"Orang-orang kayak lo emang harusnya dibilangin setiap hari. Biar tetep tau diri. Biar lo inget sama janji lo sendiri." Salsa menyamakan langkah Ilen, cewek itu bersidekap seperti biasa. "Kecuali kalo lo pengecut."
Salsa menghentikan langkah Ilen dengan berdiri di depan gadis itu. Salsa menyeringai, memainkan ujung rambut Ilen pelan-pelan. "Beberapa hari ini bakal gue biarin. Gue nggak bakal lakuin apa pun, termasuk Bondan, dia nggak akan deketin lo."
Ilen menatap Salsa datar. Di tangannya penuh dengan buku-buku perpus hasil ia meminjam dengan Saguna. Beruntung ia membawa lima buku ini, menahan tangannya yang bisa saja bergerak memukul Salsa. Ia harus ke kelas untuk mengambil beberapa alat tulis, sendirian, menolak saat Saguna menawarkan untuk menemani.
Ia tinggal menuruni tangga di depan, berjalan ke halte, lalu pulang. Ia tak peduli dengan apa pun yang akan Salsa katakan.
"Silakan sama Zian sepuas yang lo suka. Bikin dia sayang sama lo. Termasuk adiknya juga kalo perlu. Dan, kalo lo rasa waktunya udah tepat, sakitin mereka sedalam-dalamnya. Tinggalin mereka, tepatin janji lo sama Mama." Salsa mendecih, "Lakuin hal paling bego sebego-begonya lo. Nggak susah, 'kan? Nggak, dong. Lo 'kan udah bego dari dulu."
Salsa menunjuk Ilen, menyentuh bahu gadis itu dengan telunjuk. "Listen."
Senyum miring itu terlihat begitu puas.
"Gue nggak minta. Gue nggak akan mohon-mohon sama lo untuk tinggalin Zian," tekan Salsa. "Lo tau, 'kan? Karena lo yang akan mohon-mohon ke gue biar pertunangan ini bisa terjadi. Biar lo ketemu sama bokap lo yang nggak sayang sama lo itu."
Ilen menatap Salsa geram. "Gue nggak pernah bilang gue setuju."
Salsa mendengkus. "Lo akan setuju. Anak perempuan akan lebih dengerin bokapnya daripada cowok yang sampe sekarang belum jadi pacar. 'Kan?"
"Gue nggak peduli."
"Lo emang orang melarat yang munafik sama keinginan lo sendiri. Buat apa jual mahal kalo dari lahir aja lo udah murahan? Nggak usah pentingin harga diri. Tau diri, lebih baik." Salsa menyeringai. "Gue tau gimana lo akan bantu gue buat deketin Zian. Gue punya kartu lo juga, Bitch."
Ilen tak menyetujui kesepakatan itu. Ia bahkan meninggalkan mereka sebelum mereka selesai bicara. "Apa yang bisa lo kasih ke Zian?"
Salsa mengumpat, "What the fuck."
Ilen melangkah. "Kalo lo belum tau apa yang bisa lo kasih ke dia, just go."
"Gue bisa kasih apa pun yang dia mau, lebih dari lo."
Ilen berhenti sejenak. "Tapi lo yakin dia bakal bales?"
Tidak semua orang yang memberikan, akan menerima. Tidak semua hal mendapat timbal balik yang sama.
"You can't even kiss him."
"Damn you!"
Langkah Salsa terdengar cepat, cewek itu pasti sangat marah sekarang. Ilen tersenyum simpul. Semudah ini mengacaukan Salsa yang terlalu mudah disinggung. Membakar emosi Salsa ternyata menyenangkan.
Salsa menghentikan langkahnya lagi. Tamparan yang akan mengenai pipinya mudah sekali dihindari, sebab terbaca dengan jelas balasan semacam apa yang akan Salsa berikan.
Ilen menarik satu sudut bibirnya. "But you had been seen us. When he's kiss me. Didn't you?"
Salsa menggeram. "Let make some show in here."
Ilen mengernyit. Hanya ada mereka di sini.
Salsa tersenyum miring. "I'm out."
Setelah mengatakan itu, Salsa benar-benar pergi. Mungkin sedikit aneh, tetapi Ilen tak mau memikirkan. Ia melangkah kembali, menuruni tangga dengan hati-hati. Pandangannya sedikit terhalangi oleh buku-buku yang berada di dekapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Teen Fiction"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...