Part 4

1.8K 107 0
                                    

Hari sabtu. Hari yang harusnya menyenangkan bagi semua orang. Akhir pekan yang biasanya dihabiskan Farel untuk berolahraga di gym dan setelahnya biasanya dia akan merilekskan dirinya dengan menikmati akhir pekan. Posisinya sebagai seorang managing director membuatnya nyaris tidak ada waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan, beberapa kali dia juga harus merelakan waktu akhir pekannya untuk negosiasi bisnis atau harus melakukan beberapa pekerjaan lain di kantor cabang luar kota.

Namun berbeda kali ini. Farel masih harus menjalani beberapa terapi terutama untuk menormakan gerak kakinya. Suntuk dan bosan, tapi tidak ada yang bisa Farel lakukan. Dia hanya bisa menuruti semua program yang sudah dijadwalkan untuk dia lakukan.

Satu hal yang cukup disyukuri Farel untuk hari ini adalah semua keluarganya ada di ruang rawat inapnya. Mulai dari ayah, ibu hingga kedua kakaknya dan kedua kakak iparnya juga ada. Hanya ponakan-ponakan kecilnya yang tidak ada. Rahmat dan Vera, kedua orang tuanya melarang cucu mereka datang ke rumah sakit. Bagaimanapun, rumah sakit bukan tempat yang tepat untuk anak-anak.

"Mangkanya kamu Rel, kamu itu cepetan nikah gitu. Biar kalau kejadian gini, kamu gak sendiri. Ada istri kamu yang nemenin"

"Nah, ya itu, abang setuju banget sama mama. Kamu itu nungguin apa lagi sih Rel? Kerjaan kamu udah mapan, rumah udah ada juga. Berhenti main-main Rel. Udah bukan waktunya lagi"

"Rel, inget ya, mama sama papa ini makin lama bukannya makin kuat, atau makin sehat, enggak. Mama sama papa-mu ini makin lama makin tua. Pengennya mama itu, sebelum mama sama papa kamu ini pergi, kamu itu udah ada yang dampingin. Udah ada yang nemenin kamu"

Sebenarnya bukan kali ini saja desakan dari keluarga Farel untuknya segera menikah, tapi untuk sekarang, apa mereka semua tidak melihat bagaimana kondisinya? Jarum infus masih menancap di punggung tangannya dan gips masih membebat kakinya tidak membuat keluarganya menghentikan permintaan-permintaan yang kadang terdengar berlebihan dan konyol di telinga Farel.

Farel mendengus kesal, mendegar itu semuanya. Dia memilih menarik selimutnya dan kemudian memejamkan matanya. Kakinya masih terasa nyeri dan kepalanya mendadak terasa pening. Entah karena kondisi tubuhnya atau memang karena mendengar ocehan keluarganya yang tidak akan jauh-jauh dari menyuruhnya untuk segera menikah.

Soal mencari pendamping hidup, Farel sudah berusaha. Jauh di hati kecilnya, tentu saja dia iri dengan teman-teman sebayanya yang sudah menikah dan bahkan sudah memiliki anak. Terkadang, saat mereka berkumpul, dia merasa seperti asing, saat teman-temannya membahas soal anak-anak mereka. Tentang pencapaian anak-anak mereka, tentang sekolah mana bagus atau mungkin tentang hal-hal kecil yang mereka lakukan bersama dengan anak-anak mereka. Tapi, saat mencoba menjalin hubungan dengan wanita yang menjadi pilihannya, pasti ada saja yang membuat hubungan mereka akhirnya gagal. Seolah-olah, Tuhan memang belum mempertemukannya dengan orang yang tepat untuknya.

Sore hari, sesudah Farel menyelesaikan fisioterapi medik dan dia harus kembali ke ruang rawat inapnya, dia harus melewati kafetaria rumah sakit. Saat melewati kafetaria, pandangannya langsung terkunci pada satu sosok yang sedang tertawa lepas bersama dengan teman-teman yang ada di sekitarnya. Senyum dan tawa yang dulu dia jumpai dari seorang gadis lugu dan bodohnya, dia sendiri yang merusak senyum dan tawa itu.

"Mbak, itu yang lagi ketawa sambil bawa gelas kopi, itu dokter Maura ya?" Perawat yang mendorong kursi roda Farel lantas berhenti sejenak. Kepalanya menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Farel.

