Ilen tak perlu membawa tas ke sekolah, karena tas-nya sudah berada di sana. Ilen pikir setidaknya Luna atau Zahra membawa pulang, atau paling tidak diletakkan di atas loker kelas. Ilen lupa menanyakan saat melakukan panggilan tadi malam. Mereka malah berakhir bertengkar seperti ini, dan Ilen tahu Zahra tidak akan berbicara dengannya hari ini.
Ilen benar. Saat masuk ke kelas, tas punggungnya sudah ada di bangkunya. Ilen hanya menggenggam satu buku tugas untuk hari ini, Ilen letakkan di meja. Ia melirik Zahra dan Luna yang sudah datang lebih awal. Luna menyadari, ia melambai ringan. Ilen paham seberapa Luna kesulitan menghadapi ia dan Zahra yang tak akur seperti ini.
Ilen tersenyum tipis menanggapinya. Ia meraih tas miliknya, berbalik dan membuka loker setelah mengambil kunci dari saku samping tas. Ilen meninggalkan beberapa buku di sana, itu yang membuat Ilen tak perlu membawa banyak barang.
Setelah menukar buku sesuai mata pelajaran hari ini, Ilen duduk kembali di kursinya. Ia menoleh ke samping, melihat lapangan bola yang dipenuhi siswa-siswa yang bermain basket di pagi hari. Tempat duduknya berada di samping dinding, Ilen leluasa melihat ke bawah.
"Lo udah sarapan, 'kan, Len?"
Luna bertanya sembari menoleh, itu adalah pertanyaan yang selalu Luna atau Zahra tanyakan setiap hari. Mereka paling tahu Ilen tak mudah makan, gadis itu memilih hanya menelan satu helai roti tawar di kosan.
Ilen menidurkan kepalanya ke atas meja, tanpa mengalihkan pandangan dari bola yang dipantul-pantulkan.
÷÷÷
"Kafetaria, yuk, Len," ajak Luna saat bel istirahat kedua berbunyi satu menit yang lalu. "Nggak usah ke perpus, istirahat pertama udah ke sana tadi."
Ilen sudah biasa pergi ke perpustakaan saat istirahat pertama, juga biasa diajak ke kafetaria saat istirahat kedua. Hari ini berbeda karena Zahra tak menariknya secara paksa. Zahra tak mengomelinya yang terlalu fokus dengan buku. Hari ini, Zahra sudah berlalu dari hadapannya lebih dulu.
"Nggak, Lun. Lo sama Zahra aja. Gue nggak--"
"Karna Ilen sama kita, lah." Ilen kontan menoleh saat seseorang merangkul bahunya. Seth memberi satu kedipan gombal pada Luna. "Tapi kalo lo mau ikut, boleh juga, kok, Ayang."
Luna menatap Seth bingung, gadis itu bergidik. Luna berlalu cepat dari hadapan mereka, menyusul Zahra karena tak mau mencari masalah. Ilen memperhatikan langkah buru-buru temannya itu yang keluar dari kelas, lalu dari sana Ilen menemukan Zian dan Cakra yang menunggu di luar. Saat memperhatikan, hadir satu rangkulan lagi di sisi bahunya yang lain.
"Yuk, Beb." Bagas mempunyai permen cola tangkai di mulutnya, ia mengedik pada Zian di depan. "Zian udah nunggu di depan, noh."
Di kelas masih ada siswa siswi yang belum keluar, mereka tak segan menatap Ilen terang-terangan. Mereka seakan menunggu reaksi gadis itu. Mengabaikan tujuan masing-masing, memperlambat detik demi detik yang Ilen rasa semakin memekakkan telinga.
Ini kejutan, tetapi Ilen tak terlalu terkejut. Ilen tak tahu bagaimana cara Zian memutuskan status mainan mereka, namun sepertinya tidak secepat itu. Masih ada hari-hari berat yang setia menunggu, atau tumpukan kotoran yang meminta dibersihkan di unit apartemen itu.
"Kemana?" tanya Ilen pelan, hanya Bagas dan Seth yang mampu mendengarnya. Ia sama sekali tak mau dibawa ke antah berantah lagi, terlebih oleh cowok yang sudah membuatnya emosi di depan sana.
Ia dibuat menjadi babu, terselubung dari status pacar mainan oleh playboy menyebalkan yang suka memerintah. Semuanya harus dilakukan, harus dituruti, dan Ilen tak mendapat apapun sama sekali. Ilen malah menemui tempat-temp at menakutkan, yang satu per satu mengambil apa dari dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Novela Juvenil"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...