"Gue ada satu permintaan." Ilen menimang, menghembuskan napas kasar. "Lebih ke ... gue minta satu keputusan dari lo, sih."
Bibir Ilen sudah terasa dingin. Ponsel miliknya ia tinggalkan di kamar lantai atas, jadi tak tahu sekarang pukul berapa. Seingat Ilen, belum lebih dari satu jam mereka ada di lantai dasar.
Zian menatap Ilen ringan. Membiarkan setiap tegukan menghilangkan rasa amarah secara perlahan. Zian sadar seberapa banyak kaleng bir yang mereka habiskan, walau Ilen baru meminum dua kaleng yang belum sepenuhnya kosong.
Ilen sudah duduk kembali di bar stools, meletakkan kedua lengan di atas meja.
Gadis itu mengulum bibirnya sebentar, "Kalo gue belajar bikin cocktail? Maksud gue, kayak alkohol delima yang pernah ... gue minum waktu itu," ujarnya pelan.
Zian membawa telapak tangan Ilen, merasakan jika kedua telapak itu dingin juga terlihat memerah. Kemudian menyentuh sisi wajah Ilen yang sudah dingin juga.
Zian pikir Ilen sudah ada di bawah pengaruh alkohol. Hingga cewek itu mulai mengatakan hal yang tak masuk akal.
"Kita ke atas kalo lo udah capek."
Ilen menggeleng dengan cepat. "Gue masih sadar sekarang gue lagi ngomong apa, Zi. Gue lagi nggak bercanda."
Kecualikan wajah dingin Ilen yang mulai memerah juga, senyuman yang kian hadir begitu ringan. Kelopak mata gadis itu yang jadi sering mengerjap lambat.
Zian menghela napas dalam. "Bikin pom fizz nggak semudah itu, Len. Paling dasar, lo harus mahir suguhin bir yang cuma tinggal tuang."
Ilen mendecak ringan. "Minuman kaleng itu gampang, Zi. Sebentar aja, gue pasti jago."
Sudah terlihat jika Ilen akan kehilangan kesadaran sebentar lagi. Toleransi cewek itu semakin baik, sekalipun belum mampu menghabiskan dua kaleng bir dingin.
Zian memperhatikan Ilen lebih dalam, memutar tubuh agar duduk menghadap gadis itu. "Kenapa lo pengen belajar?"
Ilen duduk menghadap Zian juga. Terlihat tengah berpikir cepat, kemudian baru beberapa detik, gadis itu memberikan jawaban. "Gue itu paling nggak suka buah delima. Tapi, bisa-bisanya gue suka sama pom fizz?"
Zian menyilangkan tangan, mendengkus geli mendengar ucapan Ilen.
"Bang," panggilnya saat David melewati mereka berdua untuk mengambil botol kaca panjang berwarna gelap.
David terhenti, menoleh menatap Bos-nya. "Kenapa? Berantemnya udah selesai, nih? Gue nggak mau ikut-ikutan soalnya." Mendapati tatapan kesal Zian, David mengangguk-angguk cepat. "Maaf, maaf. Butuh apa, Bos Zi?"
"Delima. Buah delima."
David menatap Zian dan Ilen secara bergantian, merasa penasaran barang sebentar. "Ada, sih. Bentar, sekalian ambil wine di bawah."
"Lo beneran mau ajarin gue bikin pom fizz?" tanya Ilen tak yakin.
Zian tersenyum tipis. Cowok itu menghadap ke bartender station lagi, kali ini memanggil Arlo yang tengah membuat mojito.
"Ar, ambilin kue krim stroberi."
Laki-laki yang tengah fokus membuat minuman itu terinterupsi, menoleh pada Zian sambil mengernyit bingung. Zian mengedikkan dagu ke etalase kaca pada sisi kanan. "Kue krim stroberi," ulang Zian sekali lagi.
Arlo mengambil satu slice kue dengan kilat, diletakkan di depan Zian. Arlo kembali dengan mojito yang belum selesai sembari menoleh penasaran ke arah Zian. Agaknya Arlo tahu apa yang akan terjadi, tetapi Arlo tak percaya jika Zian yang akan melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...