Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Seorang wanita dengan baju scrub berwarna biru kehijauan khas seorang dokter, duduk dan berbincang ramah dengan beberapa rekan sejawatnya. dr Maura Kusumawati, Sp.FM, tertera di baju scrub itu. Dokter Maura, demikian dia biasa dipanggil di rumah sakit ini. Seorang dokter yang cantik, ramah dan menyenangkan bagi yang mengenalnya. Tapi menjadi pribadi yang dingin dan cenderung kurang ramah jika memang belum saling mengenal.
"Udah ah, aku balik dulu. Dokter Prima katanya udah di depan, udah nyampe IGD katanya" Setelah memastikan jam sudah menunjukkan lebih dari jam sembilan malam, Maura berencana untuk pulang. Memang sudah waktunya untuk pulang. Dia sudah menyelesaikan shift siang-nya hari ini.
"Oke dok... hati-hati di jalan ya..." Ucap seorang perawat yang tadi mengobrol bersamanya. Maura menanggapinya dengan mengacungkan jempolnya. Sambil tersenyum, dia lalu menanggapi ucapan perawat tadi
"Iya... Kalian juga hati-hati jaganya. Jangan ribut, ntar pasien kalian bangun semua lho.."
"Hahaha.. Ya kalau mereka bangun, ntar malah bisa jadi temen ngobrol, dok" Lagi, Maura hanya tersenyum mendengar gurauan rekan kerjanya itu.
Setelah mengenakan jaket rajutan yang tidak dikancing bagian depannya, dia kembali ke maja jaga, tempat dimana dia tadi bercanda bersama dengan rekan kerjanya.
"Eh, hampir kelupaan, tadi aku udah tanda tangan belum ya laporan autopsi tadi? Kayaknya sih udah ya?" Mendengar itu, perawat yang ada di depan Maura langsung membuka kembali dokumen dan berkas laporan autopsi jenazah dan memastikan kembali jika sudah ada tanda tangan Maura di berkas itu.
"Oh.. Sudah kok dok. Ini, dokter Maura udah tanda tangan kok"
"Oh, ya udah kalau gitu. Ntar kalau pihak keluarga atau kepolisian mau ambil, jangan lupa tanda terima dokumen ya" Perawat jaga yang sedari tadi sudah menemani Maura berdinas langsung mengangguk saat menerima instruksi dari Maura. Tepat saat mengatakan itu, Maura merasakan seseorang menepuk pundaknya. Spontan, dia lalu menolehkan kepalanya.
"Mau pulang, dok? Gak mau gitu nemenin jaga di sini? Daripada balik ke apartemen mau ngapain juga kan? Mendingan di sini ajalah nemenin jaga. Jaga rame-rame kayaknya seru ya..." dr. Prima Sandi, Sp.FM. Rekan kerja sesama dokter spesialis forensik di rumah sakit tempatnya bertugas. Masih seusia dengannya dan mempunyai kepribadian ceria dan menyenangkan.
"Iyalah.. Udah jam segini juga. Ogah.. Mendingan balik ke apartemen lagian aku juga laper, belum makan malam"
"Eh, dok, tadi dicariin lho sama dokter Bimo..." Ucapan dari dokter Prima itu menahan sebentar langkah kaki Maura. Dia lantas melirik tajam ke arah Prima sambil berkata
"Gak usah bikin gosip, nyoo.. Udah tahu pawangnya dokter Bimo kayak gimana? Masih aja bikin gosip kayak gitu. Senengnya kok ya bikin gaduh, nyo" Maura memang memanggil Prima dengan panggilan "sinyo". Itu karena perawakan Prima yang memiliki kulit terang dan rambut hitam lurus khas etnis oriental tapi dengan mata yang tidak sipit.
Maura meninggalkan ruang intalasi kedokteran forensik, tempatnya selama ini bertugas. Mungkin, bagi sebagian orang akan menolak jika ditempatkan di ruang yang konon penuh cerita-cerita horor dan menakutkan itu, tapi tidak bagi Maura yang lebih cenderung menyukai kesunyian. Dia sama sekali tidak memperdulikan semua cerita-cerita yang menurut orang menyeramkan itu. Maka, saat rumah sakit memberikannya bea siswa untuk melanjutkan spesialis forensik, Maura langsung saja menerimanya.
