"Lo nggak pernah ngerasa ngantuk, ya, Zi?" tanya Ilen, duduk di sebelah Zian setelah menyadari cowok itu tak ada di dalam. Ilen menyerahkan sebotol air mineral, mengambil alih bir di tangan Zian yang masih tersisa banyak.
Ilen sembunyikan di belakang tubuhnya. "Minumnya udah, ya. Sekarang jam dua pagi, harusnya lo tidur."
Di halaman samping rumah Luna, terdapat bangku kayu panjang dan dua buah ayunan besi di sampingnya. Di bagian paling kanan, berdiri gazebo kecil yang biasanya Ilen, Zahra, dan Luna gunakan untuk bermalasan sambil menunggu matahari tenggelam.
Pandangan mereka akan jatuh pada bunga-bunga hias yang mama Luna miliki, lalu pagar besi yang disuluri tanaman-tanaman rambat. Senja akan nampak di balik satu-satunya pohon apel besar di halaman ini. Semburat jingganya memantulkan cahaya pada bunga-bunga, dan terlihat cantik sekali.
Malam hari seperti ini, hanya ada satu lampu sebagai penerang di samping ayunan. Ilen duduk di sana, memberi jarak dengan Zian yang duduk di bangku kayu.
"Gue nggak bisa tidur. Luna juga nggak tau pergi kemana."
Ilen terjaga, tetapi terlalu banyak melamun hingga tak menyadari ketika Luna pergi dari sebelahnya. Ia menyerah, memilih keluar kamar dan memeriksa keadaan di bawah. Ia mendapati televisi masih menyala, tetapi tak ada siapa-siapa.
"Mau gue tidurin?"
Ilen mendengkus ringan. "Kalo gue mau, mau dimana?"
Zian melirik singkat, menyipitkan mata. "Kalo udah ngantuk, masuk lagi aja."
Ilen terkekeh geli. Ia berdiri, beralih duduk di samping Zian. Di bangku kayu panjang, kali ini tanpa menyisakan jarak. "Gue lagi nggak ngelantur, tau. Gue serius."
Ilen menautkan alis mendapati Zian mengeluarkan rokok dan pemantik dari saku. "Rokok lo 'kan ada di gue."
Zian memantik rokok hingga terbakar, kemudian menghisapnya dalam-dalam. "Punya Seth."
Ilen mengangguk-angguk paham. "Gue sama Luna harus kerja keras biar kalian nggak terlalu sering ngerokok, kalo gitu," cetusnya.
Zian mengernyit, terlihat tidak setuju. Ilen segera menambahkan, "Biar nggak terlalu sering bukan berarti nggak boleh, Zi. Emang nggak ada yang lebih baik daripada rokok, ya?"
Zian menghembuskan napas, menguarkan asap rokok yang seketika Ilen cium. Tanpa sadar Ilen menghirupnya dalam, menandai seperti apa aroma asap rokok itu.
"Ada."
Ilen terkesiap. Fokusnya teralihkan hanya karena asap rokok yang perlahan mengurai hilang.
"Kalo lo mau gue cium setiap hari, gue berhenti."
Ilen mengernyit heran. "Seharian ini udah berkali-kali, 'kan?"
Bahkan sejak pagi, dan itu lama sekali. Mereka sempat bertengkar tetapi kembali membaik tanpa sempat membicarakannya bersama. Mengabaikan alasannya, membuat kecupan manis di waktu yang nyaman. Ilen seharusnya memberitahu Zian tentang apa saja sikap bajingan Bondan tadi. Membenarkan hal-hal kecil yang memang mudah dilakukan.
Ini seperti, kecupan mereka adalah ungkapan lain sebagai tanda jika mereka baik-baik saja.
"Mau kalo gue lakuin setiap hari?" tanya Zian balik.
"Kalo lo beneran berhenti ngerokok, mau-mau aja," sahut Ilen santai. "Tapi, asal nggak lebih dari cium bibir, ya."
Zian hanya mendengkus geli. Ucapan Ilen teredam oleh suara serangga malam, serta angin yang kadangkala berhembus pelan.
Meskipun Ilen kedinginan, dengan tangan yang sesekali mengusap lengan, ia ikut terkekeh geli bersama Zian. Sepertinya memang beresiko lebih jika Zian atau bahkan Ilen sendiri tak bisa bertahan hanya sebatas itu. Karena ... masing-masing netra yang saling memandang dalam itu bisa menjadi bahaya. Ilen harusnya menghindar, bukannya menawarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...