Part 34

531 37 0
                                    

Selepas mendengar apa yang dikatakan Davin saat syukuran ulang tahunya, Maura yang awalnya sudah cukup nyaman dengan hubungan pertemanannya dengan Farel dan Farhan menjadi berpikir ulang. Dia sendiri sebenarnya juga merasa bahwa dia harus memutuskan siapa yang harus dia pilih, Farel atau Farhan atau tidak keduanya dan memang hanya berteman saja dengan mereka.

Tidak seperti biasanya, hari libur ini Maura masih ada di tempat tidurnya. Dari jendela kamarnya dia bisa melihat pemandangan kota dari ketinggian lantai apartemennya. Pandangannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Dian yang melihat perubahan Maura, lantas mencoba mendekati anaknya itu, mengelus perlahan rambut Maura yang memanjang.

"Bun..." Maura yang kaget langsung menolehkan kepalanya saat dia merasakan elusan di rambutnya. Setalah tahu Dian berada yang berada di sampingnya, langsung saja dia menyandarkan kepalanya di pundak Dian.

"Anaknya bunda ini kenapa lagi? Biasanya kalau libur gini udah anteng depan tivi sambil ngemil cookies."

"Lagi pusing bun. Bingung." Sejujurnya saja Maura merasa bingung harus bercerita seperti apa ke Dian.

"Pasti bingung urusan hati kan?" Tebak Dian sambil menunjukkan senyum dan jari telunjuknya mengarah ke dada Maura.

Helaan nafas panjang terdengar dari Maura. Dia sekarang merubah posisinya dari duduk dan bersandar pada Dian menjadi tidur di pangkuan Dian. Setelah berpikir sejenak akhirnya Maura menceritakan semuanya. Tentang keputusannya untuk menggantungkan hubungannya dengan Farhan dan Farel dengan tidak memilih salah satu dari mereka, dan juga soal cerita Davin tadi malam.

Dian hanya tersenyum sekilas saja mendengar semua cerita dari Maura. Dengan tangan yang masih mengelus rambut anaknya, Dian lalu berucap

"Lepas dari mau percaya atau enggak soal Davin yang kamu bilang indigo itu, ya apa yang dia bilang bener kok. Gak ada alasan buat kita untuk gak bahagia kan? Kita emang kehilangan ayah kamu, tapi kan hidup terus berjalan. Kita bahagia itu bukan berarti kita ngelupain ayah kamu kan? Trus soal kamu yang harus milih, itu juga bener. Mau sampe kapan kamu buat Farel sama Farhan nungguin kamu?"

"Tapi Ara bingung mau gimana bun. Bingung mau pilih siapa. Mau pilih Farel yang udah Ara kenal sejak lama tapi dia juga udah bikin Ara sakit hati. Dia juga keliatan nyesel banget soal yang sekolah dulu. Mau pilih Farhan, tapi Ara juga takut. Ara gak gitu tahu dia kayak gimana. Enag sih, semua keluarganya Ara udah kenal dan mereka baik-baik sama Ara. Tapi kan tetep aja Ara gak tahu sifat sebenernya Farhan kayak gimana. Bisa aja kan dia pura-pura baik biar dapetin Ara?"

"Tapi kamu tetep harus milih salah satu diantara mereka atau enggak masa sekali. Kamu gak bisa egois dengan ngebiarin mereka dalam posisi kayak sekarang ini. Kamu gak bisa egois kayak gini sih, Ra. Apa kamu gak mikirin perasaan mereka juga?"

Maura sedikit kaget dengan ucapan Dian. Apa benar dia sudah berlaku egois dengan menggantungkan keputusannya? Jika dia seperti itu, sama saja dia sudah berlaku jahat dengan Farel dan Farhan.

"Dengerin bunda ya nak, bunda takutnya tuh kamu kelamaan ambil keputusan trus, mereka juga udah lelah nungguin kamu dan akhirnya mereka punya pilihan lain dan itu bukan kamu, dan saat itu kamu baru sadar kalau kamu gak mau kehilangan mereka. Itu yang bunda takutkan, nak."

Ucapan demi ucapan dari Dian semakin membuat Maura menjadi serba salah. Seolah baru sekarang dia terbuka betapa selama ini dia juga sudah membuat Farel dan Farhan dalam ketidakpastian.

"Trus Ara harus milih siapa bun?" Kembali, pertanyaan retoris itu keluar dari mulut Maura.

Dian lalu mengangkat Maura untuk duduk dan sekarang dia duduk berhadapan dengannya. Dia sendiri sebenarnya sudah sangat gemas dengan Maura yang sejak bertemu dengan Farel dan kemudian juga berinteraksi dengan Farhan menjadi seperti lamban untuk berpikir dan menentukan sikapnya sendiri. Sangat berbeda dengan Maura yang biasanya sangat tegas dan lugas dalam bersikap.

"Dengerin bunda ya, sebenarnya kita milih mana pasangan kita, trus kita mutusin buat menikah dengan pasangan yang kita pilih itu seperti kita berjudi dengan pilihan kita. Gak ada jaminan orang yang keliatan baik emang beneran baik, atau sebaliknya. Gak ada jaminan juga kalau dia yang awalnya baik, trus abis nikah masih tetep baik juga."

Semua ucapan-ucapan Dian semakin membuat Maura bertambah bingung. Dia tahu jika dia memang harus secepatnya mengambil keputusan, tapi masalahnya, siapa yang dia pilih, bahkan sampai sekarang dia masih tidak bisa memastikan. Hatinya masih saja terus dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran yang mungkin itu semua dia ciptakan sendiri karena ketakutan dan trauma masa lalu.

"Hati kamu yang paling dalam sebenarnya udah tahu dan udah bisa jawab semuanya itu. Bunda yakin itu, nak. Hanya, otak dan logika kamu yang membuat semuanya menjadi abu-abu lagi. Yang awalnya yakin jadi ragu kembali"

"Hm... Kalau itu sih, sebenarnya sejak awal Ara cenderungnya tuh suka sama Farhan. Bunda tahu kan gimana Ara sama Farel dulu. Ara gak mau disakitin lagi sama dia, bun. Cuman nih bun, Ara juga sejujurnya seneng waktu Farel ngirim bunga, yaa.. walaupun bunganya mesti diambil sama sinyo sih bun. Farhan kan lempeng-lempeng aja bun."

Senyum lalu terbit di bibir Dian. Setidaknya, Maura sudah tahu dan sudah bisa mengungkapkan kepada siapa hatinya berpihak. Hatinya sedikit lega, dan sekarang tugasnya untuk menggiring Maura agar dia bisa menentukan pilihannya.

"Kalau gitu ya udah, tinggal bilang aja kan ke orangnya. Kamu juga udah tahu kan jawabannya."

"Jadi Ara milihnya Farhan bun? Gitu?" Pertanyaan yang cukup konyol keluar dari maura dan itu membuat Dian langsung menggelengkan kepalanya.

"Lho yang mau nikah itu kamu lho. Bukan bunda. Kok nanya ke bunda? Baik buruknya kan nanti kamu sendiri yang akan menjalaninya. Bukan bunda kan?"

Sebenarnya juga, Maura lebih memilih Farhan lebih karena Farhan yang bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak perawan lagi. Hal itu yang membuatnya sedikit tenang, karena dalam ada ketakutan sendiri pada Maura jika nanti suaminya tahu jika dia tidak lagi perawan, maka suaminya akan berpikir bahwa dia bukanlah wanita baik-baik atau dia adalah wanita yang dengan mudah memberikan hal yang berharga pada orang lain yang bukan suaminya. 

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang