Ilen suka kopi. Ada satu coffee to go kecil di tepi jalan dekat kosannya, yang sejak pertama kali datang, Ilen sudah suka dan jatuh cinta. Sekedar latte yang menghangatkan tubuh dan pemilik kedai yang teramat ramah. Ilen tak perlu lagi menyebutkan pesanannya, latte dengan perbandingan espresso dua kali lebih banyak sudah ada bahkan setelah Ilen baru sampai di sana. Biasanya Ilen datang setelah pulang sekolah, menenangkan pikirannya setelah berkutat dengan buku seharian penuh. Berjalan menuju kosan sembari menyesap latte dengan pemandangan matahari yang berangsur tenggelam.
Kali ini Ilen datang lebih lambat, hampir pukul enam petang. Berjalan dari halte bus ke coffee to go juga menyenangkan, Ilen menghirup udara panjang dengan santai. Ilen pulang dari rumah Ibu. Ilen kembali ke kosan dan berjanji akan mencari Kak Rania lagi, sekalipun entah Ibu mendengarnya atau tidak.
"Ilen pamit pulang ke kosan, ya, Bu. Ilen janji, Ilen bakal cari dan temuin Kak Rania. Secepatnya, Bu. Secepat yang Ilen bisa. Ilen nggak akan hilangin kesempatan yang Ilen punya lagi, Ilen bakal kejar Kak Rania dan nggak keseringan main lagi. Ilen janji, Bu. Tungguin Il--tunggu Kak Rania yang pasti bakal pulang sebentar lagi."
Begitu janjinya, seberat apapun tarikan napas yang terasa menyesakkan. Ilen harus cepat-cepat pergi atau ia hanya akan bertengkar dengan Ibu lagi. Ilen pergi daripada Ibu sama sekali tak mau menatap atau berbicara dengannya.
Itu sudah biasa. Ilen harus terbiasa dengan sikap ibunya. Ilen harus terbiasa dengan keadaan yang sesekali terasa baru dan mengejutkan.
Ilen sudah mendapatkan latte-nya. Ia hanya tersenyum kikuk saat pemilik bertanya mengapa ia terlambat hari ini. Katanya, beruntung belum dibuatkan karena banyak pelanggan yang datang.
Petang ini sedikit dingin. Angin semilir mampu membuat lengannya saling mengusap, sekalipun Ilen menggunakan sweater biru dan legging hitam. Gadis itu sesekali meneguk latte serta mempercepat jalannya menuju kos-kosan. Ini sudah malam, Ilen tak mau terlalu lama berada di luar.
"Bego. Bisa-bisanya lo mau dibohongin padahal nih cewek baik-baik aja."
Baru ada lima meter Ilen meninggalkan kedai kopi, seseorang di belakangnya membuatnya berhenti. Ilen berbalik. Di sana ada Luna dan Zahra, baru turun dari mobil.
Luna tak menggubris omelan Zahra, ia buru-buru menghampiri Ilen. "Lo nggak papa, 'kan, Len? Lo kemana aja, sih? Kenapa hp lo mati? Kenapa lo nggak angkat telepon gue?"
"Bego. Lo abis main sama Zian, lo nggak peduli sama Luna yang khawatir banget sama lo. Bego! Bego, lo, Len!"
"Ra!"
"Lo juga bego!" Zahra menunjuk Luna frustasi. "Lo mau-maunya buang-buang waktu cuman untuk nyari orang yang aslinya lagi seneng-seneng. Lo masih bisa percaya Zian, yang lo aja nggak tahu dia kayak gimana. Bego."
"Ilen nggak habis sama Zian, Ra." Luna berusaha meredakan emosi yang hadir di antara mereka. "Lo lihat Zian ada sama Ilen di sekolah? Enggak, 'kan? Ilen bolos. Ilen bolos dan nggak ada kaitannya sama Zian."
"Ilen sama Zian. Ini bocah ada di tempat Zian, entah di apartemen atau di mana pun itu. Lo nggak mau percaya?"
Ilen menghembuskan napas panjang, merasa lelah mendengarkan adu mulut dua orang di depannya. Ilen juga lelah karena tak mampu berhenti merasa sakit atas setiap perkataan Zahra. Luna selalu memberikan denial, tak mau percaya jika saja Ilen benar-benar mampu melakukan itu.
Luna menggeleng. "Enggak, Ra. Ilen bisa aja abis ke rumah Ibu-nya, kayak biasa Ilen pergi waktu hari Minggu. Lo nggak lupa 'kan kebiasaan Ilen waktu weekend apa?"
Luna dan Zahra tahu Ilen pulang ke rumah setiap akhir pekan. Itu juga yang membuat Luna dan Zahra tak pernah mengganggu Ilen saat Ilen pulang ke rumah ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...