Ilen tak jadi menjenguk Zio, tak jadi pulang dengan Zian juga. Cowok itu memiliki urusan lain, dan ia harusnya mampu memahami. Namun Ilen jadi sedikit khawatir karena sampai sekarang Zian tak memberinya kabar apa pun. Bukan berarti semua hal yang Zian lakukan harus ia ketahui, tetapi Ilen merasakan sesuatu yang mungkin tengah mengganggu Zian.
Ilen sudah bilang jika ia bisa pulang sendirian, tetapi Cakra memaksanya agar pulang bersama. Ilen sebenarnya tak suka cara ZiBos yang mudah sekali membolos pelajaran, padahal sebentar lagi ulangan kenaikan.
"Kra, menurut lo, nilai gue turun, nggak?" tanya Ilen sembari menatap Cakra yang melangkah di sampingnya.
Cakra balas menatap Ilen sebentar, menghembuskan napas dalam. "Gue nggak tau seberapa tinggi kualitas belajar lo," jawab Cakra, menatap kembali ke depan.
Ilen mengangguk-angguk pelan. Gadis itu menyeruput frappe alpukat-nya, memikirkan sesuatu hingga langkahnya memelan. Mungkin Ilen tak tahu harus seperti apa sekarang. Ilen sadar jika semua yang terjadi belakangan pasti memengaruhi pendidikannya. Ibu sepertinya marah besar, karena Ilen bahkan tidak belajar. Ilen bahkan sampai di skorsing, padahal senin depan ulangan kenaikan.
Cakra berdecak, menyesuaikan langkah lambat Ilen. "Lo dari tadi udah belajar. Percaya kalo nilai-nilai lo mungkin turun?"
Cakra sendiri yang mengantar Ilen ke kosan, lalu menunggu cewek itu yang katanya akan bermain ke basecamp. Ilen bukan hanya berganti pakaian, tetapi juga membawa buku-buku pelajaran. Sampai di basecamp, tidak ada yang berani mendekati Ilen yang tengah belajar di dapur. Mengambil soda atau memasak mi instan pun enggan.
Sampai pukul duabelas Ilen fokus belajar dan membuat catatan, hingga Bagas tak tahan dengan rasa laparnya. Ilen bersedia membeli bahan memasak yang sudah habis lagi, beserta soda dan cola. Awalnya akan bersama Seth menaiki mobil cowok itu, tetapi Ilen menolak dengan segera.
Seperti ini kiranya bagaimana Ilen menolak tadi.
"Eh, jangan, jangan." Gelengan kepala Ilen dengan dua tangan yang bergerak menolak bahkan serasi. Ilen mengerjap canggung saat Seth menatapnya tak suka.
"Bukan apa-apa, ini udah siang. Bentar lagi jam dua--"
"Masih dua jam lagi, Len. Masih lama," timpal Janu memotong kalimat Ilen seenaknya.
"Ya, belanja itu hampir dua jam, tau, Nu. Nggak akan keburu."
"Keburu ngapa, elah." Bagas menyangkal tak paham, padahal cowok itu sedang duduk tenang sambil bermain ps.
Ilen mendecak. "Huh, dasar nggak peka. Ya, kan, kali aja Seth mau anter Luna pulang. Temen gue harus ngerasain gimana lucunya kasmaran, tau."
Bagas dan Janu ber-oh panjang, sedangkan Seth menatap Ilen lebih tajam. Tak enak juga ditatap seperti itu padahal sebelum-sebelumnya Seth suka bercanda dengan Ilen.
Ilen menepuk-nepuk lengan Cakra, lebih dulu berlalu keluar. "Sama lo aja, Kra. Yuk, gue tunggu di luar."
Sekarang, bukannya di supermarket membeli bahan-bahan, mereka malah melangkah di tengah-tengah mall. Cakra meminjam mobil Seth sebab tak mungkin membawa barang-barang dengan motor, dan Seth dipinjami kunci motor milik Cakra. Ilen sempat senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana ekspresi Luna.
Oh, Ilen jadi lupa sedang membicarakan apa mereka tadi.
"Nyokap lo gimana?" tanya Cakra.
Ilen menoleh, mengedikkan bahu ringan. "Terakhir chat waktu nyokap baru sampe sekolah."
Ilen merenung, memikirkan bagaimana tanggapan Ibu akan masalah ini. Sudah siang, seharusnya Ibu sudah kembali dari sekolah. Mungkin Ibu sedang dalam perjalanan pulang, dan alih-alih berada di mall, seharusnya Ilen menunggu Ibu di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...