Farel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kondisi jalanan relatif ramai karena jam pulang kerja. Jam enam sore, dan Farel mengarahkan mobilnya menuju rumah sakit. Dia memang sudah berjanji pada Maura untuk menjemputnya. Jam kerja Maura memang baru selesai jam sembilan malam, tapi jam enam sore Farel sudah berada di jalanan dan menuju ke rumah sakit. Dia juga membawakan bakmie udang, yang dia tahu adalah makanan kesukaan dari Maura.
Jam tujuh kurang, Farel sudah sampai di rumah sakit. Dia langsung bergegas ke ruangan forensik tapi dia harus kecewa saat perawat jaga di sana menginformasikan jika Maura sedang keluar bersama dengan seorang polisi.
Lobby utama rumah sakit menjadi pilihan Farel untuk menunggu Maura. Dia duduk bersandar di kursi yang langsung menghadap pintu utama rumah sakit. Bukan tanpa alasan dia memilih kursi itu. Dari posisinya sekarang, dia bisa melihat langsung pengunjung rumah sakit yang datang dan pergi, sehingga dia tidak akan melewatkan Maura jika dia sudah kembali ke rumah sakit.
Farel langsung berdiri saat melihat Maura berjalan masuk ke rumah sakit. Segera saja dia menghampiri Maura sambil tangannya menenteng bungkusan makanan.
"Ara... " Panggil Farel saat melihat Maura tetap berjalan bahkan tanpa menoleh ke kiri atau kanan.
"Oh, kamu Rel? Mau terapi ke dokter Bimo? Tapi kayaknya kalau hari selasa, dokter Bimo gak praktek malam deh" Maura seketika langsung menghentikan langkahnya saat dia mendengar namanya dipanggil.
Farel menggeleng pelan. Lantas dia berucap
"Enggak. Aku ke sini kan mau jemput kamu. Sama ngenter ini, barangkali aja belum makan malam. Tapi kayaknya aku telat ya nganterinnya? Barusan makan malam ya?" Farel lalu mengangkat satu bungkus stereofoam yang berisi bakmie udang.
"Jemput aku? Lha kan kemarin udah kubilang kalau jam kerjaku sampe jam sembilan malam. Kelamaan pake banget kalau jam segini udah dateng" Sejujurnya, Maura cukup terkejut dengan alasan Farel. Menjemputnya yang harus kerja shift siang dan baru selesai jam sembilan malam tapi jam tujuh sudah datang, apalagi dengan membawakannya makanan segala.
"Hehehe... Gak masalah sih. Toh di rumah juga gak ada yang dikerjain juga." Farel berucap dengan sedikit tergagap. Sepintas dia teringat bagaimana dulu dia juga tergagap saat mencoba mendekati Maura.
"Ya udah kalau emang gak masalah nungguin aku. Eh.. Aku tinggal dulu ya ke ruanganku. Kamu mau nungguin di sini atau ngikut aja ke ruanganku?"
"Aku tunggu di kantin aja. Selesai jam sembilan kan ya?" Maura hanya mengangguk menjawab pertanyaan Farel. Selesai menjawab, dia lantas kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan Farel.
Sampai di kantin rumah sakit, Farel lantas membuka bungkusan makanan yang seharusnya dia berikan ke Maura. Sudah dingin. Harusnya sudah tidak terlalu enak untuk dimakan tanpa dihangatkan dulu, tapi Farel tetap memakannya. Bakmie udang yang harusnya terasa nikmat dan lezat itu sekarang terasa hambar. Perasaan Farel mengatakan bahwa dia akan sulit untuk menggapai Maura kembali. Maura memang bersikap biasa saja kepadanya, tapi justru dengan itu dia menjadi bingung. Dia lebih senang jika Maura menemuinya dengan marah atau dengan emosi, sehingga dia bisa langsung meminta maaf kepadanya. Tapi, dengan sikap Maura yang seperti sekarang, sedikit susah bagi Farel untuk mengucapkan maaf. Maura terlihat baik-baik saja di matanya.
Farel melirik jam tangannya. Kurang seperempat jam lagi jadwal Maura selesai. Dia lantas berdiri dan kemudian berjalan menuju ruang forensik, dimana Maura bertugas. Sebenarnya dia masih tidak nyaman berada di ruangan beraroma formalin itu, tapi dia harus bisa tahan jika memang ingin meraih kembali hati Maura.
Farel sedikit mengernyitkan keningnya. Saat tiba di ruang forensik, dia melihat Maura yang sedang bercanda santai dengan rekan dokter lainnya. Keduanya tertawa ringan.
"Oh, Rel, kamu nyusul sampai sini?" Pertanyaan Maura hanya dijawab dengan anggukan kepala dari Farel
"Eh, kenalin nyo, ini Farel, yang tempo hari aku cerita ke kamu. Rel, ini dokter Prima, cuman aku biasanya manggil dia dengan sinyo"
Prima langsung memutar badannya menghadap ke Farel. Wajahnya langsung berubah. Jika tadi nampak santai dan terus tersenyum, tapi sekarang senyumnya langsung hilang.
"Hoi, kenalin bro, gue Prima." Prima mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Hm.. Farel" Ujar Farel singkat sambil menyambut uluran tangan Prima.
"Gue penasaran nih, bro. Lu kemarin mainin Ara emang dapetnya berapa duit sih? Bisa lu pake buat apaan duit yang lu dapet dari taruhan itu?"
Pertanyaan dari Prima memang santai. Nada bicaranyapun berkesan tidak ada kesan emosi sama sekali. Tapi kesan menekan dari pertanyaan itu sudah jelas. Farel langsung kesulitan sendiri. Dia panik, mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Trus, maksud lu deketin lagi Ara buat apaan? Buat lu mainin lagi?" Lagi, Prima membuat Farel semakin tersudut.
"Gini ya bro, Ara sih emang udah gak perduli lagi sama apa yang uda kejadian sama lu. Cuman nih, gue tegesin ya ke lu, kalau misal lu mainin temen gue ini, lu bakalan ngadepin gue! Gue bisa pastiin kalau gue orang pertama yang bakalan nikin lu tahu gimana rasa sakit itu, siapapun lu!" Prima masih berucap dengan santai. Tetap tidak ada nada emosi dalam perkataannya. Bahkan dia berkata sambil tersenyum ke arah Farel.
Karakter Prima memang bukanlah seorang yang ketika emosi langsung terlihat. Dia akan memancing dulu lawannya, dan ketika lawannya itu terpancing, maka akan sangat mudah buat Prima untuk melawan balik lawannya itu.
"Udah Nyo.. Gak perlu ditanggepin emosi gini. Aku aja udah gak nganggep kejadian itu ada kok. Semua yang terlibat di kejadian itu udah aku anggep gak ada juga. Jadi ya udah, santai aja"
Mata Farel langsung membola mendengar perkataan dari Maura. Secara tersirat, Maura sudah menganggapnya tidak ada. Sama saja Maura tidak menganggap keberadaannya. Sekarang, Farel mengerti mengapa Maura bersikap begitu santai dan seolah tidak terjadi apapun diantara mereka.
Suasana menjadi canggung saat Farel mengantar Maura. Tentu itu semua karena pertanyaan dari Prima. Sejak keluar dari rumah sakit sampai sekarang, Farel masih diam saja. Dia bingung harus memulai dari mana. Pertanyaan dari Prima memang benar-benar mengunci dirinya.
"Maaf...." Ucap Farel setelah beberapa saat hanya keheningan yang ada diantara mereka.
Maura yang tahu ke arah mana ucapan Farel, langsung menolehkan kepalanya. Dia hanya tersenyum kecil dan kemudian menyahut:
"Udah gak usah dipikirin yang udah kejadian. Lagian udah lama juga kan? Gak penting buatku sekarang. Gak akan merubah keadaan."
Jawaban mengambang dari Maura membuat Farel bingung. Dirinya tidak tahu, apakah permintaan maafnya diterima atau tidak. Dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Terus mencoba meminta maaf sampai Maura mengatakan sendiri jika dia sudah memaafkannya? Atau dia harus menepi dari kehidupan Maura? Mana yang harus dia lakukan sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomanceMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...