"Wooii... Welcome back to work my honey bunny sweety pleki...." Prima yang baru saja membuka pintu ruangan sedikit terkejut dengan keberadaan Maura di sana. Nampak jika Maura sedang serius membuat laporan autopsi yang baru saja dia lakukan. Tentu, dia langsung heboh dengan kehadiran Maura di rumah sakit.
"Biasa aja kali Nyo.. Lagian masak kamu manggil aku pake nama guguk kamu?" Ucap Maura sambil tetap berkonsentrasi pada layar laptop di depannya.
"Lho lu tuh harusnya seneng, Ra. Pleki tuh anjing gue yang paling gue cintai, sayangi, kasihi dengan segenap jiwa gue."
PLETAK
Sebuah pena berhasil mendarat tepat di kening Prima. Maura tentu saja kesal saat Prima dengan santainya menyamakan dirinya dengan anjing peliharaan Prima, walaupun dia sangat tahu kalau sebenarnya Prima juga hanya bercanda saja.
Sementara itu, Prima yang mendapat serangan mendadak dari Maura hanya bisa membalasnya dengan cengiran khas Prima yang menampilkan gigi putih rapinya. Sementara tangannya mengelus pelan keningnya yang kena lemparan pena dari Maura.
"Hehehe.. Gue seneng Ra, lu udah bisa senyum lagi. Gak kayak seminggu kemaren yang muka kayak bantal ditekuk! Anyep banget dah muka lu minggu lalu"
Maura menghentikan pekerjaannya sejenak dan lalu melihat ke arah Prima yang sudah duduk di depannya. Benar memang dia sudah bisa tersenyum lagi dan sudah bisa berpikir dengan jernih, tapi masalah utamanya belum sepenuhnya selesai. Dia masih belum bisa percaya lagi dengan Farhan dan Farel, terlebih dia juga masih belum bisa menentukan siapa yang akan menjadi pilihan hatinya.
"Eh, Ra lu udah milih belum? Lu jadinya sama Farhanisme atau Farelius itu?"
Lagi, Maura menghentikan aktivitas mengetiknya dan lalu menoleh pada Prima. Dia mendesah pelan sambil berkata:
"Aku masih bingung. Aku ngeliatnya Farel kayak nyesel banget gitu. Trus tahu sendiri kan dia berubah jadi romantis gitu. Bohong sih kalau aku gak kesentuh sama semua yang dia lakuin. Cewek mana sih yang enggak tersanjung kalau dikirimin bunga tiap hari ke tempat kerjanya, dikasih perhatian yang lebih, trus kemarin pas di cafe, dia nyanyiin lagu buat aku. Aku gak mungkin enggak kesentuh sama semuanya itu"
Maura menjeda sejenak. Dia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, mencoba untuk sedikit rileks.
"Trus kalo si Farhanisme gimana?" Tanya Prima dengan antusias. Dia sungguh penasaran dengan pilihan Maura.
"Kalau Farhan tuh yang aku lihat modelan family man. Dia bakalan duluin keluarganya. Buat dia, keluarga itu prioritas. Apapun dia lakuin buat keluarganya. Trus kalau jujur sih, aku emang pengen nyari suami yang model kayak gini. Yang nempatin keluarga jadi prioritasnya dia"
"So, lu akhirnya milih Farhanisme?" Prima mendapat jawaban gelengen kepala dari Maura.
"Aku sendiri juga masih bimbing sama Farhan....."
"You have trust issue! Lu sebenarnya udah tahu hati lu mau kemana dan siapa yang kamu pilih. But again, lu gak bisa keluar dari traumatik masa lalu lu. Sepanjang lu belum bisa tentuin siapa yang bakalan lu pilih, maka sepanjang itu pula hati lu gak bakalan tenang"
Maura hanya menganggukkan kepalanya saja mendengar apa yang dikatakan oleh Prima. Memang benar dan dia sangat tahu akan hal itu. Tapi dia benar-benar tidak bisa menentukan dengan siapa nantinya dia akan bersama.
"Masa iya aku harus bikin appointment sama psikiatri?" Guman Maura pelan. Mendengar itu, Prima langsung mengerutkan keningnya. Dia bingung, kenapa Maura bisa berpikir sejauh itu? Untuk apa harus ke psikiatri?
"Kalau lu ke psikiater buat sembuhin trauma masa lalu kamu, it might be helped. Tapi kalau buat nentuin pilihan kamu, ya percuma aja sih Ra. Gak akan ada hasilnya lu ke psikiater segala"
Maura hanya mengedikkan bahunya dan kembali serius dengan laporan yang harus dia selesaikan. Ucapannya tadi mungkin terdengar sepele, tapi sebenarnya itu adalah ungkapan keputusasaan hatinya menghadapi semua kejadian beruntun yang membuatnya menjadi seperti sekarang.
Waktu terus berlalu dan sekarang waktunya untuk Maura pulang. Dia sudah menyelesaikan shift paginya dan akan kembali ke apartemen tempat dia tinggal. Biasanya, sebelum Maura meminta Farhan dan Farel untuk berhenti mendekatinya, dia akan lebih mudah karena salah satu dari mereka pasti sudah menunggu di lobby utama rumah sakit untuk mengantarnya pulang.
"Dokter Maura...." Mendengar namanya dipanggil, Maura lantas menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya seorang lelaki dewasa dan sepasang suami istri paruh baya berdiri tidak jauh dari tempatnya sekarang.
"Iya pak, mencari saya?" Maura membalas dengan sopan walaupun dia sedikit malas. Pasangan suami istri paruh baya itu adalah Rahmat dan Vera, sementara lelaki dewasa itu adalah Darren. Mereka adalah orang tua dan kakak dari Farel. Maura tahu itu saat Farel masih menjalani rawat inap di rumah sakit.
"Kami pengen ngobrol bentaran sama dokter, bisa nggak?" Tanya Darren langsung pada intinya.
"Hm.. Bisa sih pak. Tapi maaf, jangan terlalu lama ya. Saya sedikit capek habis jaga pagi ini" Sebenarnya jawaban Maura adalah penolakan dari ajakan mereka. Ketiganya sebenarnya sangat tahu dengan penolakan halus itu, tapi mereka sudah kepalang tanggung ada di rumah sakit ini dan bertemu dengan Maura, jadi sangat sayang jika tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Keempatnya sekarang sudah ada di salah satu resto yang sejalan ke arah apartemen Maura. Maura yang meminta tempat ini.
"Sebelumnya, perkenalkan kami....." Belum selesai Darren ingin memperkenalkan diri, Maura lantas memotongnya
"Saya sudah tahu bapak, ibu sekalian. Kerabat dari Farel kan? Langsung saja pada intinya, ada apa ingin mengajak saya ketemuan sore ini?"
Darren menghela napas dalam. Dia lantas melirik ke arah Rahmat dan Vera. Suasana menjadi sedikit kaku dengan sikap Maura yang sedemikian.
"Kami sebenarnya ingin tahu saja, sebenarnya bagaimana hubungan antara dokter dan adik saya."
"Saya sama Farel? Hubungan saya hanya sebatas kenalan lama yang bertemu kembali. Hanya itu, tidak ada yang lebih" Maura menjawab pertanyaan Darren dengan santai dan ringan.
"Sebelumnya saya minta maaf kalau dianggap masuk terlalu jauh. Farel udah cerita ke saya soal semuanya termasuk apa yang udah terjadi selama di SMA. Alasan utama saya pengen ngobrol sama dokter adalah saya ingin bilang kalau Farel sangat menyesal dengan semuanya dan ingin serius dengan dokter"
"Kalau bapak hanya ingin membujuk saya untuk bisa menerima kembali Farel di kehidupan saya, mungkin yang bisa saya bilang adalah bapak sudah menyia-nyiakan waktu bapak dan juga waktu saya."
Melihat bagaimana Maura meresponnya, Darren lalu memutuskan kalau dia tidak akan berbasa basi. Dia langsung saja mengatakan alasannya mengapa dia dan kedua orang tuanya datang menemui Maura.
"Apa dokter belum memaafkan Farel?"
"Saya masih mencoba memaafkan Farel dan membiarkan dia ada di sekitar saya, tapi itu bukan berarti saya akan menerima dia menjadi bagian hidup saya."
Ketiga orang di depan Maura hanya bisa terdiam dengan jawaban yang diberikan oleh Maura. Nampaknya usaha mereka untuk sekedar mempengaruhi pemikiran Maura tentang Farel sudah gagal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
Roman d'amourMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...