74.TERBAKAR CEMBURU

5 0 0
                                    

"Hai, Clive."
Terdengar desahan jengkel. "Bagaimana kau tahu itu aku?" tanya si penelpon.

"Asal saja," ucap Vincent pada sahabat lamanya itu yang sudah kalah telak untuk menggodanya. Dalam sepuluh tahun, Vincent tidak pernah melihat Clive berhasil menipu siapa pun dengan salah satu logat tiruannya.

"Jadi kurasa kau siap untuk malam ini?" tanya Clive kemudian setelah merasa kalah.

"Well, tergantung pada apa yang ada di kepalamu." jawab Vincent sambil melirik jam tangan. Dia memutar kunci kontak, menyalakan wiper-nya.

Tah tahu-menahu tentang acara besar ini, Clive meneruskan ucapannya. "Semuanya beres. Anak-anak akan berkumpul di tempatku, kami akan menjemputmu kira-kira setengah sembilan ...." terang Clive lalu melanjutkan lagi ucapannya, "Setelah itu kita akan pergi ke kota untuk minum dan melakukan banyak hal yang masih belum terpikirkan lagi. Baiklah, aku harus pergi, tugas memanggil." ucap Clive berusaha memutus percakapan.

"Apa kau tidak akan memberitahuku setidaknya ke mana kita akan pergi?" tanya Vincent penasaran.

"Itulah intinya, anak tua. Kau tidak boleh tahu ke mana kamu akan membawamu pergi. Itu kan pesta bujang mu." Terdengar suara tawa dan sambungan tiba-tiba terputus.

"Pesta ... bujang ... ku?" Vincent mengucapkan  kata-kata itu tanpa suara. Dirinya melirik sendiri di kaca spion, mencoba memeriksa dirinya sendiri. Vincent masih tidak bisa percaya hal itu sungguh akan terjadi pada dirinya, bukan orang lain. Bahwa dalam hitungan hari dia akan terbang ke Amerika untuk mengucapkan sumpah pernikahannya. Setelah bertahun-tahun melajang dia akan meninggalkan semuanya untuk menjadi seorang suami yang setia dan penyayang untuk satu wanita sampai akhir hayatnya.

Pemikiran tadi membuat perhatiannya sedikit teralihkan saat mengemudi. Entah dari mana sebuah mobil Mercedes melesat ke depannya bagaikan peluru, menghantam spion sampingnya ketika mobil itu menerjangnya dan berlalu. Vincent menarik napas penuh kemarahan, lalu menambah kecepatan. Dia mengejar ke samping mobil itu dan menoleh untuk melotot pada pengemudinya dan ingin mengajaknya bertarung. Tepat pada saat itu dia melihat bahwa itu bukan dikendarai oleh seorang bocah kota, akan tetapi dikendarai oleh seorang wanita tua gila ber turban.

Vincent melotot kaget. Pengemudi wanita urakan seperti itu seharusnya tidak diizinkan untuk mengemudi di jalanan. Ingin rasanya memberikan pelajaran pada wanita tua itu, tapi sayangnya dia sedang terburu-buru. Dia harus bersiap-siap untuk pesta bujang-nya.

Saat ini Elena tengah duduk di sebuah meja di restoran yang penuh, ditatapnya penari perut yang sedang melakukan tarian dengan campuran rasa tak percaya dan kagum. Terbiasa dengan diet ala Kim Kardashian, Beyonce, dan Kata Stone, belum lagi hukuman setiap kali sesi gym dalam seminggu sejak berumur 20 tahun, Elena kehilangan kata-kata ketika menyadari bahwa wanita 40 tahunan yang agak membosankan dengan bulu mata palsu serta atasan bikini bermanik-manik dengan merk Zara yang mulai rantas ini memiliki perut paling seksi dan paling diinginkan setiap wanita yang pernah dilihatnya. Kalau para wanita dalam jins skinny mereka saja bisa terhipnotis, maka sudah dipastikan para pria sudah lebih dulu meneteskan air liurnya.  Termasuk Harley.

"Dia luar biasa, ya?" Meraih ke seberang meja yang penuh dengan falafel serta mangkuk-mangkuk maze yang isinya tinggal separuh, Elena membelai lengan Harley untuk mendapatkan perhatiannya.