Tidak mau memutar, Maura lebih memilih untuk melewati ruang IGD saja. Dia memang ingin segera pulang karena kondisinya yang sudah capek. Melewati ruang IGD berarti melewati ruang yang mungkin paling dia hindari jika berada di rumah sakit. Suasananya cenderung lebih rame bahkan terkadang gaduh jika memang terjadi kejadian luar biasa. Maura sungguh merasa tidak nyaman dengan itu semuanya.
Meskipun sudah mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya, tapi jaket yang tidak di kancingkan, hingga baju scrub yang dia kenakan masih jelas terlihat, membuat orang dengan mudah melihatnya sebagai seorang dokter.
"DOKTER... Tolongin teman saya dok.." Ujar seseorang sambil menarik paksa tangannya. Maura tentu saja bingung. Menangani kegawatan medis di IGD bukanlah keahliannya. Dia tidak lebih dari seorang dokter umum jika berada di IGD.
"Maaf pak, tapi saya bukan dokter jaga IGD"
"Tolong dok.. Temen saya tadi kecelakaan.. Tolongin dia dok.." Merasa tidak tega dan lagi kondisi IGD memang sedang ramai dengan pasien, akhirnya Maura menjawab lelaki itu
"Ok, sekarang dimana teman bapak?" Dalam pemikiran Maura, mungkin dia masih bisa memberikan pertolongan dasar sebelum nanti akan ditangani oleh dokter lainnya.
"ASTAGA! Masih saya tinggal di mobil, dok! Bentar dok, saya ambilnya temen saya! Dokter tunggu dulu di sini ya.. jangan pergi-pergi lagi" Lelaki tadi langsung menepuk jidatnya sendiri. Dia seperti tersadar jika masih meninggalkan temannya yang justru memerlukan bantuan secepatnya
Alis Maura langsung bertaut menandakan dia sedang kebingungan. Kepanikan memang terkadang membuat seseorang bertindak di luar logika.
Lelaki itu lantas berlari menuju ke tempat parkir mobil dan langsung melajukan mobilnya ke arah drop off pasien, tempat dimana sekarang Maura berdiri. Melihat itu, dia lantas memberi kode pada perawat yang sedang berjaga untuk membawa brankar. Dengan sedikit tergopoh, lelaki tadi lantas mengeluarkan temannya yang memang sudah tampak berdarah di beberapa bagian tubuhnya dan langsung meletakkannya di brankar yang sudah dibawa oleh perawat tadi.
Maura langsung mematung saat melihat siapa yang sekarang ada di brankar. Langkah kakinya yang tadi terasa ringan tiba-tiba saja menjadi berat. Lelaki itu, lelaki yang sudah membuatnya harus merangkak dari titik terbawahnya. Lelaki yang sudah membuatnya menyerah dan tidak lagi percaya dengan cinta di dunia ini.
"Dokter Maura... Mungkin saya take over aja dok. Thank you udah dibantu ya dok.." Sedikit tersentak saat di samping Maura sekarang ada rekan sejawatnya sekaligus pemegang saham rumah sakit tempatnya bekerja, yang memang sedang bertugas di IGD.
"Nanti selebihnya dibantu dengan dokter Feinya ya pak. Beliau dokter emergency medic, jadi pasti lebih berkompeten daripada saya"
Selesai mengatakan itu, Maura lantas berpamitan dengan dr Feinya, lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit. Dengan segera dia menghentikan taksi yang melintas di depannya. Keinginannya saat ini hanya satu, ingin segera kembali ke apartemen dan segera mengistirahatkan badan dan terlebih pikirannya yang tiba-tiba menjadi penat.
Dalam hatinya, Maura merutuki keputusannya tadi yang memilih melewati IGD. Jika tahu akan seperti ini, mungkin memutar melewati lobby utama dan instalasi rawat jalan akan lebih baik. Bertemu kembali dengan lelaki itu, membuatnya kembali harus mengingat kejadian buruk yang menimpanya beberapa tahun lalu. Sekarang, dia berharap jika pertemuan tidak sengaja ini tidak akan terjadi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomanceMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...