Ileana sudah siap dengan tas putih susu di punggungnya. Ia sendirian, tak bersama Zahra dan Luna yang menyebalkannya tak mau menemani. Mereka memilih melipir bersembunyi di dekat sini, memperhatikan apakah akan ada sesuatu yang terjadi antaranya dan para member ZiBos.
Zahra dan Luna yang repot berbicara panjang lebar saat sarapan. Tentang apa saja yang belum mereka jelaskan, tentang hal buruk yang mungkin Ileana dapatkan. Ilen mendengarkan seksama (dominan malas) sembari menyantap sarapan.
Satu, kalo lo sama Zian nggak ada apa-apa kemaren, berarti satu SMA Nusa Indonesia belum ada yang tau. Zian masih sama pacarnya yang baru ditembak hari Selasa, si Lesya.
Ilen melangkah. Satu tangannya yang menggenggam ponsel mengerat, berusaha yakin tak terjadi apa-apa. Gadis itu berdecak tiba-tiba, merasa lucu mengapa ia harus merasa sekhawatir ini. Well, tak ada yang perlu dikhawatirkan kemarin. Tak ada apa-apa, maka hari ini pun seharusnya tidak. Ilen lupa memastikan apakah ia salah dengar kemarin lusa. Apakah benar, Zian menembaknya di dalam kelas.
Benar, tak ada sesuatu yang akan terjadi hari ini. Luna dan Zahra tak perlu menjadi penguntit seperti itu, ia tak perlu merasa hidupnya akan berantakan karena Zian.
Ilen menelepon Zahra, bergumam cepat. "Lo buat apa ngumpet, sih, Ra? Gue nggak liat pun, lo sama Luna pasti lagi dempet-dempetan. Lo sama Luna lagi liatin gue, orang-orang di sekitar gue, bahkan gue yakin lo tau berapa senti gue jalan. Ra, bodo amat, gue sekarang nggak peduli. Anggep aja gue salah denger kemaren. Zian nggak nembak gue, gue lagi mimpi atau malah halu--"
"Len!"
"Bodo amat! Gue mau sekolah, bukan ngurusin kayak gituan. Gue kayak, ini gue yang ge-er atau gimana? Gue kurang kerjaan mikirin kayak gitu?"
"Diem, Il--"
Zahra berteriak, Ileana mendengarnya dengan jelas. Ilen sadar ia berbicara panjang lebar, mengeluh di tengah-tengah halaman sekolah. Ilen tak mempedulikan apakah ada seseorang yang mendengarkan celotehnya (kalau iya, maka akan berbahaya).
Ilen berbalik saat ponselnya berpindah tangan. "Ra, ngomong kal--"
Zahra tak setinggi ini. Ilen hanya sebatas dagu saat berbalik, ia bahkan lebih tinggi dua senti dari Zahra. Ileana jadi tak berani mendongak, padahal sudah tahu siapa orang di depannya.
Ilen berdiri kaku, sedikit menunduk, menatap jelas lima pasang kaki panjang bersepatu hitam yang berdiri dalam satu barisan.
"Bawain tas gue."
Ilen sontak mendongak. Ia tak menatap Zian, melainkan ponselnya yang sedang Zian mainkan. Hell, Zahra dan Luna tak pernah berpikir kalau Ilen bisa menolak. Ilen bukan cewek gampangan, yang seakan tahu semua hal tentang Zian. Ilen harus bersikap acuh, layaknya bertemu orang asing (Zian memang seperti itu, Ilen sama sekali tak tahu apapun tentang orang ini).
Ilen menyerngit bingung. Ia hendak mengambil ponselnya, tetapi Zian lebih dulu menyimpan dalam saku baju.
"Sorry, itu hp gue."
Oh, Ilen. Lo tau Zian yang ngambil dan--kenapa lo harus ngomong itu, sih?!
Zian menatapnya datar. "So?"
Ilen diam sebentar. "Itu hp gue, jadi lo nggak berhak buat ngambil." Ilen tak tahu ia bisa menolak dengan santai seperti ini. Salahkan Zahra dan Luna yang menakut-nakutinya tadi malam.
"Lo yang di parkiran belakang kemaren, 'kan?" Janu yang menimpali. Ilen tak melihat kaleng kopi di tangan cowok itu (lagi pula, mengapa Ilen harus memperhatikannya di saat seperti ini).
Ilen hanya mengangguk.
"Ooh, jadi ini pacar lo minggu ini, Bos?" Bagas bertanya sambil melihat Ilen dari atas ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...