(23) MAAF, FA

95 6 0
                                    

"Karena pada akhirnya, tidak ada wanita yang benar-benar rela diduakan."
—Hafiz Azzam Ardiansyah—

***

Riana kini tengah berada di ruangan Aifa. Aifa diharuskan opname selama beberapa hari, dikarenakan Dokter harus lebih sering mengontrol kadar darah Aifa. Jujur, Riana sedikit canggung. Ia benar-benar merasa menjadi orang ketiga diantara Naufal dan Aifa.

"Fa, aku—"

"Mau minta maaf, kan?" lirih Aifa memotong ucapan Riana.

"Fa, aku benar-benar udah nggak ada perasaan apapun ke Naufal. Saat itu, aku temuin Naufal cuma karena ada urusan penting—dan itu nggak lebih." jelas Riana.

Aifa tersenyum kecut. "Sekarang aku tanya sama kamu. Kalau seandainya suami kamu adalah mantan aku, dan aku pura-pura nggak tau kalau suami kamu masih mikirin aku. Gimana perasaan kamu?" jeda. "Gimana perasaan kamu saat tau semuanya? Saat kamu tau, kalau ternyata sahabat kamu adalah duri dalam rumah tangga kamu?!" ujar Aifa dengan nada sedikit tinggi.

Riana sudah tidak bisa menahan air mata nya yang memaksa untuk lolos. "Aku emang salah, udah bohongin kamu. Tapi aku nggak pernah sekalipun berpikir untuk khianatin kamu!"

Aifa meremas selimut yang menutupi sebagian tubuh nya. "Aku dulu memang mencintai Naufal, tapi nggak dengan sekarang. Aku cukup tau diri, kalau aku bukan perempuan yang bisa bersama Naufal."

Aifa menggelengkan kepalanya. "Tapi sekedar kamu deket sama Mas Naufal pun aku cemburu, Ri! Aku bukan perempuan semulia istri nabi. Aku cuma perempuan akhir zaman yang nggak sanggup untuk membagi cinta dengan perempuan lain." teriak Aifa dengan isakan pilu di akhirnya.

"Terus kamu pikir aku, mau? Aku mau berbagi cinta sama suami dari sahabat aku sendiri? Nggak, Fa!" sentak Riana. Tangisnya pecah perlahan. "Aku juga hancur, Fa! Aku hancur saat dapet undangan pernikahan Naufal sama perempuan yang sekarang jadi sahabat aku sendiri!" jeda. Riana tersenyum getir. "Aku berusaha untuk terus lupain Naufal, itu demi siapa? Demi kamu, Aifa! Karena aku nggak mau nyakitin hati sahabat aku sendiri! Karena aku nggak mau jadi orang ketiga dalam rumah tangga kalian!"

"Nggak, Fa. Aku nggak mau," lirih Riana sembari terisak. "Maaf, kalau seandainya kamu terganggu dengan aku." Riana menghapus air mata nya kasar. "Assalamualaikum,"

Riana berjalan keluar dari ruangan Aifa. Meninggalkan Aifa yang kini juga merasa bersalah. Pikiran Aifa benar-benar kalut. "Kenapa harus kamu, Ri?"

"KENAPA HARUS KAMUU?!" teriak Aifa yang diiringi dengan isak tangis yang memilukan hati.

Riana keluar dari kamar Aifa sembari menitikkan air mata. Bertengkar dengan sahabat apalagi sahabat sebaik Aifa itu bukan hal yang mudah. Ditambah lagi, ia juga benar-benar tidak berniat menghancurkan rumah tangga Aifa.

"Ri, kamu kenapa?" tanya Naufal sembari menghampiri Riana yang tengah menangis.

"Nggak pa-pa," sahut Riana.

"Aifa—gimana?"

"Dia masih kira kalau aku udah nyoba buat khianatin dia. Padahal nggak sama sekali, Fal!" ucap Riana sembari terisak. "Kalau aku bisa puter waktu lagi, aku nggak bakal mau ketemu Aifa di cafe nya waktu itu. Karena setelah pertemuan pertama itu, kita justru makin sering ketemu atas ketidaksengajaan!" Riana kembali menangis sesenggukan. "Bahkan perasaan aku ke kamu udah mati setelah undangan pernikahan kalian tersebar, Fal! Aku nggak pernah mau hancurin rumah tangga kalian," lirih Riana.

Tangan Naufal terangkat. Kalau beberapa tahun lalu ia mengucapkan janji suci itu bersama Riana. Mungkin, syari'at pun menghalalkan nya menghapus air mata Riana saat ini. Nyatanya, ia justru malah menjadi pengecut yang menyakiti dua hati wanita sekaligus. Naufal urung menghapus air mata Riana.

"Jangan nangis, Ri. Aku akan perbaiki semua nya sama Aifa, karena aku yang selalu kejar kamu. Bukan sebaliknya,"

"Iya. Kamu harus jelasin semuanya!" tegas Riana. "Aku capek dengan semua prasangka Aifa."

Riana menghapus air mata nya kasar. Bersamaan dengan itu, ia permisi pamit dari hadapan Naufal untuk kembali ke ruangan Tari. Berdiri di hadapan Naufal hanya akan mengembalikan kembali luka lamanya.

Luka lamanya yang ia paksakan mengering dengan seiiring berjalan nya waktu. Luka dimana saat ia berharap besar akan keseriusan Naufal, dan justru dipatahkan dengan undangan pernikahan Naufal. Ya, siapa yang tidak sakit hati? Disaat kita amat sangat mencintai seseorang, dan seseorang itu meninggalkan kita tanpa alasan apapun. Bagi Riana, ia tidak akan lagi menaruh harapan pada sesuatu secara berlebihan.

****

Ilham meletakkan handuk kecil di dahi Hafiz. Hafiz masih saja demam tinggi sejak semalam. Ia menelpon Ilham pun karena memang sudah merasa lemas dan haus. Sedangkan, di dalam rumah ia hanya sendiri. Mana mungkin ia harus memanggil Pak Maman—satpam komplek?

"Lagian lo makan apaan sih sampe asam lambung lo kambuh parah gini?!" tanya Ilham heran. Masalahnya, kemarin yang ia lihat Hafiz tidak mengkonsumsi sesuatu yang aneh-aneh.

Hafiz melirik Ilham lemas. "Emang lagi dikasih sakit aja sama Allah," sahut nya dengan nada lemah.

"Iya gue tau! Tapi, ada sebab nya." Ilham malah kesal sendiri dengan Hafiz. Dia itu kan Dokter. Kenapa sampai lalai dengan kesehatan nya sendiri? Ilham nampak berpikir. Sampai akhirnya, pikiran nya tertuju pada seseorang. "Atau Roni yang bikin lo kayak gini?"

Hafiz tersentak. Memang benar, apa yang Ilham katakan. Roni yang membuat nya sampai lemah seperti ini. "Lo—"

"Dia ngapain?" tanya Ilham dengan nada datar. Tatapan Ilham juga jadi lebih tajam. Kalau sudah seperti ini, Hafiz juga tidak mungkin lagi berbohong.

Hafiz mencoba untuk berada di posisi duduk. Ia sempat meringis kala perutnya terasa sakit. Namun, pada akhirnya ia berhasil bangkit dari posisi tidurnya. Hafiz meneguk saliva nya. "Ada sesuatu yang gue rahasia-in dari lo, Ham."

"Apa?" tanya Ilham menantang.

Hafiz menunduk. Sungguh, ia malu menceritakan semuanya. Tapi, kalau ia menyimpan semuanya sendirian itu akan lebih menyakiti dirinya sendiri. "Gue takut, Ham."

"Apa yang perlu lo takutin? Lo cukup cerita sama gue! Udah, masalah selesai! Gue paling nggak suka sama sikap lo yang nyimpen masalah sendirian! Dan lo tau siapa gue, kan? Gue bisa aja kalap dan langsung cari tau, siapa yang bikin sepupu gue kayak gini." Hafiz menatap lurus dengan kosong. "Dan gue suruh orang bayaran buat habisin orang itu segera."

"Dan sebelum lo muncul dengan sikap psikopat lo, gue bakal cerita semuanya sama, lo." Hafiz memotong ucapan Ilham. Ilham menoleh ke arah Hafiz. Ia mengedipkan matanya sekali. Dan, Hafiz mulai menceritakan masa lalu nya, yang Ilham tidak ketahui.

___To Be Continue___

Alhamdulillah, bisa update lagi.
Rencana update Ahad, cuman ternyata ada sedikit insiden😬

Jangan lupa vote dan komen yaa!!!

And, stay safe and stay healthy guys 👋

💛❤️💜🤍

Lawful LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang