Ada satu penyelamat yang tidak akan berada di sisi Ilen dengan membawa kekurangan. Setiap saat Ilen mencari, ia akan selalu ada, akan dapat menemukan Ilen dimana pun ia rapuh. Mungkin, satu-satunya yang tak dapat menyakiti Ilen adalah itu.
Seperti sekarang, Ilen ingin menemuinya, bahkan tanpa mengatakan apa-apa, ia dapat tenang atas keberadaannya.
Malam ini ia ingin menemuinya dengan dekat. Ia tidak tahu dimana lagi tempat selain ini, sebab walau dapat ditemui di mana pun, dia jauh. Dia tak terjangkau.
Ilen mendapatkan kunci rooftop gedung bar dari Zian. Sebut saja mencuri, ia pencuri di tempat ini. Ia mengendap, naik lewat tangga samping, beruntung Zian tidak menguncinya dari dalam. Beruntung yang lain kunci rooftop tergantung di pintu, sekarang ia simpan di saku trench coat-nya. Pintu sudah pasti ia kunci dari luar, mencegah kemungkinan untuk siapa pun naik ke sini.
Ia tahu ini gila, tidak seharusnya bertindak seceroboh ini. Sudah tahu penyebab rasa sakitnya di sini, tetapi ia tidak pergi.
Namun, ia akan egois satu malam ini.
Karena dari rooftop, bukankah langit dapat terlihat lebih dekat? Itu yang ia butuhkan sekarang, ia tidak memiliki kekuatan untuk mencari rooftop lain di kota ini.
Dan, kabar buruknya, baru beberapa menit berdiam di sini, langit mendung. Akan hujan.
"Kalo boleh, jangan hujan. Gue udah capek nangis, hujan nggak perlu temenin gue."
Mata dan hidung Ilen merah. Sembab. Jejak air matanya bahkan masih terasa, ia baru berhenti menangis tak lebih dari satu menit lalu.
Apabila hujan, dapat dipastikan ia akan menangis lagi bersama rintik yang mampu menyamarkan. Jadi, semesta tak boleh mengasihaninya dengan ikut menangis juga.
Ilen menatap langit di atas, sedikit mendongak. Ia duduk di dinding pembatas, kakinya mengayun ke bawah. Semilir angin membelai lehernya, dingin, tetapi ia tak peduli. Jika dari dalam saja ia sudah rusak, untuk apa melindungi fisik yang sakitnya tak seberapa. Lalu ia mengingat-ingat. Cakra benar, di keadaan selemah ini seharusnya ia tak sendirian. Karena bisa saja dari sisi terburuk otaknya, ia memilih terjun dari sini. Selesai dengan cara paling pengecut, paling mudah, 'kan?
Kalau asanya sudah putus, akan coba dipikirkan nanti.
Soal langit. Sebut saja Ilen iri. Langit selalu tenang, walau mungkin beberapa kali petir dan guntur mengusiknya, langit dapat kembali tenang. Langit tak pernah mengeluh walau hanya di temani bulan di beberapa malam. Seperti sekarang, hanya ada bulan berbentuk sabit yang bahkan samar. Tertutup awan. Langit tetap bertahan di posisinya, tetap mengedar setiap saatnya.
Ilen sadar. Ia tidak boleh berharap dapat sekuat langit, ia hanya mampu mengharapkan ketenangan yang sama. Ia ingin tetap berdiri bagaimanapun serangan yang didapatkan. Ia ingin tetap bertahan.
Namun, langit saja jauh. Langit saja beberapa kali hujan. Jadi tak apa jika ia beberapa kali berantakan, ia boleh menangis di kala semesta keterlaluan. Iya, 'kan?
"Apa yang harus dilakuin habis ini? Siapa lagi yang mau nganggep gue hidup kalo dia aja pergi?"
Separah ini ia sudah mencintai Zian.
"Tapi bego banget, 'kan, kalo gue nggak hilang dari hidup dia? Dia nggak ada kemungkinan bakal sakit karena itu, tapi semua tempat yang dia punya bakal ngingetin dia sama gue, 'kan? Dia mungkin brengsek, tapi dia punya harga diri ... dia punya perasa--dia ...."
Ilen mendesah frustasi. Ia memukul keras dadanya, berharap nyeri di dalam sana hilang. "Sialan!" umpatnya keras.
"Kenapa cowok brengsek kayak dia harus ketemu gue, orang yang paling bego soal hati, sih?! Kenapa gue semudah itu nerima cinta yang nggak pernah ada?! Kenapa gue ngasih semuanya sama dia?!" Ia terisak, ia usap air matanya dengan kasar. "Lo harus semurahan ini karena cinta yang nggak pernah lo dapetin dari siapa pun?! Lo harus segoblok ini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Novela Juvenil"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...