Sampai hari menjelang petang, tidak seperti yang dijanjikan, Zian tidak menghubungi Ilen satu kali pun. Ilen sudah menyerah untuk mendial cowok itu berkali-kali. Meskipun ia sendiri sama, tidak berniat mengirimkan pesan sebab yang ia inginkan adalah kehadiran Zian. Bukan kabar jika cowok itu belum bisa pulang atas janji dengan Seth.
Ilen sudah menghubungi Luna juga. Berusaha bertanya pada sahabatnya itu yang biasanya selalu cepat respon, tetapi kali ini sulit sekali dihubungi. Orang-orang sepertinya ingin Ilen merasa khawatir sendirian.
Hari Ilen berantakan. Ada yang menghilang, kemudian tumbuh bunga hitam yang perlahan mematikan bunga lain. Rania memberikannya bom waktu, ia tidak tahu bagaimana menghentikannya. Yang Ilen tahu hanya akhir, hidupnya perlahan akan mati juga.
Demi apa pun, sebelum apa yang Ilen punya sekarang menghilang, Ilen harus menyelamatkan apa saja yang masih tersisa. Ilen akan menceritakan semuanya pada Zian, bukan untuk meminta bantuan, tetapi agar Zian tahu jika ia takkan lagi menyimpan rahasia. Seberapa sakit kala mengingatnya, takkan mampu mengalahkan rasa percaya.
Ilen bilang ia percaya Zian, maka ia benar-benar harus mempercayainya.
Sekarang hampir pukul lima. Walaupun tidak ada yang ingin Ilen lakukan selain terdiam, gadis itu melangkah tergesa melewati beberapa lampu jalan. Tangannya bahkan sibuk menyeka air mata yang sesekali masih turun, atau menyisir rambutnya ke belakang dengan lekas. Ia tidak peduli dengan wajahnya yang sembab, mata memerah, serta bibir pucat. Tujuannya sekarang hanya sampai di bar dengan tepat.
Mungkin saja Zian berada di bar. Tempat yang paling sering ZiBos kunjungi hanya ada tiga; apartemen, basecamp, atau bar. Ilen seharusnya hapal dengan jam kerjanya juga, karena sekarang hari Sabtu malam. Jadwalnya bekerja.
"Arlo," panggilnya pelan.
Cowok itu sedang meletakkan banyak kaleng bir ke lemari pendingin. Hanya ada Arlo, David sepertinya sedang mengambil sesuatu di bawah.
Arlo mendongak, sedikit terkejut melihat gadis di depannya. "Apa?" tanyanya singkat, tidak menaruh peduli walau sempat penasaran. Ia mendengarkan sembari melanjutkan menyimpan bir ke lemari pendingin.
"Ada Zian, nggak?"
Arlo berdecak. "Lo lihat dia ada, nggak?" sarkasnya.
Ilen mengedarkan pandangan, hanya mendapati beberapa orang yang menikmati pesanan. Ia menghela napas rendah. "Maksudnya, mungkin lo tau dia ada dimana."
Ilen sudah mengenakan kemejanya, ia tidak membawa apa pun selain ponsel, sehingga tidak perlu ke belakang. Ia bisa langsung membantu Arlo dan David di bartender station.
Ilen merebut kaleng bir yang Arlo pegang, mengambil alih apa yang cowok itu lakukan. "Dia nggak ke sini?"
Arlo mundur, mengambil shaker kala lebih dari delapan orang datang menghampiri meja bar. "Zian belum ke sini dari lusa."
Cowok itu menjawab dengan datar, kemudian benar-benar meninggalkan Ilen untuk fokus mengerjakan mocktail.
Ilen bahkan ke basecamp setelah terlalu lama sendirian di bus yang membawanya pulang dari luar kota. Kepalanya terasa berat sekali tadi. Dengan lemas ia melangkah ke dalam, lalu mendapati tidak ada siapa-siapa.
Ilen harus ke apartemen, pilihan paling memungkinkan jika saja Zian sudah selesai dengan urusannya. Namun, cowok itu tidak ada, ia masuk setelah menekan password yang pernah Zian beritahukan.
Satu tetes air mata turun membasahi pipinya. Tidak terasa seperti apartemen, bahkan hanya dengan mengingatnya. Tidak ada Zian yang berdiri di sekitarnya, apartemen cowok itu terasa kosong, tidak terasa seperti Ilen pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...