"Apa? Oh ya ...." Harley mengangguk, wajahnya merah salah tingkah. Sementara meraih gelas anggur dan meminum satu tegukan besar. "Walau harus aku katakan, aku lebih suka melihatmu memakai bikini," Harley berbisik menelusuri sisi wajah Elena dengan ibu jarinya lalu mencondongkan tubuh untuk memberinya sebuah kecupan. Malam ini dirasakan Elena dengan penuh rasa bahagia, meskipun Harley datang terlambat dan membuatnya menunggu selama 15 menit. Belum lagi Harley datang tanpa membawakannya hadiah ulang tahun yang sebenarnya sudah dinantikan Elena meski tidak seperti yang diinginkannya.

Elena tersenyum senang. Biasanya memergoki Harley memelototi wanita lain bukan hal yang menyenangkan, tapi kali ini mau tak mau dia merasa geli ketika melihat pipi Harley merona semerah saus tomat. Harley lebih mirip seperti anak sekolahan yang nakal saat sedang malu.

"Well, sepertinya kau minum cukup banyak," celetuk Elena, berusaha terdengar santai dan bukan seperti tukang mengeluh, tapi gagal sepenuhnya dan terdengar persis seperti tukang mengeluh. Elena tak dapat mencegah Harley untuk minum, seluruh kepribadiannya akan berubah. Mulanya dia akan ceria dan menyenangkan, tapi dia akan cepat berubah menjadi moody, tidak rasional dan argumentatif. Elena menatapnya, wajah Harley sudah memerah, bahasa tubuhnya sudah hidup, ekspresinya berlebihan. Elena berharap sekali saja tidak bisakah Harley tidak mabuk. Setidaknya jangan malam ini, jangan pada hari ulang tahunnya.

Tanpa peduli Harley mulai mengisi gelasnya lagi. "Aku cuma minum beberapa teguk," protesnya. Meski sudah jelas dia minum lebih banyak dari itu. Tangannya yang tidak stabil membuatnya berlebihan menuang dan anggur pun tumpah dari tepi gelasnya. Genangan merah besar mulai melebar di taplak putih itu. Terkesiap, Elena mulai menepuk-nepuk noda itu dengan serbet-nya.

"Elena, biarkan saja."

"Tapi nanti akan berbekas."

"Ini restoran, aku yakin mereka bisa menerima sedikit noda anggur."

Meraih botol garam, Elena mulai menaburi taplak itu. Percakapan di meja terhenti. Elena berpaling, wajahnya memanas. Alkohol sudah mempengaruhi kesabarannya.

"Aku mau satu botol anggur lagi ...." ucap Harley sambil menatap penuh harap ke sekeliling meja.

"Tidak usah, sungguh. Jangan pesan lagi. Jangan sekarang ...."

Tapi meskipun mengucapkan kata-kata itu, Elena tahu Harley tidak akan mendengarkannya sedikitpun.
Berpaling kembali, seringai Harley mengendur ketika melihat Elena. "Aku cuma ingin minum segelas lagi," dia mengangkat bahu, membela diri.

"Maksudmu enam gelas lagi, kan?" ralat Elena, berusaha untuk tidak terpancing. Namun selagi melihat Harley mengisi gelasnya, mau tak mau Elena berpikir bahwa Harley sudah bersikap sangat egois. Dengan datang terlambat, dengan mabuk-mabukan, dengan tidak membelikannya hadiah ulang tahun, dengan lebih memilih kemeja ketimbang dirinya, dan dengan tidak menentu tanggal pernikahan mereka sampai detik ini! Elena melihat cincin yang masih bertakhta di jarinya, sebuah pengingat bisu dan kepalsuan. Elena akhirnya sadar, tidak ada gunanya lagi untuk berpura-pura bahagia dengan semua ini. Sekarang dia mengerti. Dengan sangat jelas dia mengerti.

Di meja yang berbeda, Vincent menahan kuap.  Dirinya menuangkan sisa bir ke dalam gelasnya, memiringkan-nya sehingga cairan keemasan itu berputar pelan, menatap sebentar gelembung-gelembung mulai meledak di pinggiran, meletup menjadi buih putih sebelum perlahan-lahan menghilang.

Dia kembali pada realita. Siapapun pasti akan mengira dia sedang teler. Setelah dipikir lagi, dia benar-benar mabuk. Vincent meneguk minumannya. Bir itu hangat dan seperti sabun seraya memutar-mutar-nya di sekeliling lidah, dipertahankannya cairan itu dalam mulutnya, menikmati rasa pahitnya sambil mengamati sekeliling.

No Tears Left To Cry (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang