Langit gelap. Yang tampak hanya bulan seorang tanpa bintang satu pun. Bahkan malam ini tidak ada yang berusaha menutupi sinarnya, tak terkecuali awan-awan. Cerah, tetapi seakan hampir kehilangan kekuatan, yang timbul mulai menyamar.
Malam ini hanya bulan seorang, tetapi bulan itu tampak lelah. Hampir redup.
Zian membawa Ilen pergi. Mengajak Ilen menemui sebuah luka baru. Luka terakhir yang tidak pernah Ilen sangka akan menjadi luka paling hebat.
Ilen tidak ingin mengakuinya, tetapi semakin ia buang jauh rasa familiar ini, semakin nyata perasaan tak nyaman itu singgah. Ia masih mengenali perasaan tak nyaman sama seperti malam kala itu. Perasaan asing yang kuat akan sebuah ketakutan terbesar yang harus dihadapi.
Ilen merasa sesuatu akan terjadi. Sesuai seperti langitnya yang gelap pekat, angin yang mulai berhembus kencang, serta gemuruh guntur sekalipun langit di atas bersih. Ini sama persis seperti malam kehancuran tiga bulan lalu.
Namun, hanya ada mereka berdua sekarang. Hanya ada satu sama lain yang dapat saling menyakiti. Ini ... tidak mungkin terjadi.
"Kenapa ... lo bawa gue ke sini?" Ilen bahkan mendengar suaranya sendiri bergetar.
Zian tidak pernah melepas pandang dari Ilen, padahal cewek itu tengah mengedarkan pandangan gelisah. Mengamati setiap bagian dari tempat ini dengan sorot mata penuh luka.
Zian tidak ingin melihat dunianya hancur lebih dalam lagi. Luka gadisnya belum pulih dengan benar. Akan tetapi, menyimpan lebih lama kebenaran ini hanya akan menyakiti Ilen lebih dalam. Semakin lama semuanya terpendam, semakin perih goresan luka yang Ilen dapatkan.
Zian hendak meraih tangan Ilen, tetapi cewek itu mundur satu langkah lebih cepat. Binar mata yang belum pulih itu terlihat sudah berkaca-kaca.
Sudah dengan menangis, Ilen bertanya, "Lo udah tau rencana gue, 'kan?"
Zian membawa Ilen terlalu dekat dengan pantai. Kaki Ilen bahkan lolos terkena air, dan hanya dengan sengatan itu, tangis Ilen berangsur lebih dalam. Ilen menghindar lebih jauh dan Zian mengikutinya.
"Lo udah tau kalo lo lakuin pertunangan itu, gue bisa ketemu bokap gue? Lo udah tau tentang perjanjian gue sama Kak Rania?"
Zian bersumpah ini adalah luka terakhir yang harus Ilen terima. Setelah ini, Ilen tidak akan kenapa-napa. Ia tidak akan membiarkan Ilen terluka.
Hanya kali ini.
Luka terakhir ini.
Ilen berhenti. Dua telapak tangan cewek itu mengepal di masing-masing tubuh. Pantai ini. Rasa sakit ini. Rania pernah membawanya ke sini, dan sekarang Zian bahkan mengetahuinya. Entah bagaimana caranya.
"Gue nggak marah kalo alasan lo minta gue lakuin pertunangan adalah demi diri lo sendiri. Demi cinta lo sama bokap lo."
Zian berhasil meraih telapak tangan Ilen. Menggenggam tangan dingin itu dengan erat. "Tapi kalo lo bilang itu keinginan lo, gue mungkin bisa bantu lebih dari yang kakak lo janjiin. Kita bisa cari bokap lo sama-sama. Dan nggak perlu berujung salah paham."
Ilen berusaha menghentikan tangis. Namun, bunyi debur ombak terlalu menggores hati. Sebuah perasaan berat yang datang hanya dengan menginjak pantai. Hanya dengan mendengar suara ombak. Hanya dengan merasakan hembusan anginnya.
"Maaf."
"Gue tau dimana bokap lo sekarang."
Ilen kontan menatap Zian. Memandang wajah itu dengan saksama, mencari satu bagian saja yang terlihat seperti sebuah kebohongan. Namun, Ilen tidak menemukannya. Zian tidak akan berbohong untuk hal-hal ini. Menyangkut kebahagiaan Ilen adalah hal-hal yang tidak dapat dianggap mainan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...