaikan tangan dan terisak, menyunggingkan senyum lesung pipi yang mempesona itu. Dan setelah itu menghilang di balik pintu geser otomatis, sedangkan Vincent masih berdiri di trotoar sendirian.

Vincent menyadari kejadian sebelumnya, saat dimana mereka berciuman di depan umum adalah satu hal yang membuat dirinya merasa ngeri, lebih tepatnya malu. "Apa yang sudah merasuki ku?" gumamnya sendiri sambil menelan ludah. Vincent membalikkan badan, perlahan-lahan dia mulai berjalan kembali ke mobilnya. Dirinya tidak pernah terburu-buru. Saat Vincent tiba tepat di samping mobilnya, tiba-tiba saku dada jaketnya mulai bergetar. Ponselnya berbunyi, dengan cekatan Vincent memasang earphone lalu dijawabnya telepon itu.
"Hei dude, kau telah bermain-main dengan kekasihku, ya? Tiruan logat Amerika yang meraung di earphone milik Vincent. Mau tak mau Vincent tersenyum. Meski pengucapan huruf vokalnya bergaya ala tempat asal Jane, sahabat lamanya, Clive, tidak pernah bisa menampik kesempatan untuk berpura-pura menjadi orang lain. Mungkin untuk anak berusia lima belas tahun pernyataan itu akan terdengar sangat menyedihkan jika mendengar ucapannya. Tapi Clive berumur tiga puluh tahun dan berprofesi sebagai seorang dokter UGD di salah satu Rumah Sakit London.

No Tears Left To Cry (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang