Bondan kabur. Sirine polisi terdengar nyaring memekakkan telinga. Darah telah jatuh pada tanah, melebur bersama air hujan yang datang lebih hebat bersama kilat. Petir ikut serta menggelegar di atas langit, seakan semuanya belum cukup berisik. Senja tidak datang. Hujan memaksa langit berwarna hitam, memaksa matahari turun sedikit lebih cepat.
Malam telah datang. Kehancuran sudah menyapa lebih awal.
"GUE UDAH BILANG, STOP IMPULSIF! EMOSI LO YANG NGGAK STABIL BISA BAHAYAIN NYAWA ORANG LAIN!"
Bentakan Zian terdengar keras di telinga. Bahunya dicengkeram terlalu keras hingga ia sekuat tenaga menahan ringisan agar tak terlihat terlalu lemah. Tidak pernah ia duga Zian menatapnya nyalang. Zian ... terlalu menakutkan.
Polisi hanya menembakkan peluru peringatan agar Bondan berhenti menaikkan pistol. Belum sempat pihak berwajib sampai di antara mereka, Bondan berhasil kabur menembus kekacauan begitu cepat. Melepaskan Ilen yang merasakan batas antara hidup dan mati. Melepaskan Zian ... yang merasakan kegilaan tertinggi.
Wajah Ilen terasa memanas. Sekalipun tubuhnya basah kuyup karena hujan, ia merasakan dengan pasti tetes-tetes air mata berusaha menyeruak dari dalam. Denyut asing ia rasakan, tak nyaman, ia tak suka. "Lo harus bentak gue?" tanyanya.
Jantungnya baru saja hampir berhenti berdetak. Gemetar di tubuhnya akibat ketakutan masih terasa. Baru ia pikir setelah ini ia takkan lagi dapat melihat Zio. Perpisahan yang dipaksa karena seseorang merenggut napasnya.
Jadi, yang Ilen inginkan adalah penenang. Pelukan yang menenangkan. Bukan teriakan yang lolos membuat tangisnya lebih dalam.
"Karena lo bisa lakuin hal sebodoh itu," jawab Zian.
Ilen mendecak lelah. Itu adalah refleks tercepat, pula ternekat seumur hidup. Ia seakan lupa, benar yang Bondan katakan, Bondan adalah lawan yang berbahaya. Ia tidak memiliki pertahanan terakhir, bahkan rencana apa pun. Hanya spontanitas tanpa terpikir kemungkinan paling buruk akan itu.
"Perhitungan Bondan benar." Cakra menyela di antara mereka. "Semisal polisi datang ke sini, dia nggak bisa dikenalin. Itu yang selalu maling lakuin, pake kain penutup mulut. Meminimalisir orang lain ingat wajahnya. Bikin dia nggak terlihat jadi buronan."
"Dia punya persiapan." Bagas menyahut. "Orang lain mungkin lebih curiga karena dia pakai topi sama masker hitam, tapi lebih baik gitu daripada mudah dikenalin di satu waktu. Mungkin dia bakal dituduh sebagai penyerangnya, walau yang serang duluan itu elo. Lo bisa jadiin itu pembelaan, tapi dia bebas. Bebas di sekitar lo. Artinya lo lebih bahaya sekarang."
Khas penjahat ulung. Ilen mengakui itu. Ia terperangkap karena melawan. Bagas benar, ia lebih bahaya sekarang.
Janu mengikuti Bondan, berusaha mengejar bajingan itu bersama polisi. Walau semuanya dapat menduga kemana Bondan akan bersembunyi selain di bar. Lagi pula, ZiBos hampir percaya jika serangan tadi hanya sebuah pengingat agar mereka lebih hati-hati. Pengingat apabila satu kali saja mereka salah langkah, Bondan dapat menang dengan mudah.
Seth berlari ke dalam kafe, melindungi Zio dari hujan. Menjaga anak kecil itu agar tetap lelap dalam tidurnya.
"Bondan udah tau Zio siapa."
Saat Ilen melihat dari sudut mata, Zian masih menatapnya lekat. Ia menoleh lebih dalam ke arah kafe, lalu terkekeh jengah. Tidak hanya membahayakan nyawa, ternyata ia juga mencari masalah.
Saat tatapnya kembali, Zian mengunci netranya lekas. Menuturkan dalam satu tarikan napas akan hal yang seharusnya sudah Ilen pikirkan dari awal.
"Zio bisa termasuk target setelah ini. Tujuh tahun gue bikin dia sembunyi, tapi lo berantakin secepat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...