"Gue bisa bikin lo baikan sama nyokap lo."
Ilen terkesiap, mengalihkan pandangan dari dua surat itu. Ia tersenyum masam. Ia pernah mengatakan hal yang sama terhadap Zian, baru kemarin lusa. Ia belum melakukan apa-apa untuk membuktikan ucapannya, lalu sekarang Zian yang mengatakan. Ilen merasa ada sesuatu yang telah ia abaikan.
"Nggak semudah itu, tau, Zi. Ibu juga kayaknya keras kepala kayak Ayah." Ilen meletakkan surat itu di atas meja makan, duduk di kursi yang sama seperti semalam. "Lagian, gue udah ngira bakal dipanggil BK lagi. Udah antisipasi."
Zian menghela napas panjang, mendekati Ilen. Zian mengusap puncak kepala Ilen pelan, tetapi cowok itu tidak duduk seperti Ilen. "Karna gue yang bikin masalah, sekarang giliran gue buat minta bokap dateng ke sekolah."
Ilen memandang Zian samar. Cowok itu mengatakan dengan mudah, seakan Ilen tak tahu jika hubungan Zian dengan papa-nya sedang tidak baik. Ilen sangat tidak mengharapkan apabila hubungan mereka lebih buruk dari yang ia pikirkan, dan memenuhi panggilan guru konseling adalah pilihan terburuk.
Namun Zian mengatakannya begitu ringan, sembari mengambil sesuatu di lemari atas pantri.
"Kita aja belum denger kenapa kita dipanggil lagi. Belum tentu orangtua kita disuruh dateng, Zi."
Zian terdiam. Dari balik punggung, Ilen tahu Zian memikirkan sesuatu. Ilen tahu, sebab ia memikirkannya juga. Mereka bahkan dalam masa hukuman, tetapi surat panggilan yang datang kala skorsing adalah keanehan. Ini janggal dan tidak wajar.
"Lo nggak mungkin minta nyokap lo buat dateng lagi."
Ilen menimpal tanpa sadar. "Ibu bahkan kayaknya nggak mau lihat gue lagi."
Zian mengetatkan rahang. "Makanya, bokap gue aja yang dateng," putusnya datar.
Ilen mengerjap. "Eh? Gimana?" Gadis itu merutuki ucapannya tadi. Ia boleh merasa kesal hingga marah, tetapi tidak seperti ini.
Zian meletakkan segelas susu hangat di depan Ilen. Kali ini, rasa cokelat.
"Ini emang nyebelin," ungkap Ilen, menahan tangan Zian kala akan melangkah lagi. Ia menarik Zian pelan agar duduk di sampingnya, menatap cowok itu lembut. "Tapi boleh nggak, kalo pagi ini jangan pikirin itu dulu? Kita dipanggil jam sepuluh, dan sebelum itu, ayo buat pagi yang nyaman. Yang tenang."
Ilen tersenyum tipis, menatap pada bibir Zian alih-alih kedua mata. Ia sedikit mendongak, sengaja membuat Zian menangkap itu semua. "Masih aman karna gue masih inget seberapa manisnya."
Zian menarik sudut bibirnya tipis. "Start was good with a morning kiss."
Ilen mendengkus. Mengalihkan pandangan dari Zian, meneguk susu untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia lega sebab Zian menghilangkan pembicaraan ini, pula amarah yang tadinya akan muncul dalam pancaran mata. Zian benar-benar menguarkan emosinya, karena dengan lancang cowok itu memperhatikan Ilen sembari menyandarkan tubuh.
Itu tidak penting, yang lebih membuktikan adalah satu tangan cowok itu yang mengusap lutut kanan Ilen. Bahkan perlahan naik ke paha, membakar Ilen dengan setiap sentuhannya. Ilen harap ia tak tersedak, makanya segera meletakkan gelas dengan sedikit keras.
Zian menyipitkan mata, memandang Ilen penasaran dengan pura-pura. Ilen melirik cowok itu, merasa sebal dengan senyuman miring yang kini ditampilkan. Ilen mendengarkan walau sebenarnya enggan, hingga kontan menahan napas saking terkejutnya.
"Lo lebih marah dari semalem? Mau ngelanjutin yang tadi, nggak?"
Ilen menghembuskan napas dalam. Ia tahu Zian sedang menggodanya, jadi selama Ilen tak memberikan respon yang terbuka, Zian akan berhenti dengan sendirinya. Gadis itu mendelik kesal, padahal rona merah terlihat kontras dengan rasa kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...