Maura melangkah lesu memasuki apartemennya. Di apartemen bertipe dua kamar tidur ini, dia tinggal bersama ibunya. Maura adalah anak tunggal, dan ayahnya yang bekerja sebagai pilot mengalami kecelakaan pesawat saat bertugas, menjadikannya hanya hidup berdua dengan ibunya. Keduanya memilih tinggal di apartemen karena alasan kepraktisan dan mudahnya akses ke tempat-tempat umum.
Selesai membersihkan dirinya, Maura melangkahkan kakinya ke dapur. Kejadian tidak mengenakkan tadi membuatnya lupa untuk mengisi perutnya yang kosong. Membuka lemari dapur, untungnya masih menyisakan beberapa mie instan. Dengan sedikit berhati-hati Maura lantas memasak mie instan lengkap dengan tambahan telur dan cabai. Segera, dia menikmati mie instan itu dalam hening. Jam sudah menunjukkan setengah sebelas malam. Sudah pasti ibunya sudah tidur, maka dia tidak mau membuat suara yang menganggu tidur ibunya.
Mencoba untuk tertidur tapi pikiran Maura justru kembali melayang ke masa lalu. Kembali ke masa ketika dia dan Farel, lelaki yang di temui Maura di rumah sakit tadi, masih bersekolah dan berseragam putih abu-abu.
***
Hari masih sore dengan cuaca yang cukup cerah. Angin berhembus tenang dan jalanan tidak terlalu padat untuk ukuran jam pulang kerja. Maura memilih duduk di halte depan sekolah dan menunggu ayahnya menjemputnya. Hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ayahnya yang bekerja sebagai pilot kebetulan jadwal landing-nya bertepatan dengan jam pulang sekolah Maura. Rencananya, selepas ini mereka akan membeli bouquet bunga dan beberapa kudapan manis untuk kejutan pada sang ibu. Sedang enak-enaknya memperhatikan lalu lintas di depannya, tiba-tiba seorang lelaki dengan seragam yang sama menghampirinya.
"Lu sendirian aja? Nungguin siapa di sini?" Sapa ramah lelaki itu. Dia mematikan sepeda motornya dan lantas mengambil duduk di samping Maura.
"Nungguin jemputan dateng" Jawab Maura singkat. Dia sedikit menggeser duduknya sedikit menjauh dari lelaki itu. Menyadari jika Maura tidak terlalu merespon keberadaannya, lelaki itu lantas menyodorkan tangannya.
"Lu Maura kan? Anak IPA 4 kan? Gue Farel, kalau gue sih kelas IPS 2" Maura menolehkan wajahnya dan matanya lantas menyelidik dari atas hingga bawah. Dia jelas tahu jika lelaki itu berniat mengajaknya berkenalan, tapi entahlah, dia sendiri enggan menanggapinya.
Merasa tidak ditanggapi walaupun sudah memperkenalkan dirinya, Farel lantas langsung meraih tangan maura dan menggenggamnya seolah mereka sedang bersalaman. Tentu saja Maura tidak menyangka jika Farel akan bertindak yang menurutnya nekad.
Dua orang yang berada di halte depan itu memasang wajah yang berbeda. Maura yang sangat terlihat tidak nyaman dengan adanya Farel di sampingnya dan Farel yang malah memasang wajah cengengesannya.
"Jemputan lu masih lama? Gue temenin ya.. Kasihan gue masak cewek secantik lu dianggurin"
Maura masih saja diam dan tidak merespon semua yang dilakukan oleh Farel. Tapi, sepertinya itu membuat Farel semakin penasaran. Dia justru kembali menggeser posisi duduknya hingga kembali mendekati Maura. Farel masih tetap dengan saja mencoba mengajak ngobrol Maura, tapi tampaknya Maura masih tidak nyaman dengan keberadaan Farel.
Seperempat jam kemudian, sebuah mobil sedang datang dan menepi. Senyum Maura langsung terbit saat kaca depan sebelah kiri mobil terbuka dan tampak ayahnya duduk di belakang kemudi. Segera saja Maura bangkit dan menghampiri mobil itu.
"Ciee.. Yang ditungguin sama pacarnya.. Siapa tuh? Kok gak dikenalin ke ayah?" Arif, ayah Maura, langsung menggoda putri satu-satunya itu saat Maura menyodorkan tangan untuk ber-salim dengan ayahnya.
"Ih.. Ayah... Kenal aja enggak kok!" Maura langsung saja sewot saat ayahnya malah menggodanya. Jika tadi Maura terlihat sangat dingin dan enggan menanggapi lawan bicaranya, maka saat kini dia berhadapan dengan ayahnya, sifat cerianya langsung terlihat.
"Hahaha.. Sudah wajar nak, untuk seusia kamu itu kenal terus tertarik sama lawan jenis kamu. Itu normal dan manusiawi. Kamu mau menjalin hubungan sama temen kamu, ayah gak akan ngelarang kok. Cuman ya tetep hati-hati. Gak semua orang tuh sebaik yang kita kira."
"Enggak ah, Ara mau fokus sekolah dulu aja. Ara tuh pengen ayah sama bunda bangga sama Ara.." Arif langsung menggelengkan kepalanya pelan saat mendengar jawaban dari Maura.
"Kehadiran kamu diantara ayah dan bunda, itu sudah lebih dari cukup. Ngelihat kamu senyum, ceria bisa seperti sekarang ini tuh udah berkah buat ayah sama bunda." Arif berkata sambil tangannya mengusap pelan rambut Maura.
Selesai bercanda sebentar, Arif lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mereka memang harus sedikit bergegas untuk mempersiapkan kejutan kepada sang bunda.
Melihat mobil yang membawa Maura beranjak. Farel dengan segera menaiki sepeda motornya dan mencoba mengikuti mobil itu dari jarak yang aman. Jika dia langsung bertanya dimana alamatnya, sudah pasti Maura tidak akan memberikan jawabannya, jadi mungkin ini adalah jalan satu-satunya untuk Farel tahu dimana Maura, gadis yang diincarnya itu tinggal.
***
Bukan kemauan Maura untuk tiba-tiba mengingat bagaimana dia pertama kali mengenal lelaki itu. Mengingat bagaimana rasa sakitnya dimulai.Tidak terasa, tiba-tiba saja air matanya menetes. Ingin sebenarnya Maura berteriak dan melepaskan semua penat di perasaannya yang datang tiba-tiba.
Keesokan harinya, Maura baru bangun saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Untungnya hari ini dia kena shift siang, sehingga saat telat bangun seperti sekarang inipun tidak menjadi masalah baginya. Dian, sang ibunda, memang sengaja tidak membangunkan putri tunggalnya itu karena sudah sangat mengetahui bagaimana pola kerja dari Maura. Dia membiarkan saja Maura beristirahat.
"Bunda, tadi kok gak bangunin Ara.. Kan jadinya tadi bunda masak sendirian.." Dengan sedikit menggerutu dan masih menampilkan wajah bantalnya, Maura langsung duduk di meja makan. Di depannya sudah ada bubur kacang hijau yang sudah dibuat terpisah antara gula dan santannya.
"Kemarin aja sampe bunda pergi tidur, kamunya belum pulang. Pasti capek kan kamu pulangnya? Memang kemarin ada autopsi dadakan ya? Kok sampe malam banget baru pulang?"
Dian langsung duduk di depan Maura. Tangannya lalu bergerak lincah mengambilkan bubur kacang hijau yang dicampur dengan santan dan gula merah cair. Maura langsung menerima semangkuk bubur itu. Dia lantas memakan bubur kacang hijau itu bersamaan dengan roti tawar.
"Enggak ada sih bun. Kemarin tuh bisa pulang sesuai jadwal sebenarnya. Tapi, pas Ara lewat IGD, kondisinya rame banget. Sampe ada pasien yang minta bantuan sama Ara. Jadi ya Ara bantuin dulu."
"Oh, kirain kalau ada permintaan autopsi dadakan kayak biasanya. Hari ini masih masuk siang kan?" Maura hanya mengangguk saja menjawab pertanyaan Dian.
"Ya udah. Kalau gitu habis sarapan, kamu mandi trus temenin bunda ke supermarket bawah. Stok mie instan, telur sama susu udah tinggal dikit. Ntar takutnya kalau ada yang kelaperan tengah malam malah bingung" Maura tersenyum kecil saat Dian secara tidak langsung menyindirnya karena masih saja dia menyukai mie instan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomanceMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...