Unit apartemen Zian ramai bukan main. Lima orang siswa sekolah itu sibuk dengan urusannya masing-masing, bahkan ada yang tenggelam bersama mimpi. Sudah ada pulau baru di bantal tempatnya berbaring.
Bagas dan Seth saling melontarkan sumpah serapah dengan tangan yang sibuk bermain. Mata mereka fokus pada layar, tangan fokus pada stik ps, dan mulut yang tak berhenti adu bacot.
"Njir, ngapain lo?" Seth tertawa meremehkan. "Itu mobil abis bensin atau malah mogok?"
Bagas, yang tangannya sampai sakit karena menekan tombol ps super kuat mendecih. "Santuy, Bro. Mobil pink lo di depan mata, noh."
"Anjir! Jangan curang, lah!"
"Kejar, lah," ledek Bagas, "kalo bisa."
Teriakan mereka bahkan lebih keras dari efek suara game yang ditimbulkan. Sekeras itu, sampai yang mendengar telinganya bisa sakit, tetapi hebatnya Janu bisa tertidur lelap di sofa belakang mereka. Tidurnya lelap hingga mengeluarkan efek suara lain, mengorok, layaknya teriakan Bagas dan Seth bertransmigrasi menjadi lagu tidurnya. Walaupun, saat Seth melirik tadi, dia sampai bergidik melihat posisi tidur Janu. Bangun-bangun, Seth yakin Janu bakal sakit pinggang.
Lebih hebatnya lagi, atas beradunya teriakan dan suara ngorok itu, ada satu manusia yang duduk di atas meja makan dapur sambil membaca buku. Sudah entah berapa halaman, entah berapa bungkus jajan yang telah dihabiskan. Cakra, membaca komik karena bosan. Dia juga yang melempar bungkus keripik di sampingnya saat Bagas meminta diambilkan. Sesekali, saat suasana berisik itu sangat mengganggu, ia ikut bersuara.
"Berisik, anjir! Diem dikit, kek!"
Cakra berteriak keras, bisa membuat keadaan hening sebentar. Hening, Bagas dan Seth yang hanya beralih mencomot keripik. Janu yang menggaruk pipinya gatal.
Lalu, berisik lagi.
Satu-satunya yang tenang, yang diam menatap ke depan tajam adalah pemilik unit apartemen itu sendiri. Zian mengetatkan rahangnya, mengepalkan tangan. Teman-temannya berisik dan dia berharap bisa menetralkan emosi. Namun, nyatanya tak bisa. Duduknya di sofa single samping Janu malah membuatnya semakin marah.
"Cabut."
Bagas dan Seth menjeda permainan mereka. Bagas berbalik lalu bertanya, "Cabut kemana, Bos?"
Seth ikut berbalik, telah melempar stik ps-nya. "Yakali cabut. Bentar lagi menang, loh, ini."
Bagas menoyor kepala Seth. "Menang apaan! Gue lima senti lagi finish, ya!"
Cakra menimpali setelah menutup buku, "Kemana? Dua hari di sini terus aja, nggak komplen lo, Bos." Dia mengabaikan suara berisik Bagas dan Seth layaknya nyamuk yang beterbangan di atas tumpukan bungkus jajan.
Zian menatap hal lain, amarahnya kian menggebu. Ia jadi kesal dan ingin menonjok seseorang.
Cowok itu berdiri, berjalan menuju pintu. "Sekolah."
"Yakali, Bos! Setengah jam lagi bel, loh, ini!"
"Njir! Nggak mau gue! Sendirian aja, nggih, Bos!"
Janu menguap, duduk, dan menggaruk rambutnya. Nyawanya belum terkumpul semua, tetapi masih bisa menanyakan hal yang masuk akal. "Bos ke sekolah, nih?"
"Lap dulu liur lo, Nu." Cakra turun dari meja. "Mau tetep di sini, silahkan. Gue ngikut Bos, ikut jam tambahan." Cakra meletakkan komiknya di atas kulkas dapur. "Lagian, kayak nggak hapal kelakuan Bos aja."
Cakra ikut keluar.
"Setengah-setengah, Kra! Yakali nggak dari pagi aja. Lo enak bisa futsal. Lah, gue, kayak anak ilang nanti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...