⚠
Zian begitu perlahan saat menurunkan Ilen di ranjang unit kesehatan sekolah. Menahan belakang tubuh Ilen dengan lengan cowok itu agar Ilen tetap terduduk dengan nyaman.
"Shit. Nggak ada yang jaga."
Satu tangan Zian sudah berada di bawah lutut Ilen lagi, tetapi gadis itu mencegah pergerakan Zian selanjutnya. "Kemana?"
"Rumah sakit."
Ilen menggeleng. "Nggak perlu," ucapnya lirih. "Di sini aja. Tadi, cuma pusing sedikit."
Zian menatap Ilen tajam. Ilen tahu jika Zian sama sekali tidak setuju dengan ucapannya.
"Lo luka. Harus di--"
"Lo aja yang ngobatin."
Ilen menatap Zian yang berada begitu dekat dengannya, karena cowok itu menahan belakang tubuhnya. "Lo." Ilen meyakinkan sekali lagi, "Gue beneran nggak papa, Zi. Cuma sedikit pusing, tadi. Nggak perlu ke rumah sakit."
Ilen lalu menarik lengan Zian agar tak berada di balik tubuhnya. Seakan mampu menyiratkan, ia bahkan bisa duduk dengan benar tanpa tangan seseorang yang membantu untuk menahan.
Zian berdecak. Ia mengambil kotak luka dengan cepat di atas meja sebelah mereka. Lalu sesuatu dari saku celana cowok itu. Ilen memperhatikan semua yang Zian lakukan, saat Zian mendekat pada wajahnya pula. Ilen menatap netra hitam itu.
Zian menatapnya pula, walau hanya sebentar. Cowok itu mengikat rambut Ilen hati-hati agar tak menyentuh luka pada lehernya. Dengan ikat rambut yang cowok itu ambil dari saku celana.
Zian melepaskan jaket yang Ilen pakai perlahan. Duduk di samping gadis itu, menemukan kemeja seragam Ilen yang terkena banyak rembesan darah. Zian melepaskan kasa yang sepenuhnya dikenai darah, lalu mengambil beberapa kapas untuk membersihkan bercak darah di leher Ilen.
Ilen sendiri menutup mata, menggigit bibir bawahnya agar tak terdengar sebuah ringisan. Zian sudah melakukan dengan sangat perlahan, tetapi perih masih mampu Ilen rasakan.
"Tahan bentar."
Zian mengambil kapas lain yang sebelumnya sudah ditetesi obat merah. Mengobati luka sayat itu, berharap darah yang masih keluar segera berhenti. Ilen sungguh menyesal saat sebuah ringisan terdengar dari mulutnya.
Saat ini, Zian berhenti. Deru napas hangat cowok itu mampu Ilen rasakan, lalu sebuah genggaman yang hadir dari telapak tangan Zian. Ilen menggenggam tangan itu juga.
"Bentar."
Zian benar melakukannya sebentar, lalu perlahan melepas genggaman. Mengambil kasa dan plester luka panjang, menutupi luka sayat pada leher Ilen. Darah sudah berhenti, tetapi masih meninggalkan satu dua tetes pada kasa yang baru selesai diganti.
"Siapa yang obatin?" tanya cowok itu.
Ilen menunduk. "Tadi pagi, Mba Adel yang bantu."
"Dari semalem?"
Ilen mengangguk pelan. "Tapi gue juga baru tau waktu mau mandi. Semalem bener-bener nggak kerasa sakit."
"Len."
Ilen paham jika lukanya bukan luka kecil. Mba Adel sangat khawatir tadi pagi, karena lukanya bahkan sudah mengering. Mba Adel bahkan lebih terkejut saat mengetahui luka ini karena pecahan kaca. Pantas saja lukanya panjang, pasti pecahan itu menyayat belakang leher Ilen lama.
"Bener-bener nggak kerasa, Zi. Kalo lo nggak lihat luka yang kecil ini, gue juga nggak bakal tau." Ilen menoleh pada luka yang tertutup kemeja seragam, luka dengan plester robot Zio.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...