Zian melangkah di belakang Ilen, memberi jarak tak kurang dari dua meter. Ilen tak peduli tentang apa pun yang Zian lakukan sekarang. Termasuk menatapnya dengan senyum geli sekalipun, sebab ia yakin Zian merasa puas karena berhasil membuatnya kesal.
Ilen menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu sadar ia berada di basement sekarang. Ilen memejamkan mata kesal. Dasar. Buat apa ia turun ke basement saat ia bisa langsung keluar lewat lantai dasar? Biar Zian tahu jika ia kesal sungguhan.
Meredam emosinya, Ilen meneguk matcha latte banyak-banyak. Berjalan kembali dengan langkah panjang, sebelum dikejutkan dengan teriakan seseorang.
"Len!"
Luna di depan sana, menyandar pada pintu kemudi mobil. Di samping Luna tentu adalah Seth, dan mobil itu pasti milik cowok itu. Luna sudah tidak memakai seragam sekolah seperti yang Ilen lihat tiga jam lalu, gadis itu terlihat manis dengan dress sederhana berwarna lilac. Dress polos sebatas lutut yang biasanya Luna pakai saat bepergian.
Luna melambaikan tangan ke arahnya, sedangkan Ilen tengah menatap siapa saja yang ada bersama temannya itu. Sebenarnya, siapa lagi yang akan menunggu Zian selain empat manusia ini?
Cakra, Janu, dan Bagas, masing-masing duduk di atas motor mereka. ZiBos tidak pernah terlihat jauh berbeda, mereka dengan aura gelap yang menyeramkan. Setidaknya, sekarang pun begitu. Ilen lebih memilih melihat mereka bermain game di basecamp atau apartemen. Daripada ZiBos yang minim bercanda seperti ini.
Luna menghampiri Ilen, tersenyum tipis menatapnya. "Udah ditungguin dari tadi, tau. Kenapa lama?"
Ilen mengedikkan bahu acuh. "Harus banget ditungguin?" Ia menyilangkan tangan di depan dada. "Lagian, kalo mau date tinggal pergi aja, kali. Lo nggak mungkin mau digangguin gue, 'kan, kalo kita jalan bareng?"
Luna mendelik tajam. "Diem, deh."
"Lagian gue nggak ikut. Males."
Luna mengernyitkan dahi. Ia mendekat, berbisik pelan. "Lagi nggak akur, nih? Marahan?" tebaknya diakhiri kekehan ringan. "Ya elah. Lo ngambek gara-gara Zian nggak bantu nyari lo di sekolah? Atau dia bahkan nggak nanyain kabar lo sama sekali?"
Luna akan tertawa mengejek jika tahu Ilen merajuk sebab ciuman. Ilen segera mengerjap, menggeleng tajam. Atau sebenarnya ia saja tak yakin mengapa ia kesal tak jelas begini. Kesal sebab ciuman terdengar sangat memalukan.
Luna mengangguk-angguk paham. "Ya, kalo gue bakal ngambek juga, sih. Dia nggak ngerasa kehilangan sama sekali hampir enam jam nggak lihat lo. Eh, atau Zian belum tau, lagi, lo habis dikunci di sekolah?" timpal Luna jadi curiga.
Ilen menggeleng tajam. "Jangan kasih tau ke siapa pun. Udah nggak penting."
"Nggak bisa gitu, dong!" Luna mengatakan sedikit lebih keras, mampu terdengar ZiBos yang sedari tadi memperhatikan. Ilen yang tak yakin jika ZiBos tak bisa mendengar ucapan mereka, jadi lebih mendengkus kesal.
"Jangan berisik, Lun," peringatnya tajam.
"Zian harus tau, dong, Len. Salsa harus kelihatan jahatnya di mata Zian. Lagian, lo 'kan ceweknya. Ya, Zian berhak tau, dong!"
"Gue yang bakal bilang kapan-kapan. Makanya lo diem aja. Nggak usah--"
"Iya, iya. Iya, gue ngalah, Ilen." Luna mengangguk malas.
"Ya udah. Gue pul--"
"Ada yang nungguin lo di luar."
Kali ini, Luna mengatakannya dengan nada biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Ficção Adolescente"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...