Part 30

705 41 1
                                    

Tiga hari dihabiskan Maura dan Dian di Manado dan sekarang mereka sudah kembali lagi. Liburan dadakan yang mereka lakukan cukup membuat pikiran Maura semakin terbuka. Sekarang dia sudah lebih tenang dan tidak lagi galau seperti seminggu lalu. Setidaknya, sekarang dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.

Hari ini Maura masih libur. Karena tidak mau menghabiskan waktunya hanya di apartemen, Maura memilih menghabiskan malam ini dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Lagipula dia sudah lama sekali tidak memanjakan dirinya sendiri.

Berjalan menyusuri pusat perbelanjaan seorang diri, berbelanja beberapa barang untuk memanjakan dirinya sendiri sampai akhirnya langkah Maura berhenti pada satu cafe yang ada di pusat perbelanjaan itu. Menikmati beberapa makanan kecil dan minuman manis lalu menikmati alunan musik menjadi pilihan Maura. Posisi duduk Maura sekarang menghadap langsung ke kaca yang menampilkan pemandangan di luar kafe.

Sayup terdengar suara yang cukup Maura kenali. Merasa penasaran, Maura lalu memutar posisi duduknya hingga dia menangkap Farel yang sedang memainkan grand piano dan menyanyikan lagu.

Tak pernah ku sangkali kekhilafanku, yang kini membuatmu jauh.
Terlambat aku membuat kau mengerti hati ini telah menyesal
Sungguh ku mohon tuk kesekian kali, maafkan dan terima ku kembali

Demi cinta ku bersumpah, biar bumi menyaksikannya
Semua yang telah terjadi tak akan ku ulang lagi
Kamu nyawa di jiwaku, separuh nafas di cintaku
Dan ku akui ku hanya bisa memilikimu...

Terlambat aku membuat engkau mengerti hati ini telah menyesal

Sungguh ku mohon tuk kesekian kali maafkan dan terima ku kembali

Sungguh untuk kesekian kali ku mohon terima ku kembali (terima ku kembali kembali)

Demi cinta ku bersumpah biar bumi menyaksikannya
Semua yang telah terjadi tak akan ku ulang lagi
Kamu nyawa di jiwaku separuh nafas di cintaku
Dan ku akui
Ku hanya bisa memilikimu
(Telah Menyesal – Kerispatih)

Farel membawakan lagu itu dengan penuh penghayatan. Mata Maura mencoba memfokuskan pandangannya, untuk memastikan benar itu adalah Farel yang sedang bernyanyi sambil memainkan piano. Setahu Maura, Farel bukan tipe orang yang suka dengan hal yang berbau seni, jadi melihat Farel bernyanyi seperti sekarang membuatnya langsung kaget dan Maura sudah tahu jelas lagu itu ditujukan kepadanya. Farel yang sekarang sangat jauh berbeda dengan Farel yang dikenal Maura saat mereka masih bersekolah. Tidak ada kata romantis seperti sekarang yang Maura tangkap.

Tidak mau berada satu lokasi yang sama dengan Farel, Maura bergegas untuk keluar dari cafe itu. Dia tidak mau terlarut dengan pembawaan Farel malam ini.

Melihat Maura yang pergi dari cafe membuat Farel menjadi sedih. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap untuk setidaknya membuat Maura mau menoleh sedikit ke arahnya.

***

Farhan menyesap pelan kopi hitam yang sudah mendingin. Dirinya sekarang duduk diam sendirian di teras belakang. Mencoba untuk melihat kembali bagaimana hubungannya dengan Maura. Menikmati malam dengan melihat bintang di langit sudah cukup memuaskan dirinya sekarang ini.

"Ini, ada singkong goreng buat teman kopi kamu itu. Kamu itu ngapain? Ada yang kamu pikirin?" Marsih yang melihat Farhan menjadi pendiam dan sedikit murung lantas mencoba membuka pembicaraan dengan Farhan.

"Mas Farhan kayaknya lagi patah hati bu." Seno yang mengekor Marsih di belakang ikut berkomentar melihat Farhan yang sangat berbeda dengan biasanya.

