"Gue nggak nyangka mereka belum pulang sampe sekarang."
Ilen bergidik heran, melirik singkat pada televisi yang menyala. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya bungkus jajan yang berserakan di lantai. Beberapa di antara lima orang itu sedang membersihkan tubuh, sebab aroma alkohol tercium begitu tajam. Ilen sampai menutup hidung samar saat melewati sofa itu.
"Gue sempet ke depan buat beli bubur ke mas-mas gerobak keliling yang gantengnya masih belum berubah."
Mas Bubur Ayam satu-satunya di komplek perumahan Luna yang dari pagi-pagi buta sudah sedia dengan jualannya. Ilen pernah menemui mas ganteng itu di ujung komplek padahal masih pukul lima. Setiap pukul enam pagi, Mas Bubur Ayam pasti selalu tiba di depan rumah Luna. Jadi, pagi ini Ilen tak perlu repot-repot membuat sarapan untuk orang sepuluh. Mas ganteng itu memang selalu bisa diandalkan jika Luna, Zahra, dan Ilen terlalu malas memasak pagi-pagi.
Meskipun begitu, Luna mau-mau saja membuat omelet keju pagi hari ini. Ilen memperhatikan gadis itu malas sembari membuka kotak sterofoam miliknya. "Dan gue lihat di teras bekas rokoknya udah jadi kayak bukit."
Luna mengedikkan bahu. "Makasih udah dikasih tau," sarkasnya singkat.
Ilen menggeleng heran melihat Seth dan Zian tengah merokok di halaman samping. Pintu kaca dekat dapur yang memisahkan ruang dalam dengan luar mampu memperlihatkan apa yang dua orang itu lakukan.
"Bahkan sepagi ini mereka udah nyemil rokok lagi, tuh," ungkapnya kesal.
Luna melirik singkat ke luar, kemudian menghela napas panjang. "Lo mau ikutin rencana gue, nggak? Gue sita rokoknya, lo pemantiknya."
"Pemantiknya Zian dari tadi malem udah di gue," sahut Ilen lekas.
Luna menggumam panjang, berpikir sampai alisnya tertaut dalam. "Kalo gitu gue pegang uangnya Seth, lo juga pegang uangnya Zian. Jadi, mereka nggak bisa beli rokok lagi, 'kan?"
Ilen mendelik terkejut. "Anjir. Nggak sampe segitunya juga, dong, Lun. Laki lo kalo mau makan minta duit dulu gitu sama lo?"
Luna terkekeh geli. "Anjay. Lo emang nggak mau pegang duit laki lo biar dia nggak beli rokok terus-terusan?"
Ilen dengar Luna menekankan kata 'laki lo' sama seperti ia mengucapkannya pada gadis itu. Ia memutar matanya jengah, enggan mendengar ledekan Luna lagi.
"Kalo nggak gini aja." Luna menjentikkan jari-jarinya, menghitung entah untuk apa. "Hari Selasa sama Sabtu aja mereka boleh ngerokok. Kalo ngelanggar, hukumannya nggak usah ketemu kita satu minggu penuh. Gimana?" Luna menggumam panjang, memikirkan lagi ide darinya. "Tapi, Len, sekarang hari apa?"
Ilen segera menjawab, "Sabtu."
Luna mengerjap polos. "Yah, kalo gitu mereka lolos."
Baru sebentar Luna mengalihkan pandangan ke masakannya, gadis itu mengoceh lagi. "Berarti lusa hari Senin, dong? Ulangan, 'kan?" tanyanya nyaring.
Ilen menggumam malas sembari mengaduk bubur ayamnya.
Luna meletakkan satu piring sedang berisi beberapa omelet keju di depan Ilen. Gadis itu berkacak pinggang. "Harusnya lo narik-maksa gue sama Zahra buat belajar dari kemarin-kemarin. Lah, ini, lo adem ayem gini."
Ilen mendecak jengah. "Nanti kalo waktunya masih lebih."
"Hah? Apaan?" ucap Luna takut salah mendengar. "Itu bukan Ileana banget, sih," lanjutnya, ikut duduk di samping Ilen.
"Gue hari ini ada janji."
Luna mendelik. "Mau jalan? Ya elah, Len. Pacarannya nanti lagi aja, kali. Kenaikan ke kelas duabelas buat gue aja kedengeran horor, tau. Gue udah niat les privat sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...