ZiBos : Sippin' |12|

31 1 0
                                    

Ilen belum pernah bertengkar sampai sejauh ini dengan siapa pun. Ilen belum pernah menjawab dengan sebegitu berani terhadap lawan bicaranya, terlebih Ilen jarang berbeda pendapat dengan orang lain. Biasanya Ilen akan diam, sama seperti apa yang ia lakukan di depan Widya. Namun ternyata, Ilen seperti itu karena Ilen lebih menghargai Widya sebagai ibunya. Kali ini ia berdebat dengan teman, yang emosi dan pemikirannya masih sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah. Rasanya, Ilen harus mempertahankan pendapatnya juga.

Masalah keluarga Ilen sudah ada, tetapi hadirnya Zian membuatnya lebih merasakan sakit kepala. Karena Zian ia merasa takut setiap waktu, karena Zian menyebabkan pula pertengkarannya dengan Zahra dan Luna.

Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Ilen belum merasa kantuk sama sekali. Semua hal satu per satu masuk ke dalam pemikirannya dan bercampur berantakan di sana. Ilen jadi pusing. Ilen jadi tak tahu harus bagaimana.

Ilen melemparkan sampah terakhir yang mengotori kamarnya pada kantong kresek hitam di sudut ruangan. Ini sudah terlalu malam (Ilen juga malas), jadi ia akan membuang ke tong sampah depan rumah kosan besok pagi. Lagi pula sebentar lagi jam sepuluh, Mba Adel akan mengunci gerbang depan rumah.

Satu jam lalu Ilen mandi dan keramas. Ia pikir mungkin saja bisa menyegarkan tubuh terutama kepalanya. Piyama biru pastel pendeknya menjadi sedikit basah karena rambutnya belum sepenuhnya kering.

Ilen habis membersihkan kamar, jadi ia mencuci tangan sebentar di kamar mandi. Pandangannya bergulir pada kamar yang ia tempati, lalu menghela napas dalam. Ia menggaruk rambut belakangnya frustasi.

Karena jika Ilen memaksa tidur, kepalanya hanya akan bertambah sakit nanti.

Gadis itu memilih duduk di bibir ranjang dan mengedip beberapa kali. Sialnya, kedipan itu membuat air mata Ilen menetes satu kali.

"Ck!" decaknya kesal.

Zahra dan Luna benar. Mereka tak berteman lebih dari setengah tahun. Ilen yang masih terlalu takut percaya pada dua gadis itu. Namun kembali lagi, untuk bercerita pun Ilen tak tahu apa ia mampu. Bukan apa saja yang ia alami bersama Zian, tetapi bagaimana reaksi Zahra dan Luna jika mengetahuinya. Karena pertengkaran tadi, Ilen tahu mereka benar-benar mengkhawatirkannya. Lalu jika mereka mengetahui apa yang Zian lakukan, mereka bisa saja berbuat nekat dengan mencegat atau melawan Zian tanpa banyak pikir panjang.

Yang Ilen takutkan, Zian akan benar-benar melakukan hal yang sama kepada Zahra dan Luna. Ya tentu, Ilen tahu Zian tak bermain dengan perkataannya kala itu. Daripada semua dari tiga gadis tahu bagaimana rasanya, lebih baik satu saja dan menjaga yang lainnya. Tiga cewek baik-baik dengan lima cowok yang suka bermain di bar itu sudah berbeda, mereka kalah telak.

Mudahnya, Ilen ingin Zahra dan Luna tak tahu apa-apa tentang bagaimana ZiBos sebenarnya. Bagas pernah berkata, ia akan baik-baik saja jika ia menurut dan tak berbuat macam-macam. Ilen tahu tabiat temannya, terlebih Zahra yang suka mendengar rumor dan menjadi pengantara juga. Zahra tahu Zian bagaimana, lalu menyebarkan kepada satu Nusa Indonesia, berkoar mencari keadilan dan menumpas kejahatan, Ilen yang harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia.

Itu tak berlebihan, Zian saja mempunyai musuh berengsek seperti Bondan.

Ilen menitikkan satu tetes air mata karena tiba-tiba teringat Widya dan Rania. Entah kapan lagi ia dapat menemukan kakaknya, seberapa lama lagi keluarganya seperti ini. Ilen mendadak menyesal dan menyalahkan diri sendiri.

Andai ia lebih mengutamakan Rania, Widya pasti akan memeluk dua anak perempuannya di saat yang bersamaan. Widya pasti merasa lega luar biasa karena anak sulungnya baik-baik saja. Lalu Ilen dapat bercerita dengan kakaknya bagaimana sekolah, teman-teman, perasaannya, layaknya kakak beradik pada umumnya. Pengandaian itu terlihat sangat indah, yang tentu saja membuat Ilen lebih merasa bersalah.

ZiBos : Sippin' [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang