Rasanya menenangkan. Mereka hanya memastikan jika mereka selalu bersama semalaman. Tidak ada yang spesial, tetapi Ilen akan sangat senang jika Zian mau melakukannya seharian. Mereka sama-sama terluka, tetapi mereka juga berusaha agar seseorang yang disayang tak terlalu memikirkannya.
Zian menunggunya dengan sabar sampai ia menghabiskan sepotong kue lemon. Cowok itu mengusap punggung tangannya, menyita banyak perhatian hingga Ilen tak begitu memikirkan kue lemon yang tengah dilahap. Cowok itu tak berkata apa pun, hanya memperhatikannya, tetapi malah membuatnya nyaman.
Lalu Zian memintanya tidur setelah ia meminum air putih. Zian menunggu saat Ilen mencuci muka, kemudian memastikan gadis itu mendapat posisi ternyaman di atas tempat tidur.
Ilen sempat berusaha tertidur, tetapi belum sampai lima menit, ia mengerjap menyerah. Di saat yang sama Zian keluar dari kamar mandi, menemukan netranya hingga beberapa detik mereka saling memandang.
Zian menampilkan senyum tipis, Ilen ikut tersenyum juga. Entah mengapa senyum yang Zian tampilkan terlihat sangat tulus, jadi Ilen harap Zian mampu menemukan ketulusan pada senyumnya juga.
Zian melangkah, mematikan lampu kamar. Menyalakan lampu tidur di atas nakas dan meneguk air putih yang masih Ilen sisakan banyak. Cowok itu menatap Ilen sebentar, mendengkus, kemudian berbaring di samping gadis itu.
"Lakuin apa pun yang lo mau."
Ilen menahan napasnya, melihat Zian yang memberikan jarak di antara mereka lewat sudut mata. Kalimat itu seperti mantra, Ilen mendekat, begitu pula cowok itu. Begitu singkat Ilen mengalihkan kepalanya di lengan Zian, menghirup napas dalam-dalam, berusaha tenang. Zian mengusap sisi rambutnya dengan lembut, hingga perlahan, air mata Ilen mengalir lagi. Namun, kali ini, terasa sangat melegakan.
Sebab mereka sama-sama terluka, tetapi akan saling menjaga. Sepanjang malam yang tersisa mereka berada begitu dekat, menguarkan rasa sakitnya sebisa mereka, mengabaikan rahasia yang telah terungkap. Setidaknya agar mereka tahu tidak ada yang mengkhianati diri sendiri lagi. Tidak ada keinginan untuk mengambil obat sialan itu lagi.
Setidaknya untuk malam ini.
÷÷÷
Yang terakhir Ilen ingat hanya ketika ia mendekat dan memeluk Zian. Telapak tangannya mengenggam ujung t-shirt cowok itu. Tangisannya mereda, kantuk pun datang. Zian menarik selimut hingga menutupi lehernya, menenggelamkan mereka di baliknya. Cowok itu balas memeluk Ilen, di saat kesadaran gadis itu hampir hilang, Zian mengecup puncak kepalanya samar.
"Think you have a good dreams, Love."
Kamar menjadi lebih terang, cahaya matahari yang menyelusup masuk setelah tirai dibuka lebar mengganggu tidur Ilen. Ia belum sepenuhnya sadar, tetapi ia tahu itu bukan mimpi. Zian memeluknya sepanjang malam, baru kali ini waktu tidur yang singkat terasa lebih dari cukup.
Namun, Ilen benar-benar ingin melakukannya sepanjang hari.
"Let me sleep more," gumamnya.
"Lo udah tidur lama, Sayang. Sekarang bahkan udah jam sembilan."
Lalu tubuhnya digerak-gerakkan tak sabaran.
"Five minute, Zi. Please."
Seseorang yang berdiri di dekatnya mendecak. "Ternyata lo bisa jadi manja juga, ya."
Oke, baru Ilen sadar jika suara-suara itu terdengar seperti perempuan. Gadis itu memaksa agar terbangun, kantuknya seketika hilang mendapati Luna yang berada di depannya sekarang. "What the hell you doing here?!" pekiknya terkejut.
Luna mendelik tak terima. "Kalem, Len. Kalem. Lo kayak lihat siapa aja, sih," gerutunya, "oke, sori karna gue masuk tanpa izin. Eh, tapi tadi--"
Ilen mendengkus kesal. "Keluar."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZiBos : Sippin' [END]
Подростковая литература"Zi, kita mau ke mana?" tanya Ilen, "lo mau bawa gue ke mana lagi?" "Masuk." "Nggak." Zian sudah berada di sisi pintu kemudi, pergerakannya terhenti. "Masuk, Ilen." "Gue bisa lari dari sini." - Ilen hampir memberikan segalanya pada Zian. Ilen te...