"Betul, itu dokter Maura. Bapak mengenal dokter Maura?" Farel hanya menganggukkan kepalanya pelan untuk menjawab pertanyaan dari perawat itu.

***

Farel duduk dengan tidak tenang. Di depannya juga duduk Arif dan juga Dian. Malam ini adalah kali pertama buatnya datang ke rumah Maura.

"Kamu ke sini mau ketemu Maura, mau ngapain?" Pertanyaan dari Arif sebenarnya cukup normal ditanyakan seorang ayah, tapi bagi Farel, pertanyaan itu seperti pertanyaan yang menginterogasi dirinya. Ternyata hanya untuk mengajak keluar Maura, dirinya harus berhadapan dulu dengan kedua orang tuanya.

"Hm.. Saya pengen diajarin matematika om, sama Maura..." Jawaban Farel itu membuat Arif dan Dian saling berpandangan sejenak.

"Kamu pengen diajarin matematika sama anak saya?" Arif sekali lagi menegaskan jawaban Farel dan Farel menjawabnya dengan anggukan yang mantap.

"Kamu mau belajar di hari sabtu malam minggu gini?" Farel langsung gelagapan sendiri saat dia sadar jika jawabannya sungguh sangat konyl.

"Eh itu, om... Anu... gini... " Lidah Farel terasa kaku dan tidak bisa berbicara. Hilang sudah semua kata-kata yang sudah disusunnya sejak berangkat tadi.

"Jujur aja.. Kamu mau apa ketemu sama anak saya? Gak usah pakai alasan mau belajar matematika segala."

"Hm... Gini om, jujur aja saya tertarik sama anak om, jadi apa boleh kalau saya mencoba deketin anak om?"

"Kalian masih kecil. SMA aja belum lulus. Mau coba-coba pacaran?" Lagi, Farel dibuat diam dengan pertanyaan yang sepertinya mengunci. Dia sudah tidak tahu lagi harus menjawab bagaimana.

"Saya tidak mempermasalahkan kalau kalian memang menjalin lebih dari sekedar teman. Hanya dengan satu syarat, kalian harus tahu batasan-batasannya. Sekali kamu ngelanggar batasan itu, jangan pernah harap kamu akan dapat kepercayaan saya lagi."

Farel sedikit tersenyum lega. Setidaknya ada lampu hijau dari Arif. Mungkin, usahanya mendekati Maura setelah ini akan lebih mudah. Sekarang bagaimana caranya agar Maura bisa lebih dekat dengannya dan akhirnya dia mau menerimanya.

***

"Pak.. Kita sudah sampai di ruang rawat inap bapak, mau saya bantu ke brankar atau bapak sendiri?" Ucapan dari perawat tadi sontak menyadarkan Farel dari lamunannya. Dia lantas meminta perawat tadi untuk membantunya untuk naik ke brankarnya.

"Lagi ngelamunin apa sih pak? Sampe tadi saya panggil-panggil bapak diam aja?" Perawat tadi dengan telaten membenarkan letak dan posisi dari Farel. Mendengar perkataan perawat tadi, Farel hanya bisa tersenyum miris. Bagaimana dia tidak memikirkannya jika orang yang sudah dia sakiti sedemikian rupa, sekarang ada di depannya dengan tampilan yang sangat jauh berbeda dengan waktu lalu.

"Hm.. Saya sih bukan dokter ya pak, tapi dari yang saya baca, pikiran seseorang itu sangat mempengaruhi progres kesembuhan, jadi kalau boleh kasih saran sih pak, mending segera diselesaikan jika memang ada masalah. Daripada ntar malah berlarut"

Setelah menyelesaikan semua tugasnya, perawat itu pamit dan meninggalkan Farel sendiri di kamarnya. Semua keluarganya pulang untuk membersihkan diri dan mengambil baju ganti sebelum nanti kembali lagi ke rumah sakit.

Jauh di lubuk hatinya dia ingin menyelesaikan semua yang mengganjal di pikirannya. Namun bukan hal mudah untuk datang ke hadapan Maura, dan mengakui kesalahannya yang sangat fatal serta meminta maaf. Kalaupun dia sudah bertemu langsung dengan Maura dan meminta maaf, apakah Maura akan memafkannya? 

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang