Pukul lima sore mereka beranjak dari sana. Ilen pikir Zian akan membawanya pulang, tetapi cowok itu membawanya lebih jauh berkendara. Zian berhenti di pelataran kafe yang masih gelap padahal gedung-gedung lain di sekitar sini sudah diterangi cahaya lampu. Kafe ini akan cantik jika lampu hias di luar dinyalakan. Serta cahaya-cahaya lain dari dalam yang menyusup keluar, pasti cantik sekali.
Ilen tidak sengaja melihat mobil lain yang berada di samping mobil Zian. Ia memicing, merasa begitu familiar. "Seth ada di sini?"
Zian mengangguk samar. "Lihat namanya."
Ilen menurut. "SeeLuv Cafe." Lalu, ia kontan menutup mulutnya terkejut. "Nggak mungkin--"
Zian menggenggam tangannya. Cowok itu membawanya masuk, seperti saat ia melihat dari luar, di sini gelap meski tidak sepenuhnya pekat. Matahari belum tenggelam, senjanya memantul dari dinding kaca hingga menciptakan cahaya yang remang. Hingga ia mampu menemukan kehadiran Luna, mengabaikan betapa indahnya kafe ini dipandang.
Luna ada di meja bar, di depannya terdapat coffe machine yang tengah mengalirkan americano. Di hadapan cewek itu duduk empat laki-laki di bar stools, kompak memperhatikan. Zian menariknya menghampiri mereka.
"Namanya bagus, Seth. Gue suka." Ucapan Ilen menarik perhatian semuanya. "Gokil. Udah seserius ini, nih?" SeeLuv Cafe. Seth Luna yang punya kafe. Lucu banget, sih. "Sumpah kalian gemesin banget."
Bagas mengangguk setuju. "Cowok kalo udah bucin emang nakutin."
Ilen terkekeh geli melihat Luna berbalik, membelakangi mereka. Entah apa yang cewek itu lakukan di meja seberang. Ia masuk, menghampiri Luna, berdiri di sampingnya. "Udah berapa lama lo pacaran sama dia, sih?" tanyanya berbisik.
Melihat Luna hanya tersenyum malu, Ilen semakin gencar menggoda temannya itu. "Hadiah seminggu pacaran, nih? Langsung dikasih kafe sebagus ini? Dia sayang beneran sama lo, sih. Besok nikah aja, gih."
Luna menyikut pinggangnya pelan. "Diem, deh."
"Dih, salting."
Zian tiba-tiba mengujar, "Ini yang gue sama Seth urus kemarin."
Janu menyahut, "Ada yang lain juga, sih."
Ilen kembali ke bar stools, duduk di samping Zian. "Nyerang, 'kan? Gue denger waktu Luna larang Seth bawa tongkat bisbol. Lagian, semuanya juga ada buktinya. Luka sama lebam kalian masih sakit, nggak?" Ia mengedik. "Tapi, ya, udah. Nggak ditanggepin seharian juga kapok. Ya, nggak, Lun?"
Luna menunjukkan dua ibu jarinya ke udara.
Janu terkikik. "Mampus. Puyeng nggak, tuh. Salah--"
"Lima-limanya, kok, Nu. Nggak dua aja, semuanya kena. Seminggu penuh kalo perlu." Ilen meneguk susu kotak yang Zio berikan. Lagian, pasti tidak berpengaruh apa-apa. Ilen dan Luna tak melakukan hal penting di hari-hari mereka.
Kecuali Luna, sih. Biarpun cewek itu menyetujui ucapannya, tetapi Luna masih lanjut membuat americano. Diletakkan di hadapan masing-masing ZiBos. Luna akan membuat lagi untuk Ilen (sepertinya), tetapi Ilen segera mencegah.
"Gue nggak usah, Bu. Nggak papa," cetusnya.
Luna memang seperhatian itu, walau kadang bisa jadi tidak peka terhadap suasana sekitar. Akan tetapi selalu Luna yang pertama memastikan teman-temannya sarapan, teman-temannya dalam kondisi baik-baik saja. Ya, setidaknya Luna memperhatikan kondisi tubuh mereka, walau sangat tidak peka jika menyangkut perasaan. Harus dipancing dulu biar mau memberikan nasihat, sama seperti Ilen malam itu.
Jadi, wajar saja jika Luna dipanggil Ibu. Bagi Ilen dan Zahra, Luna memang seperti Ibu ke-sekian mereka.
Nah, Ilen melihat sendiri bagaimana Luna meletakkan kotak tisu di depan Janu karena cowok itu tak sengaja menumpahkan sedikit kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Roman pour Adolescents"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...