68.CINTA SEPIHAK

2 0 0
                                    

Harley mengerutkan dahi sehingga untaian rambut pirang yang selalu terjuntai di depan dahinya itu jatuh ke atas mata biru denim pudarnya.

"Jika kamu tidak keberatan, boleh tidak aku memberikanmu uang saja?" Kalimat pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin di dengar oleh Elena.  Bagi pengamat tidak berpengalaman hal itu akan terlihat seperti aksi spontan, padahal sebenarnya merupakan teknik yang sudah dilatih bertahun-tahun dan justru terlihat akan semakin menggemaskan. Sayangnya Elena sudah cukup mahir menghadapi seorang Harley Davidson. Sebenarnya Elena juga tidak terlalu mengharapkan hadiah dari tunangannya itu, bukannya tidak tahu berterima kasih, hanya saja selama ini Harley selalu memberinya hadiah yang terlewat mainstream. Padahal saat ulang tahun tunangannya itu, Elana selalu membelikan Harley hadiah-hadiah spontan, luar biasa, dan mahal yang menurutnya menarik. Sebaliknya Harley selalu memberinya hadiah yang membuat Elena merasa naik roller coaster dan terlewat praktis.

Contohnya tahun lalu Elena merobek bungkusan sebuah kotak kulit dan membuka tutupnya, menduga jika itu adalah perhiasan. Namun ia justru menemukan sebuah pena Mont Blanc. Memang bagus dan pasti mahal harganya dan amat sangat berguna. Tapi ... itu sama sekali bukan hadiah yang diharapkan Elena. Padahal dirinya sudah memberikan isyarat kepada Harley sebuah gaun rancangan salah satu designer yang di idolakan-nya sejak satu minggu sebelum ulang tahunnya.

"Apakah aku dimaafkan?" tanya Harley membuat lamunan Elena tentang rentetan hadiah dari kekasih sekaligus tunangannya itu buyar.
"Ya Tuhan ... dia berusaha bersikap sangat baik sementara aku bersikap seperti tunangan yang hanya bisa ngambek dan pemarah!" gumam Elena dalam hati.

Elena melempar senyum lebar lalu berkata, "Jangan bodoh, tentu saja aku memaafkan mu."

"Jadi, apakah itu artinya kamu akan meniup lili n dan membuat permintaan? Atau haruskah aku duduk seperti ini sepanjang hari, Sayang?" tanya Harley sambil mengecek jam tangannya.

Elena memutar mata dan kembali tersenyum. "Aduh ... kau sangat romantis." Puji Elena.

"Kadang-kadang aku bisa romantis," Harley tersenyum, kemudian mencondongkan tubuh untuk mencium Elena.

Merasakan bibir pria di atas bibirnya, serta aroma kulit telanjang dan aftershave lembab. Elena merasa pikirannya berkelana ke arah yang tak terduga. Biasanya rutinitas pagi hari mereka meliputi hal-hal yang biasanya dilakukan pasangan. Namun hal-hal yang biasanya mereka lakukan tidak meluas sampai ke hubungan intim, tidak untuk akhir-akhir ini karena sibuknya pekerjaan.

"Tergantung, sih ...." gumam Elena mencoba merajuk.

"Tergantung pada apa?" tanya Harley penasaran.

Tak menjawab pertanyaan Harley, Elena justru memundurkan tubuh lalu memiringkan kepalanya, menutup mata, kemudian meniup melewati ceruk bahu Harley.
Asap mulai melayang dari lilin. "Tergantung pada terkabul atau tidaknya harapanku ...." jawab Elena masih menutup mata.

Setelah itu tangannya diarahkan ke dada telanjang Harley, jemarinya menyusuri sekumpulan rambut. Elena tersenyum senang. Sebenarnya ia benci dada berbulu, tapi milik Harley menurutnya sangat seksi dan menggiurkan. Dia tidak dapat memikirkan hal yang lebih menyenangkan lagi daripada menyandarkan kepala di antara kedua bahu lebarnya yang berbulu. Tapi itulah yang namanya cinta, kini tangannya mulai bergerak turun ke handuk, atau mungkinkah itu hanya nafsu semata?

"Lebih baik aku bersiap-siap, aku akan terlambat!" seru Harley segera bangun dari tempat tidur lalu sibuk mengambil baju di dalam almari. Elena tersentak dari lamunan level X-nya. Dirasakannya sengatan kekecewaan, diikuti penolakan dan kejengkelan ketika dilihatnya pria itu menyelipkan kembali handuk ungu mudanya dengan tegas.

"Memangnya dia pikir aku akan memperkosanya?" gerutu Elena kesal.

"Maaf, Sayang. Aku ada deadline dan ...."

"Tentu," kata Elena sambil mengangguk memberikan isyarat. Dirinya berusaha bersikap santai meski hatinya masih sangat kecewa. Tidak mudah bagi Elena yang begitu menginginkan kebersamaan bersama Harley tanpa gangguan apapun di hari spesialnya itu.
Semenit sebelumnya ia masih berendam dalam busa harapan yang hangat, menyenangkan, dan sensual. Lalu menit berikutnya ia merasa dilemparkan ke bawah siraman air dingin kenyataan.

Elena merasa jengkel karena sudah dibuat merasa seperti seorang nimformnia di hari ulang tahunnya. Elena tidak mengatakan apapun saat Harley menarik celana dalam merk Calvin Klein, lalu memilih rentetan kemeja dari Thomas Pink yang tergantung di dalam lemari. Setelah itu Harley mengeluarkan setelan jas miliknya.
"Yang mana menurutmu? Yang perak, atau yang emas?" tanya Harley meminta pendapat dari tunangannya yang justru terlihat datar tidak ingin mencoba membantu.

"Terserah," jawab Elana malas karena masih jengkel. Harley seolah tidak menyadari perasaan Elana yang menginginkan sentuhan hangat darinya.

"Baiklah, aku rasa sebaiknya ... aku akan memakai yang perak saja," ucap Harley kemudian setelah menimbang-nimbang keduanya.

Elena hanya memutar kedua bola mata karena sikap Harley yang mengacuhkannya. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam menahan amarah serta kekecewaan yang mendalam. Harley memang memiliki kebiasaan menyebalkan, dia selalu mengusulkan pakaian apa yang harus dikenakannya setiap kali mereka pergi keluar. Harley ingin dia terlihat 'Klasik' serta membicarakan tentang 'Kualitas bukan kuantitas'. Bukan hanya itu saja, Harley selalu memberikan wejangan tentang investasi dalam beberapa rancangan designer yang akan bertahan hingga bertahun-tahun. Menurut Elena gagasan itu sangat membunuhnya. Dia adalah pecandu fashion yang gampang bosan dalam hitungan Minggu dan justru lebih tertarik pada apapun yang punya label seperti yang direkomendasikan dalam majalah 'Glamor'.

"Aku tidak tahu." Elena berusaha tersenyum. Hasilnya lebih seperti seringai. "Kenapa?"

"Kamu akan terlihat cantik dalam gaun hitam mungil itu." Ucap Harley kemudian.

"Gaun hitam mungil apa?" tuntut Elena curiga. Dia buka tipe wanita yang mengenakan gaun hitam mungil, dia tipe wanita yang lebih suka mengenakan jeans dan atasan sifon bermotif bunga-bunga, atau rompi manik-manik, atau juga gaun-gaun bertali spaghetti dengan warna pelangi yang menggemaskan.

"Kamu tahu, yang berlengan panjang itu." Jelas Harley kembali.

"Maksudmu gaun hitam yang kupakai ke pemakaman nenek mu?" tanya Elena meradang.

"Oh, benarkah?" ujar Harley duduk di samping tempat tidur untuk mengikat tali sepatu brogue-nya. "Sudahlah, aku cuma berpikir pasti menyenangkan melihatmu mengenakan sesuatu selain jeans sebagai selingan," gerutu Harley yang kemudian memberi kecukupan kilat di dahi Elena sebelum berderap keluar dari kamar.

Karena masih ada setengah jam sebelum dia harus bangun, Elena berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan celoteh samar dari televisi di dapur, suara keran air kamar mandi dinyalakan, bunyi kipas angin extractor yang bising, suara Harley membersihkan giginya, desis deodorant dan dengung pencukur listrik. Bagaimana bisa, satu menit dia masih merasa bahagia dan bernafsu, lalu menit berikutnya Harley berhasil menggunakan hal sepele membahas sebuah kemeja untuk memicu keraguan yang menggangu.

No Tears Left To Cry (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang