Part 3

1.8K 127 0
                                    

Sudah tujuh hari Farel habiskan di rumah sakit ini karena kecelakaan yang dia alami. Hari pertama harus dilaluinya di ruang operasi. Malam itu, dia harus menjalani operasi cito dan besoknya dia harus berada di ruang pulih sadar dan ruang ICU. Hari ketiga hingga hari ini, Farel masih harus menghabiskan terapinya di ruang rawat inapnya. Kecelakaan tunggal yang dia alami karena menyetir dalam kondisi kelelahan, mengakibatkan tulang kaki kanannya retak.

Sore hari. Farel sendiri saja di ruang rawat inap bertipe kelas utama itu. Pagi hingga siang tadi dia masih ditemani oleh Vera, ibunya. Namun biasanya menjelang sore, Vera akan pulang kembali ke rumahnya. Farel sendiri adalah anak bungsu di keluarganya. Kedua kakak lelakinya sudah menikah semua. Darren dan Ernando, kedua kakak Farel sudah menikah dan sekarang tinggal bersama dengan keluarganya masing-masing di luar kota. Daren tinggal di Jogja, sedangkan Ernando tinggal di Manado.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Farel sudah bosan di rumah sakit. Tapi kondisi kesehatannya belum seratus persen sembuh memaksanya untuk tetap bertahan. Apalagi sekarang kaki kanannya terbalut dengan gips dan akan terasa sangat sakit jika digerakkan. Luka bekas operasi memang sudah mulai mengering tapi masih ada rasa nyeri dan kaku saat dia menggunakan kakinya untuk beraktivitas.

Menjelang malam, kondisi ruang rawat inapnya sedikit ramai karena ada Billy, temannya yang datang menjenguknya. Malam itu, Bily tidak sendirian, dia ditemani Salsa, istrinya. Mereka sudah berteman sejak mereka masih bersekolah.

"Woi bro.. Gimana lu hari ini? It looks better a lot" Billy memang bukan pertama kalinya datang ke rumah sakit dan menjenguk Farel. Billy dan Salsa lantas meletakkan satu parcel buah dan beberapa makanan ringan. Farel hanya tersenyum waktu melihat kedua temannya itu. Dia sungguh beruntung memiliki teman yang masih mau menjenguknya. Dia tahu, di usianya sekarang ini pasti usia yang sangat produktif dan pasti teman-temannya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

"Thanks ya udah dateng lagi. Gue kayaknya banyak ngerepotin kalian ya?" Farel cukup senang dengan kedatangan Billy. Setidaknya dia tidak merasa sendiri di ruang rawat inapnya.

"Udah, nyantai aja. Kayak sama siapa aja sih lu" Billy yang awalnya berdiri di dekat brankar Farel, dia lantas bergeser ke arah lemari es yang ada ruang rawat inap. Namun saat dibuka, lemari es-nya malah kosong.

"Wah.. Parah lu.. Kulkas kosong gini kagak diisi. Gue haus nih! Parkiran jauh lagi." Tentu saja Billy bercanda mengatakan itu semua. Dia tentu tahu kondisi Farel tidak memungkinkan untuk membeli minuman.

"Mas, kamu ini... Bilang aja kalau haus. Udah aku turun dulu ke kafetaria bawah. Mau minum apa? Sekalian kamu, Rel? Mau apaan? Mumpung ke bawah nih" Salsa langsung paham maksud dari suaminya yang mungkin saja kehausan. Dia langsung saja turun ke bawah, meninggalkan suami dan teman sedari mereka masih bersekolah.

Billy kembali berjalan mendekat ke arah brankar Farel.

"Lu sebenarnya kenapa sih Rel? Kayak ada yang lu pikirin gitu? Kayak ada sesuatu yang nge-ganjel dan pengen lu omongin tapi enggak bisa?" Berteman sekian lama, setidaknya membuat Billy paham bagaimana Farel. Mata farel sangat terlihat jika dia memendam sesuatu.

"Keliatan banget ya?" Pertanyaan retoris keluar dari Farel dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Billy langsung menjawab dengan anggukan.

"Lu masih ingat sama Maura? Cewek yang waktu kita SMA dulu....."

"Jangan bilang kalau yang lu maksud itu Maura, cewek yang dulu jadi mainan kita?" Billy langsung membelalakkan matanya saat dia mendengar satu nama yang disebutkan Farel.

"Gue masih setengah sadar waktu dibawa ke sini sama Jerry, temen kantor gue. Waktu dibawa gue emang merem, tapi pendengaran gue masih sangat normal waktu itu. Trus, waktu itu gue denger kalau dokter yang nerima gue waktu itu namanya dokter Maura. Cuman, waktu gue lihat catatan tindakan dokter, yang nanganin gue namanya dokter Feinya."

Farel menjelaskan semuanya yang mengganjal di pikirannya pada Billy. Matanya sekarang menatap langit-langit kamar dan terlihat seperti menerawang jauh.

"Lu yakin gak lagi salah denger atau gimana?" Farel langsung menggeleng tegas. Dia lantas menolehkan wajahnya ke Billy.

"Kayak yang gue bilang, gue masih sadar waktu itu. Tapi emang gue merem."

"Just let say kalau emang itu beneran dia, trus lu mau gimana? Lu mau nemuin dia lagi? Setelah semuanya, gue gak yakin kalau dia masih mau ketemu sama kita"

Obrolan keduanya terhenti saat pintu terbuka. Ternyata dokter Bimo yang masuk untuk pemeriksaan rutin. Melihat itu, Billy memilih kembali ke sofa dan menunggu pemeriksaan dari dokter selesai.

"Luka bekas operasinya udah membaik, mungkin lusa kita jadwalkan untuk mengambil jahitannya. Setelah itu, kita akan jadwalkan terapi untuk pemulihan lanjutan. Setelah ini saya buatkan pengantar ke rehabilitasi medik ya pak..." Farel hanya mengangguk saja mendengar penjelasan dari dokter Bimo.

Saat dokter Bimo sudah menyelesaikan pemeriksaan rutin dan memastikan memang tidak ada yang salah dengan Farel, lantas Farel bertanya

"Dok, maaf mau nanya, tapi di luar kondisi kaki saya sih" Dokter Bimo langsung menolehkan pandangannya dan membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum ringan.

"Hm.. Apa di sini ada yang dokter yang bernama Maura, dok?"

"Apa yang dimaksud dokter Maura Kusumawati?" Kening dokter Bimo sedikit berkerut saat mendengar pertanyaan dari Farel.

Mendengar nama lengkap dari Maura disebut, Farel semakin yakin jika memang itu adalah Maura yang sama dengan Maura yang dulu pernah dia kenal di sekolah.

"Oh, dokter Maura memang salah satu dokter di rumah sakit ini. Beliau itu dokter spesialis forensik. Kenal ya dengan dokter Maura?" Akhirnya penjelasan dari dokter Bimo sedikit memberikan kelegaan bagi Farel.

"Hanya ingin memastikan dok. Soalnya dulu saya juga punya temen yang namanya sama. Tapi selesai SMA trus hilang kontak. Kemarin, waktu pertama kali masuk rumah sakit ini, sempet kedengeran ada yang nyebut dokter Maura. Cuman, waktu itu kan kondisi saya pas lagi buruk, jadi gak bisa pastiin itu beneran temen saya waktu sekolah dulu apa enggak"

Obrolan dokter dan pasien itu juga terdengar Billy dan Salsa yang sudah kembali dari kafetaria rumah sakit. Mendengar nama Maura disebut, langsung saja matanya menatap tajam suaminya seolah meminta penjelasan. Dengan isyarat tangannya, Billy mengatakan jika dia akan menjelaskannya nanti.

Perasaan Farel bukannya lebih baik, namun menjadi semakin kacau. Dia ingin sekali bertemu dengan Maura, tapi juga bingung jika dia akan bertemu dengan Maura. Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan dia lakukan? Apakah Maura mau menerima penjelasan darinya tentang apa yang terjadi di masa lalu mereka? Jauh di dasar hatinya, Farel sangat yakin jika dokter Maura itu adalah orang yang sama dengan Maura yang dia kenal semasa sekolah dulu. 

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang