(16) POLEMIK PENGKHIANATAN

109 8 1
                                    

"Pada dasarnya, cuma Allah yang berhak menghukum kesalahan manusia."
Hafiz Azzam Ardiansyah—

***

"Fa, dengerin aku dulu!" Riana mencekal tangan Aifa. Ia membalikkan tubuh Aifa dan melihat sahabatnya ini dalam keadaan hancur. Air mata Aifa masih terlihat jelas mengalir deras.

"Apa? Apa yang mau kamu jelasin ke aku?" tanya Aifa ketus. Ia tersenyum miris. "Hebat kamu, Ri! Kamu hebat! Kamu adalah pencuri terhebat yang aku kenal!"

Riana menggeleng pelan. Ia tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Aifa. "Nggak, Fa! Aku bukan perempuan seperti apa yang ada di pikiran kamu sekarang!" tegas Riana.

"Terus apa yang aku denger barusan?" tanya Aifa sembari terisak.

"Kamu salah paham!"

"YANG DISEBUT SALAH PAHAM ADALAH KALAU AKU NGGAK DENGER DENGAN TELINGA AKU SENDIRI!" bentak Aifa. "Sedangkan ini? Ini aku lihat dan aku dengar sendiri, Ri. Aku nggak tau harus percaya sama kamu dan Mas Naufal, atau sama apa yang aku saksikan di depan mata aku sendiri!" lirih Aifa.

Riana diam. Ia bingung harus bagaimana lagi menjelaskan semuanya pada Aifa. "Kamu tau apa yang paling mahal dalam sebuah persahabatan?" jeda. "Kepercayaan yang dihancurkan."

Riana bungkam. Apa ia secara tidak sengaja merusak kepercayaan Aifa? "Tapi, niat aku nggak gitu, Fa!"

"Cukup, Ri! Semakin kamu jelasin aku semakin sakit!" ucap Aifa pelan. Air mata nya sudah mengering. Ia sudah cukup muak dengan kebohongan Riana.

"Fa,"

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam,"

Mata Riana menatap nanar mengikuti punggung Aifa yang semakin tak terlihat. ia ikut hancur. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan nya. Ia akan menjelaskan semuanya pada Aifa tapi bukan sekarang. Tapi, apa ini? Kenapa seolah-olah ia jadi penghianat?

Tanpa sadar. Sedari tadi ada seseorang yang tengah memerhatikan pembicaraan Aifa dan Riana. Naufal terpaku di tempat. Apa kata hati nya salah?

"Maaf, Fa. Aku terlalu pengecut untuk bilang kalau Riana masih bertahta di hati aku,"

Riana terduduk lemas. "Aku benar-benar nggak pernah niat sedikit pun buat khianatin kamu, Fa. Karena bukan Naufal yang mengisi hati aku sekarang." lirih Riana.

***

Riana berjalan gontai menuju ruang tamu. Ia masih sangat terpukul dengan peristiwa barusan. Hatinya kacau. Ia merasa menjadi orang paling jahat, meskipun tidak pernah sedikitpun terpikir untuk Riana kembali pada Naufal.

"Nak, sini!" Rey yang tengah duduk sendirian mengajak putrinya untuk ikut duduk. "Ada yang mau Papa omongin ke kamu,"

"Soal apa, Pa?" tanya Riana sembari duduk. Tak lupa, ia juga menyalami tangan Rey terlebih dahulu.

"Kamu udah yakin sama Hafiz?" tanya Rey dengan nada serius. Namun, ia tidak terkesan mengintrogasi Riana.

Riana tersenyum simpul. "Sebenarnya, semenjak sebuah peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu. Aku mulai kagum dan keyakinan aku juga bertambah buat dia, Pa."

Lawful LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang