Merelakan sesuatu yang sudah diterima dengan pemikiran panjang adalah kesalahan. Rasanya seperti ketidak-adilan. Ilen dipermainkan oleh waktu, ia mengisi perasaan di sela-sela itu. Terlihat lebih menyayangkan lagi saat ia harus mengikis penerimaan itu dengan sia-sia. Tanpa bekas baik, mengabur tak ada gunanya.
Saat Ilen keluar dari ruang ganti, Zian menunggu beberapa meter di depan. Cowok itu menyandar pada dinding, lalu menoleh saat menyadari Ilen selesai mengganti pakaian. Dengan hoodie hitam Zian yang sangat besar untuk Ilen, hingga menutupi telapak tangan dan rok abu-abu gadis itu. Ilen menghela napas. Lebih berat saat penerimaan itu semakin terlihat benar.
Ilen menatap kosong ke depan, ke tempat Zian berdiri hingga berlalu menghilang. Ilen juga tak berharap agar cowok itu menghampirinya, karena Ilen tak ingin menoreh lebih banyak kecewa. Berbeda kembali ketika Ilen mendapati sesuatu dari cowok itu, saat ia tak menyadari sedari tadi. Padahal Ilen yang menggenggam tangan Zian.
Ilen menghembuskan napas panjang. Gadis itu berbalik, mengambil arah berlawanan. Ilen sudah tak boleh mengganti pilihan, karena jika Ilen mengaku kalah, Ilen harus mempertanggungjawabkan. Ilen harus mengusahakan hingga pada waktunya, Ilen tak memiliki waktu bahkan untuk memandang cowok itu.
Benar-benar harus selesai.
Setidaknya setelah Ilen mengembalikan hoodie hitam ini kepada Zian, dan meminta ikat rambut gelap dari pergelangan tangan cowok itu.
Langkah pelan Ilen yang masih kesusahan karena kaki yang terkilir berakhir di depan UKS. Saguna sepertinya benar, Ilen lebih baik istirahat di sini. Ia juga enggan bertemu Zahra dan Luna di kelas, ia pikir mereka membutuhkan jarak dalam waktu lama. Apa pun itu dengan arti jika Ilen menyerah dengan mereka juga.
Saat Ilen masuk, ada satu siswa yang sedang berjaga. Mengedarkan pandangan sebentar, Ilen mendapati hanya ada dua orang yang lelap dalam istirahatnya. Ilen berjalan menuju ranjang yang kosong, meletakkan seragam basahnya di atas meja. Menutup pula sekat yang menghubungkan dengan ranjang di sebelahnya.
Ilen memaksa diri untuk tidak ingat dengan tempat ini juga. Terhadap semua hal yang terjadi hari itu.
Ilen duduk tanpa melepas sepatunya dulu, menyentuh luka di belakang leher tanpa sadar. Lalu terperanjat, terkejut dengan deringan telepon dari ponselnya.
"Halo, Sa."
"Gue udah di depan toilet deket koridor kelas satu. Lo di sini, bukan? Kalo iya cepetan keluar."
Ilen berdeham merasa tak enak. "Gini, Sa, makasih udah buru-buru bawa baju olahraga lo. Tapi, gue udah pinjem baju temen gue. Maaf banget, Sa."
Dari sambungan telepon, Saguna terdengar menghembuskan napas lega. "Syukur, deh, kalo lo udah ganti. Nggak usah minta maaf, ini bukan apa-apa."
Saguna sepertinya tengah berlari, bunyi derap langkah cowok itu yang cepat. "Terus, sekarang lo ada dimana? Kelas?"
"UKS."
"Nah, harusnya lo emang ada di situ. Istirahat yang cukup, makan sama minumnya juga. Gue nggak bisa ke sana dulu karena gue harus latihan turnamen sekarang. Nggak papa, ya, Len?"
Ilen terkekeh ringan, "Ya nggak papa, lah. Gue nggak sakit gini. Udah, fokus aja sama turnamen minggu depan."
Derap langkah cepat Saguna berhenti. Agaknya cowok itu sudah sampai di ruang tempatnya berlatih. "Kalo nggak dicariin dari tadi, juga, gue pengennya nemenin lo di UKS. Tapi, ya, ini tanggung jawab gue. Mau nggak mau," jeda Saguna, Ilen sudah paham dengan maksud cowok itu.
"Yaudah, gue--"
"Bentar! Yang paling penting belum gue omongin."
Ilen terdiam, menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...