"Len, kamu sayang Ibu?"
Ilen tersentak. Gadis itu mengepalkan tangan, serta mengeraskan gigitan pada bibir bawahnya. Terpaku dengan tatapan kosongnya.
"Menurut Kakak, kalo kamu sayang Ibu, kamu nggak akan kayak gini."
Sengatan panas menjalar dari telinga Ilen. Suara Rania menekannya terlalu dalam, hingga Ilen tak tahu bagaimana cara untuk menanggapi.
"Kalo Kak Rania sayang Ibu, kita nggak akan kayak gini sekarang." Ilen menunduk, hoodie hitam yang penuh dengan debu.
Kak Rania terdiam cukup lama. "Sudut pandang setiap orang itu beda. Tapi, kita udah tau kalo tujuan kita sama."
Ilen juga tahu jika Kak Rania masih menyayangi Ibu. Kak Rania mungkin bisa marah, tetapi Kak Rania tak mungkin mampu untuk membenci Ibu. "Lega banget karna Kakak bilang gitu. Artinya, tujuan kita emang sama."
Sambungan telepon masih ada, deru napas Rania juga masih Ilen dengar. "Masalahnya, ada orang yang butuh waktu lama untuk sampai ke tujuannya. Lama, bahkan orang itu nggak tau sampai kapan." Rania menghela napas, "Konteksnya gitu, Len. Terlepas dari kata 'ingin', kita cari 'yang paling bisa' dulu."
Jalan menuju kosan Ilen mengambil waktu yang lama karena harus berjalan kaki. Bukan di depan jalur bus yang sudah menjadi kendaraan Ilen, tetapi masuk ke perumahan sederhana dengan beberapa belokan. Lampu-lampu jalan selalu menyala dengan terang, serta merta langit yang gelap tanpa bintang. Jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi Ilen belum duduk dalam kamar kosannya.
"Kamu bukannya bisa?" Rania menukas ragu, menggetarkan hati Ilen dengan segera. "Kamu nggak perlu bikin ini tambah rumit lagi. Cukup Ibu, sama saya."
Ilen tersenyum kecut. Gadis itu bahkan masih tidak menyangka mendapat panggilan telepon dari Rania. Kemudian Rania yang mematahkan harapan-harapannya.
"Iya. Harusnya saya nggak nambah-nambahin ini semua, 'kan? Ibu tambah pusing, jadi makin berantakan. Saya nggak perlu bikin Ibu kecewa sama kenakalan yang belum pernah saya lakukan. Biarin semua berputar, antara Ibu; dengan Anda. Saya bukan apa-apa."
"Sekarang bukan saatnya kamu bertahan sama rasa egois dan kenakalan. Lihat prioritas kamu yang mana dulu."
Ilen mengujar dengan tak sadar, "Kakak minta aku baikan sama Ibu, padahal Kakak masih belum mau ketemu sama Ibu?"
Rania berdeham, "Iya."
Ilen terkekeh hambar, "Dan tujuan Kakak telepon Ilen malam-malam gini, itu, ini? Daripada kita bicara tatap muka langsung?"
Bunyi ketukan heels yang lambat, tetapi keras, menjadi tambahan jika Rania dewasa dengan pemikirannya. "Yang lain, yang bukan urusan kamu, bisa saya urus sendiri. Kamu benerin masalah kamu dulu. Baru, saya ketemu sama Ibu."
Ilen mendecak, "Tapi, Kakak tau, nggak, sih?" Memberi jeda, "Semakin Ilen pikir, Ilen jadi pengen bilang semuanya, semua tentang alasan kenapa ini bisa terjadi. Semakin perintah-perintah itu Ilen denger, Ilen pengen buat lakuin kebalikannya."
Ilen merasakan titik hujan yang perlahan datang, membasahi tubuhnya. "Dan Ilen belum bilang Ilen mau lakuin yang mana, Kak."
Ilen memutus sambungan secara sepihak, mendecih sebal sambil melihat layar ponselnya. Pandangannya mengedar, memandang apa pun yang masuk dalam netra. Sebut saja jika Ilen tengah berusaha memudarkan air matanya.
Lalu, betapa baik karena hujan bersedia menumbuhkan bunga-bunga yang hampir mati.
Ilen kemudian tersenyum. Senyuman tipis, saat Tuhan begitu baik karena mengabulkan permintaan Ilen belakangan ini. Ilen ingin merasakan rintik hujan, ingin menikmati udara dingin yang berbeda dari hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...