Mereka mampir ke apartemen dulu, istirahat, dan makan siang. Ilen hanya menyiapkan roti isi dengan setengah hati, lagipula mereka baru makan di kafetaria beberapa jam lalu. Lima cowok itu sudah berganti baju, satu per satu mengambil makanan yang Ilen siapkan.
"Tau nggak, Len?" tanya Bagas saat cowok itu duduk di meja makan.
Ilen sedang menata keju, sosis, selada, dan beberapa macam saus di atas roti, melirik cowok itu. "Apa?"
"Percaya nggak percaya, kita lebih kalem sekarang."
"Kalem apaan?" Yang mainnya ke bar dan sering bolos pelajaran, serta merokok, mananya yang bisa disebut kalem?
"Kita nggak sering bolos sesering dulu. Nggak sejahil waktu Bos masih sama Lesya, atau sebebas waktu Bos sama Jihan."
Ilen menyerngit tak mengerti. "Maksudnya?"
Bagas menatapnya, terkekeh ringan. "Udah nggak usah dipikirin. Lo nggak tau siapa Lesya sama Jihan, 'kan?" Bagas berdiri, mengambil segenggam permen bungkus di atas kulkas lalu disimpan di dalam saku jaket kulit hitam. "Intinya tuh, kita bisa diem kalo ketemu sama cewek yang nggak ribet. Nggak caper, cepu, mageran, banyak omong, apalagi sok manja sama Bos. Kali ini Bos pinter bisa nemuin lo, yang anaknya diem dan nurut dibawa kemana aja."
Ilen mendelik. "Siapa bilang gue mau dibawa ke bar?"
"Yang penting Bos udah nemu yang bener, Len. Lo mau enggak-nya, lo juga tetep kita bawa. Makasih, loh, udah mau nurut dan bikin kita nyaman. Kalo kita udah enak dan lo nggak bikin ulah, tenang, lo aman. Lo macem-macem, lo bahaya. Ya, gitu. Gampang."
Ilen terpaku. Ia mendengarkan, lalu sadar apa yang dikatakan Cakra dan Bagas sama-sama benar. Mereka seperti memberitahu bahwa semuanya ada di tangan Ilen.
"Oh, makasih juga rotinya, Beb."
Lalu Bagas pergi setelah meninggalkan satu kedipan pada Ilen.
Bagas yang pertama kali datang, lalu Janu, Cakra, dan Seth bergantian. Semuanya hanya mengambil makanan tanpa sempat melihat Ilen yang sedang berkecamuk isi kepalanya. Mereka bukan hanya mengambil makanan saja, tetapi juga langsung pergi turun ke basement.
"Ganti baju lo."
Ilen mendongak. Zian hadir di hadapannya, meletakkan paper bag di atas meja. Zian terlihat memiliki aura yang sama seperti teman-temannya, sedikit keras dan tegas karena menggunakan t-shirt hitam.
"Buat apa?" Ilen jamin baju yang ada di dalam paper bag itu sama seperti kala Ilen dibawa ke bar kemarin, serba pendek dan membuat Ilen merasa tak nyaman. Ilen tak mau.
Zian mengangkat pandangannya dari ponsel, menatapnya sekilas. "Udah selesai, 'kan? Cepet, ganti sekarang. Nggak usah buang-buang waktu."
"Gue nggak mau kalo harus ke bar lagi."
"Lo tau, mau atau enggak lo tetep harus ke sana."
"Tapi gue nggak mau, Zi."
Zian menghela napas kasar. Cowok itu menatap Ilen datar, meletakkan ponselnya di atas meja. "Terus? Mau detik ini nggak cuman itu? Kalo mau, ayo. Mumpung di sini nggak ada siapa-siapa."
Ilen kontan menggeleng. Demi apa pun, Zian tak pernah main-main dengan perkataannya. "Nggak!"
Tangan Zian menyangga pada sisi meja, yang kanan mendorong paper bag lebih dekat kepada Ilen. Zian menyuruh Ilen agar cepat mengganti pakaian, bahkan lebih tegas karena tetap diam. Seperti, jika Ilen menolak sekali lagi, Zian bisa melakukan hal yang tak bisa Ilen duga sekalipun.
"Oke, gue bakal ikut." Ilen balas menatap Zian, menarik napas panjang. "Tapi boleh nggak, kalo kita bikin kesepakatan dulu?"
Zian menghela napas kasar lagi. "Ngomong."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...