⚠
Zahra menarik mereka menuju kafe cepat saji, memesan fried chicken dan beberapa cola. Mereka sudah menyelesaikan makan, kali ini beralih menikmati es krim stroberi pisang.
"Selain speechless, gue bisa apa lagi, Len?" geram Zahra kesal.
Ilen mengedikkan bahu ringan, memakan es krim cokelat pisangnya dengan tenang. "Yang lebih kalem, ngangguk-ngangguk polos doang, mungkin?" timpalnya.
Zahra mendelik. "Ya, mana bisa! Sekarang aja gue bisa muter-muter ini kafe sambil bilang gue jomblonya keterlaluan. Atau teriak-teriak buat bilang ternyata Ilen udah segede ini." Zahra mengerjap tak percaya. "Please, lo nggak usah ikut nambah-nambahin, Lun. Please!"
Luna mengernyitkan dahi. "Gue diem-diem aja gini, loh."
Zahra sampai menggaruk rambutnya frustasi. "Sumpah, Len. Holy shit!"
Luna melempar remahan biskuit ke depan Zahra. "Nggak usah lebay."
Zahra menoleh, menatap Luna horor. "Gue mana bisa percaya kalo yang ngalamin itu temen gue, Lunaaa. Nggak bisa!" Gadis itu mendecak, "Ya, lo bisa biasa aja karna lo udah masuk ke circle-nya mereka, 'kan? Bisa dihitung jari berapa hari lagi lo ngikutin jejaknya Ilen."
Zahra terlalu berisik hingga beberapa orang menoleh ke arah mereka. Ilen hanya bisa tersenyum canggung, kemudian menutupi tanda kemerahan pada lehernya.
"Nggak, ya! Gue aja planga-plongo nggak jelas waktu lihat Ilen di apartemen Zian tadi pagi. Apalagi waktu nemu itu di leher Ilen, gue pasti kelihatan bego banget."
Zahra memicing, "Nih, bibit-bibit masa depan yang nggak bener, ya gini, nih. Gue mesti pantau kalian terus, sih. Jangan sampe gue denger kabar nggak baik dari kalian soal kebla--"
"Mulut lo, Ra," peringat Luna cepat, melempar tatapan tak suka. Ia menjejalkan biskuit cokelat ke dalam mulut Zahra.
Zahra mendesis kesal, menggigit kecil biskuit itu lalu diletakkan. "Apaan? Kalo dipikir-pikir, itu yang paling make sense, 'kan? Dikit-dikit, 'kan, lama-lama jadi bukit. Dikasih dikit, lama-lama bisa minta lebih, kali," kilahnya.
"Kan, bisa aja gue yang dominan. Lebih batasin hubungan ini sampe mana."
Zahra mengedikkan bahu. "Kalo-kalo lo pengen juga?"
Luna mencebik. "Cewek kayak gue masih mikirin masa depan. Nggak ada bibit-bibit brengsek di sini."
"Ah, masa. Gue nggak percaya, tuh."
Luna menelan es krimnya ringan. "Bodo. Lo tanya sebelah, kek. Yang lebih bahaya yang sebelah."
Zahra melirik Ilen, cewek itu hanya diam sembari menggigit biskuit. Merasa diperhatikan, Ilen mendongak. "Apa? Gue nggak ada apa-apa."
Zahra mendecih. "Nggak ada apa-apa tapi ada tanda di leher? Digigit semut segede gajah atau gimana, tuh?" cibirnya.
Ilen tak menjawab. Sekarang adalah sesi ceramah dari Zahra, jadi lebih baik ia diam mendengarkan. Ilen melirik Luna sebentar, gadis itu sama-sama tengah meliriknya. Ilen mengangguk pelan melihat Luna mempertanyakan apa yang harus dilakukan.
"Jadi, selain jaga diri kalian baik-baik, kalian tau apa yang harus dilakuin, 'kan?" ulang Zahra.
"Jaga diri, jaga diri, jaga diri. Jangan sampe kemakan omongan cowok kalo udah minta yang aneh-aneh." Luna menyimpulkan peringatan Zahra dengan malas.
"Terus?"
Luna menatap Ilen, artinya giliran Ilen untuk melanjutkan. "Lo ... harus tau kita kemana aja?" timpalnya ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...