Membasuh tangan pada aliran air dengan kasar sudah Ilen lakukan lebih dari lima menit. Gadis itu mengatupkan mulut rapat, mengernyitkan dahi dalam. Sebelum Ilen muak hingga melempar potongan tisu yang baru ia tarik ke tempat sampah di sudut toilet. Ilen tidak mematikan air hingga suaranya bisa mengalahkan sunyi.
Ia menatap lekat pantulan wajahnya pada cermin. Deru napas naik turun yang kasar berikut pandangannya yang gusar. Ilen tak menyalahkan Zian, atau sebut saja tengah berusaha melakukannya.
Tanpa mengikis fakta yang ada, tanpa mengindahkan fakta yang ada. Ilen tak waras sebab berbagai pembelaan muncul dari dalam hatinya hanya untuk Zian. Padahal Zian benar, jika peringatan pertama yang ia dapatkan adalah sepenuhnya salah cowok itu. Namun Ilen masih saja bodoh mencari pembelaan. Pembelaan yang otaknya tolak untuk dipikirkan, tetapi terus menerus muncul di dalam sana.
Amarah Ilen semakin berantakan sebab dirinya sendiri memiliki kubu yang berbeda.
Ilen mendesis kesal. Pandangannya tak sengaja turun pada sisi leher yang tertutup rambut. Lalu pada lengan hingga sisi tubuh, tenggelam oleh jaket hitam Zian. Ia menyibak rambutnya ke belakang, memperlihatkan concealer yang terpakai tebal.
Ia mengaliri tangannya lagi kemudian mengusapkan air pada sisi leher. Menghapus concealer hingga memunculkan tanda kemerahan gelap yang kontras dengan kulit lehernya.
"Apa yang sebenernya lagi lo lakuin?" tanyanya datar.
Zian bilang cowok itu tengah menghancurkan. Zian juga tak meredam emosi saat menghadap guru konseling, hingga Ilen harus melihat perdebatan keras tadi. Zian tak mendengarkannya yang sudah meminta agar sedikit mengalah kali ini.
Zian melakukan yang lain lagi. Zian mengalah ketika Ilen sedih perihal Ayah. Zian menemani Ilen sedangkan cowok itu belum setuju dengan penuh tentang kegiatan Ilen di bar. Zian membuatkan Ilen susu hangat, bahkan menenangkan Ilen karena mimpi buruk yang sialan. Zian memberikan kue hanya karena Ilen menyukai cokelat dan vanilla.
Ilen tak dapat mengerti, tak dapat memutuskan pula haruskah ia menutup tanda merah ini.
"Dibenerin, atau dihancurin aja sekalian?"
Gadis itu menyembunyikan wajah menggunakan jaket, menata rambut agar lebih menutupi sisi leher. Ilen terlalu bodoh jika memperumit hidupnya sendiri. Ia tak ingin berdampingan dibuntuti masalah, karena waktunya terlalu cuma-cuma untuk menghadapi itu.
Ilen menarik napas panjang.
Ke Zian lagi. Ia dan Zian tak boleh berdebat tanpa menyimpulkan apa pun. Tak boleh berdebat dengan menghentikan satu pihak, tak boleh hingga abai atau saling tak peduli. Atau jika berlebihan, perdebatan mereka harus selesai tak lebih dari tiga hari. Mereka bukan lagi anak-anak seperti Zio. Mereka tak bisa kekanak-kanakkan dengan saling diam dan menghindar.
Ilen harus memperbaiki kebiasaan buruk ini.
Cewek itu keluar dari kamar mandi, mengedarkan pandangan hanya untuk melihat siswa siswi yang sibuk berlalu-lalang. Bukan Zian yang meninggalkan Ilen, ia yang melangkah pergi lebih dulu. Masuk ke kamar mandi hanya membasuh tangan, tetapi keluar dengan sedikit lebih tenang.
Zian sudah tidak ada saat Ilen kembali ke tempat mereka tadi. Ilen mengambil ponselnya, mendial nomor Zian tanpa keraguan.
"Hidup nggak sudi kasih sesuatu yang gampang buat lo, Jalang."
Ilen memejamkan mata, mendesis kesal mendengarkan celoteh orang di belakang. Seakan Ilen belum cukup merasa marah hingga orang itu merebut ponselnya dan mematikan panggilan.
Ilen berbalik, menatap dingin Salsa. "Kalo lo lagi kurang kerjaan sampe milih gangguin gue, lo pergi aja. Gue lagi nggak bisa nanggepin orang kayak lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Ficção Adolescente"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...