☁️19☁️

822 57 0
                                    

Tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata
.
.
Tokoh, peristiwa, dan tempat dalam cerita ini
Bersifat fiktif
.
.
.
.

S

esuai kesepakatan, mereka akan memperketat penjagaan Alanka dengan menempatkan pengawal pribadi. Rayyan sempat protes walau akhirnya menyetujui juga dia sadar bahwa dia tak bisa sepanjang waktu menjaga si bungsu di sekolah karena kelas mereka yang berbeda. Dipilihlah Zero, keponakan Phillias yang akan menjadi bodyguard untuk Alanka, memastikannya aman selama berada disekolah.

" Jadi kamu sudah mengerti tugasmu kan Nak? " Tanya Wiradarma memastikan. Remaja berwajah datar itu hanya mengangguk sembari melepas kancing seragam SMA Wirya.

" Ukurannya udah pas 'kan atau mau dikecilin lagi?" Tanya Fajar dibalas gelengan singkat. Zero benar-benar pribadi yang irit bicara entah bagaimana jadinya nanti jika dia harus berhadapan dengan Alanka yang notabenenya berisik.

Zero tidak menyangka, tiba-tiba saja dijemput oleh Pamannya. Sejak perceraian orangtuanya, ia memutuskan tinggal bersama sang Kakek di Desa, tiga hari lalu Kakek yang sudah merawatnya menghembuskan nafas terakhir sehingga Zero tidak punya alasan untuk menolak kembali.

" Jadi kapan saya bisa melakukan tugas saya? " Tanya Zero.

" Setelah Alan pulih, jangan kaku Zero. Biasakan dirimu " jawab Wiradarma diakhiri dengan senyuman

Zero meringis kecil, ya habis bagaimana dirinya memang terlahir dengan wajah seperti ini sampai-sampai temannya dulu pernah bertanya apakah dia tidak pernah tersenyum?

Entahlah, Zero tidak yakin kapan dirinya terakhir kali tersenyum.

----------------

Sejak bangun tidur pagi tadi hingga mendekati jam makan siang, Alanka mogok bicara. Mengabaikan siapapun yang mengajaknya berbicara masalahnya sepele, dia minta dipulangkan karena sudah merasa sehat tapi pawang-pawangnya nan protektif tingkat akut itu malah melarang. Kenapa sih mereka selalu berlebihan, Alanka tidak mau dianggap lemah meski tak dipungkiri bahwa dirinyalah yang paling sering menginap di tempat penuh bau obat-obatan ini.

" Makan dulu abis itu baru jalan-jalan keluar, ya? " Bujuk Theo, hanya dia yang tersisa karena hari ini Ival ada kelas dan sudah pergi empat puluh menit lalu.

" Alan itu maunya pulang! Gak pulang Gak makan! "

Theo menghela nafas lelah, menghadapi Alanka dalam mode ngambek lebih sulit daripada mode cengengnya.

" Tangannya masih sakit? "

Alanka menggeleng sambil mengayunkan tangannya yang tempo hari dipelintir menandakan sudah baik-baik saja. Jadi apa lagi alasannya ditahan disini?

" Abang chat Papa, kalau infusnya habis boleh pulang " Theo meraih ponselnya, mengetik pesan untuk dikirim kepada Wiradarma.

" Bener ya? Okay "

" Tapi kalau Papa belum ijinin jangan nangis loh ya "

" Hum? Kalau gitu Alan marah sama Papa "

Pemuda Tan terkekeh kecil sambil menggeleng pelan. Kasihan juga, kalau dirinya jadi Alanka pasti sangat bosan sekali bahkan sejak hari pertama.

" Pokoknya harus pulang hari ini, Alan dah janji sama Bang Ray buat main piano di graduation "

Theo mengangguk, toh kalau Alanka tidak bisa. Rayyan pasti mengerti dan bisa cari pengganti lagi.

" Kata Bang Bara, janji itu harus ditepati "

" Iya jadi selama nunggu Infusnya habis, Adek makan dulu ini " sebelah tangan terangkat mengusak rambut Alanka. Tawanya mengudara menunjukkan gusi merah muda yang menggemaskan.

ALANKA|2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang