(9)HAFIZ DAN RASA SESAKNYA

154 9 0
                                    

"Di dalam gelap itu, aku terkurung seperti burung yang tak bisa terbang tinggi. Sekedar menghirup udara pun rasanya terlalu sulit."
—Hafiz Azzam Ardiansyah—

***

Hafiz menggigit bibir bawah nya sedikit kencang. Meski begitu, ia tetap berusaha menenangkan diri dengan melafalkan bacaan-bacaan dzikir. Dingin. Sesak. Hanya dua hal itu yang mampu ia rasakan sekarang. Dalam rasa dingin dan sesak ini, ia harus tetap bertahan dan memakai topeng agar wanita di sebelahnya tak semakin panik dan ketakutan.

Riana pun tak diam. Ia terus berdoa dalam hati agar Allah segera mengirim pertolongannya untuk mereka berdua. Ia takut, Hafiz kenapa-kenapa. Riana tau, Hafiz juga merasakan sesak dan dingin yang ia rasakan. Bahkan, mungkin lebih parah!

Riana perlahan melepas mask oksigen nya. "Dok, sekarang giliran Dokter yang pakai ini!"

Hafiz menoleh dengan nafas sedikit terengah-engah. Ia menggeleng. Dalam kegelapan, ia menggigit bibir bawah nya semakin kencang. Menjawab pertanyaan Riana saja terasa sulit untuk nya. "Mbak, lebih butuh." Ia menolak.

Riana menghela nafas. "Saya tau, tapi bukan berarti saya egois! Dokter juga harus pakai ini!" Riana bersikukuh dengan keinginannya.

Nihil. Hafiz tak mendengar bagaimana Riana begitu kuat dengan pendiriannya. Yang ia bayang kan justru peristiwa 10 tahun lalu. Dimana yang ia rasakan dulu, juga terasa sama di dalam lift ini.

"Dok? Dok, saya lagi ngomong sama Dokter, lho?!" Riana mencoba mendengar desahan nafas Hafiz. Masih ada, namun terasa panas. "Oke, kalau Dokter nggak mau pake." Ia lantas memasangkan kembali mask oksigen tersebut di wajahnya.

Air mata Hafiz menetes perlahan. Jiwa Dokternya seolah hilang secara tiba-tiba. Ia menangis. Hafiz diingatkan dengan berbagai kenyataan pahit yang menimpa nya dulu.

Flashback on

Seorang remaja berusia 15 tahun berlari di bawah guyuran hujan. Ia tak peduli dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Rasa sakit dan dingin harus terpaksa ia abaikan. Pukulan akan semakin kencang jika rasa sakit ini ia peduli kan.

"Gimana rasanya? Dingin? Lapar? Sesak?" tanya seorang wanita dengan wajah yang sinis dan terlihat kasar. Wanita itu mencengkram dagu Hafiz yang masih remaja.

Gigi Hafiz bergelatuk menahan dingin. Wajahnya pucat pasi. Matanya sayu, dan bibirnya mulai membiru. "Di-ngin," Suara rintihan nya terdengar di telinga sang wanita. Namun, percuma! Ia tetap tak akan diperlakukan seperti manusia oleh wanita di hadapan nya ini.

"Bu Ina, to-lo-ng! Ha--hafiz ng--gak k--u--at." Hafiz menyebut nama perempuan itu. Ina Setiana. Seorang wanita yang pemilik panti asuhan Kasih Bunda. Tetapi, nama dari panti asuhan tersebut berbanding terbalik dengan apa yang mereka dapatkan.

"Hm, boleh kalau kamu mau istirahat. Tapi, besok kamu harus dapat kan uang 10 juta buat saya! Seperti yang

Hafiz tetap diam. Sekedar menjawab pertanyaan dari Bu Ina pun ia tak sanggup. Bibirnya semakin kelu dan membiru. Lelah? Tentu saja! Ia hanya remaja biasa yang harus berdamai dengan keadaan yang ia hadapi. Hidup di Panti Asuhan sejak kecil, lalu ketika beranjak dewasa ia seolah harus membayar semuanya dengan uang.

Bu Ina melepaskan cengkraman tangan nya. "Karena kamu nggak jawab, saya terpaksa harus tetap mengunci kamu di luar." Hafiz menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa bicara apapun sekarang. Bu Ina hanya tersenyum sinis, lalu meninggal kan Hafiz yang terus menggigil kedinginan.

Hafiz memeluk lututnya. Dimasa remajanya, Hafiz tak mendapatkan hak seperti remaja pada umumnya. Begitupun, teman-temannya yang tinggal di panti asuhan ini. Naasnya lagi, Hafiz terlalu sering melawan sampai ia lupa bahwa ia tidak akan berdaya melawan ibu panti yang kejam itu.

Flashback Off

Hafiz terpejam. Air matanya meluncur bebas. Kenangan suram itu kembali berputar dalam pikirannya. Kenangan dimana ia harus merasakan pukulan, hingga cambukan yang begitu menyiksa.

Hafiz kalah. Ia menangis kali ini. Air mata itu kini meluncur deras. Isakannya sampai terdengar oleh Riana. Ia sudah tidak peduli. Mau dunia ini mengejeknya, ia sudah tidak peduli.

Damn...

Lampu lift kembali menyala. Riana langsung melepas mask oksigen nya. "Alhamdulillah, lampunya nyala, Dok!" Riana bersorak gembira. Akhirnya, sebentar lagi ia akan keluar dari ruangan pengap ini.

Namun, aneh. Hafiz tak menyahut apa-apa. Riana menoleh ke arah Hafiz. Ia mendapati Hafiz yang bersandar ke dinding lift. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar membiru. Belum lagi, air matanya mengalir amat deras. "Dok, Dokter Hafiz kenapa?" tanya Riana sembari mencengkram kemeja Hafiz.

Hafiz tetap diam. Ia masih melihat Hafiz seolah menangis. Riana mengguncangkan tubuh Hafiz terus menerus. "Dok, Dokter kenapa?" Riana panik. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. "Mana gue nggak tau lagi cara gunain alat ini,"gumam nya. Ia bergumam sembari memegangi mask oksigen itu.

"Gimana ini?" gumam Riana cemas.

"Sakit, Ya Allah." batin Hafiz meringis.

***

"Pak, bisa agak cepet? Kasian itu temen-temen saya ada di dalam!" ujar Tari sedikit menggerutu.

"Sebentar, Mbak." kata petugas Teknisi sembari tetap mengotak-atik alat di tombol lift.

Sampai, salah seorang dari petugas teknisi mulai menekan tombol untuk membuka life.

Trittt....

Pintu lift terbuka, menampilkan Riana yang tengah menekan dada Hafiz. Tari dan Ilham yang melihat hal tersebut langsung masuk ke dalam lift.

"Ri, lo nggak papa?" tanya Tari dengan penuh khawatir. Ia langsung memeluk Riana. "Gue nggak papa, tapi Dokter Hafiz," Riana melihat ke arah Hafiz.

"Mbak, nggak usah khawatir. Hafiz biar saya yang urus," Ilham melihat jejak air mata di wajah Hafiz. "Apa trauma lo kambuh?" gumam Ilham. Tanpa berkata-kata lagi, Ilham langsung membopong tubuh Hafiz ke ruang IGD.

"Ri, lo udah kuat jalan?" tanya Tari.

"Udah, Tar. Gue penasaran sama keadaan Dokter Hafiz, gue takut dia kenapa-napa." ucap Riana dengan nada cemas.

Tari mengusap pundak Riana. "Oke, kita ke IGD sekarang. Tapi, lo nggak boleh panik!" Riana mengangguk. Meskipun hati kecil nya masih tetap merasa bahwa ia cemas pada keadaan Hafiz.

Sedangkan di IGD, Ilham berusaha keras menolong nyawa sahabatnya. Ia langsung memasang kembali mask oksigen yang baru. Lantas ia memasukkan jarum infus ke punggung tangan Hafiz. "Fiz, jangan kalah sama trauma lo!" Setelah mendengar denyut jantung Hafiz stabil, Ilham merasa lega. Ia lantas meninggalkan Hafiz keluar ruangan.


___To Be Continue___

Jangan lupa vote dan koment nya guys:)

Lawful LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang