Maura masuk kembali ke rumah sakit dengan kondisi yang tidak segar walaupun dua hari kemarin dia off kerja. Apalagi penyebabnya jika bukan pemikirannya sendiri tentang Farhan dan Farel. Dia masih bergelut dengan kemungkinan-kemungkinan yang sejak kemarin terus saja muncul di pikirannya.
Prima, rekan sekerja dan seruangan dengan Maura sudah tentu bisa melihat perbedaan yang muncul di Maura hari ini. Awalnya, Prima memilih untuk tidak ikut terlalu dalam pada apa yang membuat rekan kerjanya itu menjadi sangat tidak fokus hari ini. Banyak pekerjaan yang harusnya mudah dan sudah biasa dilakukan menjadi salah karena Maura tidak fokus.
"Lu ngapain sih Ra? Gak fokus gitu hari ini?" Prima memilih untuk menanyakan daripada banyak pekerjaan yang kacau karena Maura yang tidak fokus.
"Untung pasien kita udah gak punya nyawa. Coba kalau enggak, bisa kacau" Lanjut Prima.
Maura bukannya tidak tahu kalau dia sedang tidak fokus dan banyak melakukan kesalahan. Berulang kali dia mencoba fokus dan mengabaikan pikiran-pikiran yang ada, tapi tetap saja pikirannya tentang Farel dan Farhan lebih mendominasi membuatnya selalu salah dalam bekerja.
"Mendingan lu duduk aja deh. Biar gue yang handle kerjaan ini."
Menuruti permintaan Prima, Maura memilih menyandarkan pada kursinya. Dia memilih memejamkan matanya sambil mendongakkan kepalanya dan mencoba mengusir semua pikiran yang masuk di kepalanya.
Selang beberapa waktu, Maura merasakan tepukan di pundaknya. Prima yang sekarang ada di sampingnya, lalu tersenyum dan kemudian berkata
"Yuk, mending kita ngopi bentaran di kafe depan. Lu capek banget gitu. Yuk" Lagi, Maura memilih mengikuti perkataan Prima. Dia mengekor saja saat Prima keluar dari rumah sakit dan masuk ke salah satu kafe yang ada di depan rumah sakit.
"Nih, tadi gue pesenin green tea matcha sama dark chocolate brownies. Orang bilang sih ini bisa reducing stress. Gue lihatnya sih lu stres banget" Prima datang sambil membawa satu gelas green tea matcha dan satu slice dark chocolate brownies.
Maura menerimanya. Dia menyesap pelan aroma green tea yang cukup menenangkan untuknya. Setelah cukup tenang, dia mengambil potongan brownis dan menyendokkannya ke mulutnya. Lumeran coklat ternyata ampuh membuatnya mejadi sedikit rileks.
Prima yang melihat itu semuanya langsung tersenyum ringan. Tidak sia-sia usahanya membuat Maura menjadi lebih tenang dan rileks.
"Kalau emang lu siap dan mau cerita, gue siap dengerinnya. Take your time as much as you want."
Maura mendesah, mencoba mengeluarkan beban yang ada di hatinya.
"I know you, Ra.. Jangan disimpen sendirian."
Maura lalu mengarahkan pandangannya pada Prima yang menatapnya dengan tatapan yang menenangkan. Seperti biasanya. Benar jika dia memang harus menceritakan semuanya.
"Farhan sama Farel, mereka ternyata saling kenal. Dan parahnya lagi mereka itu juga satu kantor. Farhan itu atasannya Farel, dan aku baru tahunya kemarin lusa waktu niatnya mau ngasih kejutan ke Farhan. Eh, ternyata aku yang dibikin terkejut sama mereka berdua"
Prima cukup terkejut dengan perkataan dari Maura, tapi dia mencoba untuk berpikiran dingin. Mencoba mencermati semua informasi yang keluar dari mulut Maura.
"Trus anehnya lagi, mereka keliatan banget akrabnya. Beda banget kalau pas lagi ketemuan di uar pas ada aku. Mereka kayak Tom and Jerry. Jawaban yang mereka kasih pas aku nanya juga kompak banget. Pokoknya aneh banget"
Suasana diam setelah Maura menceritakan semuanya. Prima memang sengaja membiarkan Maura menceritakan semuanya tanpa berniat dia potong semua cerita Maura. Dia memberikan ruang seluasnya pada Maura. Prima hanya berharap dengan itu semuanya Maura bisa merasa lega dan tenang.
"Dari cerita yang tadi lu ceritain, lu bisa kok liat apa yang diceritain Farhan dan Farel bohong apa enggak. Gesture tubuh, mata dan suara orang waktu jelasin itu bisa keliatan. Apa dia bohong apa enggak"
"Kalau dari itu semuanya sih mereka keliatannya enggak bohong. Waktu jelasin semuanya, sama-sama tenang" Maura lantas menceritakan bagaimana Farhan dan Farel menceritakan semuanya.
"Dan lu masih bimbang dengan penjelasan mereka?" Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan lemah dari Maura. Melihat itu, Prima lalu berucap
"Lu masih dengan trauma lu di masa lalu. Lu masih kejebak di sana. Kalau aja lu enggak kejebak di masa lalu lu gak akan segalau kayak sekarang. Lu masih nganggep kalau semua cowok itu sama. Sama-sama ingin jadiin lu bahan mainan."
"Aku akuin iya. Aku masih belum bisa ngelupain bagaimana mereka ngelakuinnya ke aku. Dan sekarang, Farhan dan Farel seperti ngelakuinnya juga. Aku gak tahu, hal buruk itu langsung aja buat kepalaku penuh. Aku pengen percaya sama perkataan mereka tapi ya itu tadi, perasaanku bilangnya mereka mainin aku"
Mungkin benar, perasaan akan lebih ringan kalau masalah tersebut diungkapkan. Sekarang, kondisi Maura memang lebih baik. Dia tidak lagi gusar dan gampang hilang fokus seperti tadi.
"Kalau feeling gue sih mereka gak salah kali ini. Kebetulan aja mereka satu kantor dan bukan berarti kalau mereka satu kantor trus mereka janjian buat mainin kamu."
"Kok bisa kamu ambil kesimpulan gitu?"
Prima menyeruput habis iced capucino sengaja memberi jeda pada perbincangan mereka, lalu setelahnya dia berkata
"Coba inget, lu emang sebelumnya udah kenal duluan sama Farel. Kalian udah kenal sejak SMA. Trus lu kenal Farhan itu dari Andro kan? Dia abang iparnya Andro, trus antara Andro sama Farel gak ada hubungannya sama sekali. Mereka juga gak saling kenal juga kan? Kalau emang Farhan dan Farel itu sekongkol buat mainin lu, maka Andro juga terlibat karena dia yang jadi pintu buat kamu kenalan sama Farhan. Tapi feeling gue sih Farhan bener kalau emang mereka gak sengaja satu tempat kerjaan"
Maura terdiam mendengar analisa dari Prima. Mencoba menimbang kembali dan mengingat ulang bagaimana dia bisa mengenal Farhan dan Farel.
"Gini aja Ra, menurut gue yang lu butuhin sekarang itu, lu mending istirahat sambil merenung. Coba lu tanya ke diri lu sendiri, apa mereka bohong apa enggak, sekalian nih ya kalau gue bisa kasih saran, lu sekalian milih salah satu dari mereka. Lu milih siapa? Farhan apa Farel?"
Maura kembali mengangguk. Dia setuju kalau memang dia membutuhkan istirahat sejenak untuk memikirkan soal semua ini. Benar kata Prima, kalau dia harus tegas memilih salah satu dari Farel atau Farhan.
"Kayaknya kamu bener, Nyo.. Aku butuh liburan. Lagian juga udah lama gak liburan bareng bunda. Mungkin besok ajalah aku ajuin cuti. Thanks ya Nyo.."
"Anything for you, Ra..."
Setelah sesi curhat dan obrolan santai Maura dan Prima, keduanya lantas kembali ke rumah sakit. Masalah memang belum sepenuhnya selesai, namun setidaknya Maura tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini. Langkahnyapun menjadi sedikit lebih ringan dibandingkan tadi. Senyum juga sudah mulai muncul di bibir Maura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomanceMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...