Part 5

1.5K 99 3
                                    

Sudah seminggu lebih dan sebenarnya Maura juga sudah melupakan bahwa dia bertemu dengan Farel. Dia juga sudah berusaha untuk tidak memikirkan semua itu. Tapi, saat tadi Maura sedang istirahat sore-nya, ekor matanya tidak sengaja menangkap sosok Farel yang waktu itu duduk di kursi roda dan didorong oleh seorang perawat. Untungnya saat itu dia bersama dengan beberapa rekan dokter yang lain. Andaikan saja dia duduk sendirian, sudah pasti Farel akan menghampirinya dan jika itu terjadi, dia tidak tahu apakah dia bisa mengendalikan emosinya atau tidak.

Maura melangkahkan kakinya kembali ke Instalasi Kedokteran Forensik, tempatnya berdinas. Ruangan sedang sepi saat itu. Maura mengambil tempat duduk dan menyandarkan punggungnya sejenak.

***

Orang bilang kalau kita diperhatikan oleh orang lain itu menyenangkan. Kita akan menjadi seperti orang penting, selalu ditanya bagaimana kabar kita, sudah makan atau belum, sedang apa sekarang dan pertanyaan-pertanyaan acak lainnya. Sungguh menyenangkan rasanya. Tapi itu semua tidak berlaku untuk Maura. Semua perhatian yang diberikan oleh Farel tidak cukup kuat untuk menjawab permintaan Farel untuk menjadi kekasihnya. Maura lebih memilih untuk menjadi teman saja, namun Farel masih ngotot dan tidak menyerah.

Mulai hari itu, Maura harus mengucapkan selamat tinggal hari-hari tenangnya. Entah di sekolah, di rumah atau di manapun, Farel selalu saja membuntutinya. Kemanapun Maura pergi, farel selalu berusaha untuk mendekatinya.

"Bisa gak sih gak ngikutin! Risih tau!" Sudah kesekian kalinya Maura marah seperti ini ke Farel tapi karena Farelnya yang bebal, dia malah memasang cengiran tanpa dosa ke Maura.

"Emang gak bisa. Lu itu udah jadi candu buat gue. Rasanya pengen nagih terus" Gombalan-gombalan receh seperti ini sudah hampir tiap hari keluar dari mulut Farel.

"Sana gih.. Sana.. Hush.. Hush.. " Maura bertingkah seperti dia sedang mengusir seekor kucing atau anjing. Tapi sekali lagi, bukannya menjauh, malahan Farel lebih mendekat.

"Ini non pesenannya.. Mie ayam sama es teh.."

Pertengkaran mereka terhenti karena petugas kantin mengantarkan pesanan Maura. Sekarang adalah jam istirahat, dan hanya di jam istirahat itu Farel bisa menempeli Maura. Mereka tidak satu kelas, maka Farel sangat memanfaatkan situasi jam istirahat ini.

"Ayang Ara jangan kebanyakan sambelnya.. nanti perutnya sakit lho.."

BRAK!!!

Maura sudah tidak bisa lagi membendung marahnya. Dia menggebrak meja dan sambil menatap tajam ke arah Farel. Dengan langkah panjang dan tegas, Maura lebih memilih meninggakan kantin. Jam istirahat tentu membuat kantin menjadi sangat ramai dan Maura tidak mau bertindak konyol karena emosinya.

"AYANG... Ini mie ayamnya kok gak dimakan?" Lagi, Farel dengan konyol berteriak dan membuat kantin menjadi gaduh karena tontonan drama gratisan ini.

Perpustakaan menjadi tempat Maura untuk melarikan diri. Farel tidak mungkin mengacau di perpustakaan. Dengan masih dan menahan kesal maura lantas mengambil majalah, sekedar membolak-balikkan halamannya. Mood-nya sudah sangat tidak nyaman. Bel tanda selesainya jam istirahat sudah berbunyi, tapi Maura lebih memilih bertahan di perpustakaan. Suasana hatinya benar-benar kacau hari ini. Mau masuk ke kelaspun akan percuma karena pikiran sedang tidak fokus pada mata pelajaran yang ada.

"Lho, Maura, kamu ada di sini? Itu kamu ditunggu ibu kamu di ruang guru. Tadi bapak cariin kamu di kelas tidak ada" Ucapan Pak Narto, salah satu guru, membuat Maura yang sedang membaca majalah langsung mendongakkan kepalanya.

"Hah? Ibu saya ke sini pak? Ada apa?" Sungguh aneh jika ibunya datang ke sekolah. Ini baru pertama kalinya ibunya ke sekolah. Setahu Maura, dia tidak pernah bermasalah di sekolah hingga pihak sekolah memanggil orang tuanya.

"Saya tidak bisa menjawab, Maura. Lebih baik kamu bergegas temui ibumu. Jika tidak penting sekali, tidak mungkin kan ibumu menyusul sampai ke sekolah?" Pak Narto menjawab dengan bijak.

Maura mengangguk dan membenarkan apa yang dikatakn pak Narto tersebut. Bergegas dia menuju ke ruang guru. Dan, memang benar, ibunya sudah ada di sana. Tapi, mengapa mata ibunya menjadi sembab seperti itu? Mengapa ibunya menangis?

"Bunda... "

Dian yang mendengar suara Maura langsung menolehkan kepalanya. Dia lalu berdiri dan memeluk erat Maura.

"Ayah kamu nak... Ayah kamu... " Dian berucap dengan suara terisak

"Ayaah.. Ayah kenapa bun?"

"Tadi bunda di telpon sama kantor ayah kamu. Mereka ngasih kabar kalau pesawat ayah kamu hilang kontak. Sampai sekarang belum ketemu..."

Maura langsung lemas. Hampir saja dia terjatuh jika tidak ditahan oleh guru-guru yang lainnya. Dia sangat paham, ini adalah salah satu risiko mempunyai ayah seorang pilot. Dia harus siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi.

Setelah berpamitan dengan guru dan mengurus ijin pulang terlebih dulu, Maura memilih menemani ibunya ke bandara, dimana crisis centre berada.

Sudah lebih dari dua minggu diakukan pencarian korban. Sesuai dengan ketentuan yang ada, maka seluruh penumpang dan awak pesawat termasuk ayahnya dinyatakan meninggal dunia.

Saat dinyatakan jika seluruh penumpang dan awak pesawat meninggal, air mata maura sudah kering, namun bukan berarti dia tidak bersedih. Hal yang paling menyesakkan adalah, pesawat yang dipiloti ayahnya jatuh di laut, hingga tidak memungkinkan bagi tim SAR menemukan jasad mereka sehingga, tidak memungkinkan untuk melaksanakan pemakaman seperti biasanya.

Sejak itu, Maura harus merasakan kehilangan cinta pertamanya, kehilangan sosok yang selalu ada dan selalu membelanya. Maura kehilangan ayahnya untuk selamanya.

***

CEKLEK...

Maura menolehkan kepalanya saat mendengar pintu ruang dokter terbuka. Lalu muncullah dokter Prima yang sedang membawa beberapa berkas.

"Nyo.. Bisa sini bentaran.." Panggil Maura ke dokter Prima. Prima sendiri menanggapinya dengan menaikkan alisnya. Dengan penasaran, Prima lantas meletakkan berkas-berkas yang sebenarnya akan dia kerjakan, dan berjalan mendekati meja Maura.

"Nyo, Pinjem punggungmu bentar... "

Prima semakin bingung dengan perkataan Maura. Tapi dia mengikutinya saja. Prima lalu membalikkan badannya dan tiba-tiba saja Maura memeluknya dan tumpah sudah air matanya. Di sini Prima baru tahu jika Maura sedang membutuhkan sandaran. Prima membiarkan saja punggungnya menjadi basah oleh air mata Maura.

Setelah agak tenang dan Maura melepaskan pelukannya, Prima membawa Maura kembali ke kursinya. Dia mengambil beberapa tissue dan menyodorkannya ke Maura.

"Need a little talk? Maybe? Hm..." Prima menawarkan waktunya. Barangkali saja Maura butuh teman berbicara atau butuh mencurahkan apa yang ada di pikirannya.

"Kangen sama ayah.Tadi tiba-tiba saja keinget waktu pesawatnya ayah dinyatakan hilang kontak dan akhirnya semua penumpang dan kru pesawat dinyatakan meninggal.."

"Ya udah, sekarang mending dibawa doa aja. Doain ayah biar dapat tempat yang paling baik." Prima dengan bijak mencoba menenangkan Maura yang masih terisak.

"Aku cengeng banget ya? Keinget gini doang langsung nangis.." Masih dengan sedikit terisak dan menyeka air mata dengan tissue.

"Wajar.. Setiap orang pasti punya titik dimana dia akan kangen sama orang yang udah berarti di hidupnya"

Sebenarnya, hal seperti ini yang paling ditakutkan oleh Maura saat dia bertemu kembali dengan Farel. Pasti setelahnya otaknya akan memutar kembali kenangan-kenangan masa lalu. Jika boleh dia memohon pada Tuhan, dia ingin tidak pernah bertemu lagi dengan Farel, tapi nampaknya Tuhan kembali mempertemukan mereka karena masih ada hal yang belum mereka diselesaikan.

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang