Tak ada sepuluh menit Zian mengemudi, Ilen tersenyum tipis saat mobil mereka berhenti. Ia sedikit ragu Zian akan membawa mereka ke supermarket, tetapi beruntungnya, Zian memang membawa mereka ke sana.
"Ambil yang perlu aja. Jangan lama-lama. Biar gue yang sama Zio, gue mau ambil soda dulu di depan."
Begitu perkataan Zian sesaat setelah turun. Padahal Ilen sudah menggenggam tangan Zio, anak itu juga sudah tersenyum lebar untuk cepat-cepat masuk ke dalam.
"Zio nggak sama gue aja? Lo nggak ribet angkat-angkat kardus sambil perhatiin Zio?"
Mereka sudah berjalan masuk, pelan, karena Zio belum pasti akan bersama siapa.
Zian menoleh ke tempat biasa ia membeli soda dan cola. "Nggak. Zio bisa nunggu di sini bentar selagi gue angkat kardus ke mobil."
Ilen mengernyit, "Zio harus sendirian? Ini rame, Zi. Lo yakin Zio nggak papa?" Ilen tentu saja tak setuju jika Zio harus seperti itu. "Biar sama gue aja, lagian Zio masih bisa gue tuntun sekalipun sambil dorong troli. Kasian adek lo, Zi." Juga, Zio bahkan baru saja jatuh dan lututnya terluka. Anak kecil yang menggunakan kaos hitam pendek gambar tokoh animasi kartun itu masih sesekali menyentuh telapak tangan kirinya yang sedikit lecet pula.
Zian mendengkus, "Nurut, aja, Ilen." Ilen sudah terlalu cerewet seakan Zian tak bisa mengatasi hal sepele. "Zio gue yang urus. Dia sama kayak anak kecil lain yang bakal nggak betah kalo diajak beli sayur. Nanti rewel, lo yang repot."
Oh, iya. Sepertinya memang benar anak kecil hanya akan menarik-narik tangan orang yang membawanya untuk pergi ke tempat yang ia mau. Seperti mencari permen dan coklat, lalu setelah puas, tinggal merengek minta pulang. Apalagi Zio yang tangannya terluka, pasti tidak betah lama-lama.
Ilen mengusap rambut anak itu dengan tangannya yang tak menggenggam, "Tapi, lo yakin Zio nggak bakal kenapa-napa?"
Zian menjawabnya dengan menggenggam tangan Zio. Zio tak menolak, menggenggam tangan kakaknya juga. Entah anak itu menurut untuk bersama Zian atau tidak, akan tetapi, Zio pasti paham apa yang sedang mereka bicarakan. Lalu, jadilah, Zian dan Ilen masing-masing menggenggam pergelangan tangan Zio.
Ilen memperhatikan tangan Zio yang keduanya mendapat genggaman, menghela napas, "Nah, kalo bareng-bareng aja emang nggak bisa?" Ilen seperti menemukan ide yang lebih brilian.
"Mau, Kak!" Zio menimpali begitu semangat. Tentu saja kakinya sudah menghentak-hentak ingin melangkah dan berusaha menarik dua orang yang menggenggam tangannya itu. "Ayo ambil permen itu, Kak!" hebohnya sembari menunjuk-nunjuk permen coklat di depan, yang terletak tak jauh dan mudah dijangkau.
Zian mendesis. "Bener maunya kayak gitu?" tanyanya rendah kepada Ilen. Ia menahan pergerakan Zio yang ingin cepat-cepat pergi mengambil permen. Hanya dengan berdiam diri dan menggenggam tangan anak itu dengan sedikit lebih keras, Zio tak mampu kemana-mana.
Ilen mengedip pelan, beberapa kali. "O-oke, oke." Perintah Zian artinya tidak bisa diganggu gugat. Apalagi, suara rendah Zian sudah muncul dan didengarnya.
Gadis itu berdehem sebentar, "Gue ambil barang-barang yang gue kira perlu aja, kalo gitu. Nanti, terserah lo maunya gimana."
Mereka berpisah seperti itu, Ilen yang melepas genggamannya terhadap Zio dan berjalan masuk ke dalam setelah mengambil troli. Gadis itu sama sekali tak menoleh ke belakang, karena ia akan berusaha percaya atas apa yang Zian katakan. Zian kakak Zio, pasti mampu menjaga adiknya. Setidaknya, itu yang Ilen harapkan, sekalipun Zio sudah berkali-kali terlihat murung oleh setiap larangan dari kakaknya.
Maka dari itu, Ilen harus cepat-cepat agar mampu memastikan Zio akan baik-baik saja nantinya.
÷÷÷
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...