Pagi hari di sekolah. Sepertinya sudah tiga hari Ilen hanya mampu terlelap selama empat jam. Itu pun tak mampu nyenyak. Terlebih malam tadi, Ilen tak mempunyai alasan mengapa ia mampu tertidur satu menit saja.
Kepalanya yang terasa pusing. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan kakinya tak memiliki tenaga untuk berjalan dengan tegap. Lidahnya seakan mati rasa, serta keringat dingin yang masih muncul entah sedari kapan. Ilen berjalan di antara siswa Nusa Indonesia yang lain, bersama rasa yang mendominasi itu.
"Len!" panggil seseorang dari belakang.
Ilen mengedipkan matanya pelan, masih melangkah dengan langkah lambatnya.
Saguna hadir dengan satu potong kecil kue krim susu yang disodorkan kepadanya. "Lo keliatan butuh ini."
Ucapan Saguna terdengar seperti Ilen sudah terlihat pucat dengan mudah. Tawaran kue itu dengan nada yang santai, layaknya Saguna tak melihat apa-apa tadi malam.
Ilen mengambilnya acuh.
"Len, lo nggak papa?" Baru pertanyaan yang menyiratkan jika Saguna melihat Ilen tadi malam.
Malam, gang gelap dengan belokan yang sudah Ilen lupakan jalan keluarnya.
Ilen bimbang untuk tetap diam atau mencari pertolongan. Namun, fakta jika malam semakin larut semakin berbahaya, membuat Ilen segera pergi dari sana. Dengan kakinya yang lemas, tetapi dipaksa berlari dengan lekas. Ilen selalu memeriksa ke belakang karena dua orang itu mampu muncul kapan saja.
Namun Ilen tak memikirkan kemungkinan jika mobil hitam itu masih menunggu di jalan depan gang.
Isakan pasrah lolos dari mulutnya. Ilen kemudian menggeleng cepat agar tidak mengalah dengan mudah. Serta merta beberapa celah yang belum Ilen pikirkan.
Mobil hitam itu hanya terparkir. Dipastikan terdapat beberapa orang di dalam, yang jika berhasil menemukan keberadaan Ilen, gadis itu akan segera ditarik pergi bersama mereka. Hal yang sangat melegakan jika Ilen dapat lolos hingga halte bus lima belas meter di depan.
"Mau pergi kemana, Cantik?" goda seseorang dari sisi lain mobil.
Ilen terisak dalam, mengambil langkah cepat untuk menghindar dari Bondan. Satu laki-laki yang berhasil mencekal tangannya.
"Lepas," seru Ilen dengan suaranya yang bergetar.
"Hei, kenapa lari, Honey?" Bondan mendekat dengan perlahan karena kaki cowok itu yang baru patah beberapa hari lalu. "Lo bahkan mau seneng-seneng sama gue, 'kan?" Bondan mengerling dengan senyuman miring.
"Nggak," sahut Ilen lirih.
"Oh, ayolah. Lo nggak usah sok lemah gini di depan gue. Harus sama Zian, baru bisa keliatan kuat sama nakal?"
Ilen menendang tulang kering cowok itu keras. Bondan mengerang kesakitan karena terlalu tepat mengenai lututnya yang sakit paling parah.
"Eat that shit alone, Fucking Jerk!" pekik Ilen keras, melepas cekalan laki-laki kekar itu susah payah.
Ilen berlari secepat yang ia bisa. Isakan yang masih lolos di sela-sela itu semua. Ilen tak peduli dengan kakinya yang terasa sakit hingga hampir mati rasa. Gadis itu bernapas begitu lega saat mencapai halte bus dan kedatangan bus setelahnya. Terima kasih terhadap waktu yang tepat.
Ilen menyeka jejak air matanya saat masuk, berusaha menormalkan deru napas. Menunduk, duduk pada tempat di dekat jendela.
Ilen pikir hampir lima menit berjalan hingga botol air mineral disodorkan dari belakang. "Minum dulu, Len."
Ilen menunduk lebih dalam kala mendengar suara itu.
Saat ini, apabila Ilen bertanya mengapa Saguna tidak mengajukan pertanyaan tentang tadi malam, apakah terdengar aneh?
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Roman pour Adolescents"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...