"Lagi patah hati ya mas? Ditolak sama mbak dokternya?" Lagi, Seno kembali berucap sambil dia mendudukkan dirinya di kursi samping Farhan sementara Marsih berdiri di samping Farhan. Mendengar celutukan santai dari Seno, Farhan hanya membalas dengan tatapan tajam, tapi bukannya takut, Seno malah dengan santai mengambil singkong goreng dan memakannya.

Farhan memilih menyandarkan kepalanya ke Marsih dan dibalas dengan marsih yang mengelus pelan rambut Farhan.

"Bu, Ara masih gak mau ketemuan juga. Ini udah lebih seminggu, tapi Ara masih aja gak mau ketemuan"

"Ya udah, biarin dulu dia berpikir. Nanti kalau dia udah enggak emosi lagi kan mau ketemuan. Ibu sih ngeliatnya dia gak marah cuman kecewa aja sama kalian berdua"

Marsih menghentikan elusan di rambut Farhan lalu menatap anak lelakinya itu dengan lembut.

"Anak ibu ini kayaknya udah jatuh cinta beneran ya sama Maura? Gitu waktu Andro mau kenalin sok-sok gak mau" Ucap Marsih sambil menyentil pelan hidung mancung Farhan.

Ucapan Marsih tentu saja membuat Farhan gelagapan. Dia terbiasa dengan dunia bisnis yang tegas, terbiasa dengan logika dan sangat jarang menggunakan perasaannya dalam bertindak kecuali dengan keluarganya dekatnya. Wajahnya menjadi panas setelah mendapat pertanyaan tidak terduga dari Marsih.

"Ciee... Mas Farhan kayak kepiting rebus... Ihiiiii... Mas Farhan poling in lop bu..."

Lagi, celutukan spontan dari Seno menambah panik Farhan. Spontan saja Farhan mengambil potongan singkong yang ukuran kecil lalu melemparkannya ke Seno.

"Udah tho Sen... Wong mas-mu ini lagi galau gini malah kamu godain terus" Peringatan ringan dari Marsih hanya dijawab dengan cengiran dan tertawa ringan dari Seno.

"Gak usah malu gitu nak. Udah sangat wajar kalau kamu itu jatuh cinta. Gak ada yang salah dengan jatuh cinta, nak." Marsih mencoba menenangkan Farhan yang terlihat seperti salah tingkah.

Farhan yang masih duduk di samping Marsih lantas memeluk perut ibunya itu dan menenggelamkan wajahnya di perut ibunya. Tingkahnya persis anak kecil yang mendusel-dusel pada ibunya. Marsih yang paham kalau anak sulungnya itu memang sedang jatuh cinta dan sekarang sangat merindukan hanya untuk bertemu dengan Maura.

Sedang enak-enaknya Farhan bermanja dengan Marsih, datang Andro, Anggun dan tentu saja Davin. Tentu saja Farhan mendengus kesal. Dia masih ingin bermanja dengan Marsih. Sungguh, ingin rasanya dia menggetok kepala Andro saat ini.

'Kalian ngapain sih? Gangguin orang aja!" Sewot Farhan dengan masih memeluk Marsih, seolah dia tidak mau orang lain menganggunya.

"Hush... Wong adikmu sendiri yang pulang kok gak boleh itu lho?" Marsih menepuk pelan lengan Farhan, tapi malah Farhan semakin mengeratkan pelukannya pada Marsih.

"Bu, masak lebih gak malam ini? Anggun kok tiba-tiba pengen makan masakannya ibu?" Anggun akhirnya mengatakan mengapa mereka malam-malam seperti ini pulang ke rumah Marsih.

'Wah ya udah habis, wong udah jam segini. Kalian emangnya belum makan?" Marsih mengerutkan keningnya waktu mendengar perkataan Anggun. Jam sudah menunjukkan lebih dari jam sembilan malam.

"Yaahh... Gak ada makanan apa-apa bu? Udah abis semua?" Raut kecewa langsung terlihat di wajah Anggun.

"Lho tumben kamu gak masak?" Giliran Marsih yang bertanya sambil mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Anggun tidak masak, apalagi sekarang Anggun mempunyai bisnis bakery dan coffee shop.

"Bunda dari pagi katanya gak enak badan. Tadi pagi juga katanya ayah, bunda muntah, eyang..." Jawaban dari Davin malah membuat semua orang di sana langsung terdiam dan saling pandang satu sama lain.

"Mbak, mbak Anggun lagi ngidam?"

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang