terima kasih karena masih menunggu kisah mereka <3
÷÷÷
Setidaknya mereka memiliki satu sama lain. Mungkin itu yang ingin Zian dan Ilen tahu, bagi diri mereka sendiri, maupun satu sama lain. Tidak peduli sekalipun luka yang mereka miliki lebih lebar, dari siapa pun atau apa pun yang telah diterima dari dulu sampai sekarang.
Sekalipun entah apa yang sebenarnya terjadi, di bagian mana saja kepercayaan terhadap satu sama lain telah berada di antara mereka. Tidak lebih dari setengah tahun mereka mengenal, tetapi sudah sejauh ini mereka melakukan. Sudah hampir seluruh kehidupan Ilen berpusat untuk Zian, begitu pun sebaliknya. Walaupun, entah apa yang menahan mereka sekarang. Entah apalagi yang harus dimengerti mati-matian.
Setidaknya, sampai pagi ini, mereka masih berada di balik selimut yang sama.
Ilen terbangun karena silau matahari mengenai wajahnya. Bukan bangun secara harfiah, sebab ia enggan membuka mata dan malah mencari posisi yang lebih nyaman. Tubuhnya masih terasa lelah. Zian baru berhenti--
"Fuck," umpatnya tiba-tiba, terdengar seperti bisikan.
Mata Ilen terbuka sempurna, sepenuhnya sadar, tetapi bukan berarti tubuhnya sudah baik-baik saja. Hatinya entah mengapa berdebar, dan kelamaan menjadi sangat cepat hingga rasanya berbisik sekali.
Pandangannya jatuh pada sisi ranjang di depan yang masih tersisa lebar. Tubuhnya berbaring menghadap kanan, tangan kirinya berada di depan perut, mengepal perlahan. Ia melihat lengan yang terjulur, ia malah menjadikannya sebagai bantal, berada di bawah lehernya. Dan telapak tangannya berada di atas telapak tangan Zian, digenggam dengan lembut.
Ilen menjauhkan wajahnya, agak menunduk sebab atmosfer di sini tiba-tiba berubah aneh. Namun, sialnya Zian malah semakin mendekat, mendekap perut Ilen lebih erat. Zian berada di belakangnya, Ilen tidak tahu apakah cowok itu masih terlelap atau sudah bangun. Namun, sumpah, ia tidak mau Zian melihat wajahnya yang sudah merona hingga hampir terbakar pagi-pagi begini.
"Morning, Manis."
Zian mengecup puncak kepala Ilen samar.
Ilen tidak cukup sadar jika bibirnya berkedut kecil, ia sedang memikirkan respon normal apa yang seharusnya diberikan. Akan sangat memalukan jika ia malah tidak berani menatap mata Zian. Pasti, Zian akan menertawakannya.
"Pagi, Ganteng," sapanya balik, sembari merubah posisi untuk menghadap cowok itu secara perlahan. Ia menatap Zian sebentar, kemudian bersembunyi di ceruk leher cowok itu. Memeluk pinggang Zian, sial, Zian tidak memakai atasan.
Zian mendengkus geli. Cowok itu menunduk lebih dalam lagi, mengecup sisi pundak Ilen sedikit di dekat leher. Cukup membuat Ilen salah tingkah, cewek itu berdecak dan menghembuskan napas panjang.
Entah mengapa rasanya begitu nyaman, hangat, hingga kantuknya kembali datang. Akan tetapi Ilen terkejut, kontan membuka mata kala Zian meniup telinganya.
"Zi, gue ngantuk," keluhnya, berharap Zian membiarkannya tidur lebih lama lagi.
Zian mendengkus pula terkekeh kecil. "Now is ten, Gummy. Wake up." Begitu Zian mengatakannya sembari mengusap rambut Ilen.
Lalu Zian benar-benar membawa tubuh Ilen untuk duduk, secara perlahan, menyandarkan tubuh cewek itu pada dada seakan-akan Ilen adalah anak kecil yang sedang sakit. Padahal, hei, Ilen tidak selemah itu setelah kegiatan mereka semalam.
Zian memberikan Ilen segelas susu yang masih hangat, sekilas Ilen melirik pintu kamar dimana kunci yang cowok itu buang sudah tergantung di sana. Entah bagaimana cara cowok itu bebas dari sini. Pasti ada kunci cadangan, kemungkinan besar bibi di rumah ini yang membantu cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...