Part 29

502 39 0
                                    

Maura benar-benar mengikuti saran dari Prima. Selang dua hari dari mereka mengobrol, Maura langsung menghadap HRD rumah sakit dan mengajukan cuti tahunan. Untungnya, Prima, rekan kerjanya bersedia untuk mem-back up semua tugas dan pekerjaan dari Maura sehingga manajeman rumah sakit juga lebih mudah memberikan ijin cuti untuk Maura.

Sekarang, Maura bersama Dian, sang ibunda. Maura memanfaatkan kesempatan ini juga untuk berlibur bersama dengan ibundanya. Sudah lama sekali mereka tidak pergi berlibur hingga akhirnya datang kesempatan ini. Mereka memilih menikmati eksotisnya pantai di Manado dan berwisata kuliner yang lebih banyak didominasi makanan laut.

"Kamu itu tumben lho Ra ngajakin bunda sampe jauh-jauh ke sini." Dian membuka pembicaraan diantara mereka berdua. Sebenarnya, Dian sudah curiga jika ada sesuatu dengan Maura, tapi dia tidak berani untuk mengatakannya.

"Gak apa-apa sih bun. Kan kita udah lama banget gak pergi berdua bareng kayak gini. Terakhir kayaknya pas libur lebaran dua tahun lalu yang kita ke Lombok, kan? Abis itu gak pernah deh kita liburan lagi kan?"

"Iya, bener. Cuman yang ini tuh kayaknya ada yang kamu sembunyiin. Kalau emang kamu mau ngajak bunda jalan-jalan, gak dadakan gini juga kan? Untung bunda lagi gak ada acara. Kalau udah ada acara, bisa-bisa kamu berangkatnya sendirian"

Maura yang awalnya menatap laut di sore hari, langsung memejamkan matanya. Dia tahu kalau dia tidak bisa mengelak lagi apalagi menghindar dari Dian. Dia akhirnya mengangguk lemah, menjawab pertanyaan dari Dian.

Melihat itu, Dian lantas menggeser duduknya lalu membelai punggung Maura dengan pelan. Semenjak kematian ayahnya dan bagaimana ceritanya dengan Farel, Maura menjadi pribadi yang sedikit tertutup dan memilih untuk tidak mau bersosialisasi. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dia mengambil bidang kedokteran forensik.

"Kalau kamu emang udah siap buat cerita ke bunda, cerita aja. Tapi kalau kamu belum siap, gak apa-apa. Senyamannya kamu aja" Dian memilih untuk tidak memaksa Maura untuk menceritakan apa yang terjadi. Dia lebih menjaga perasaan dari Maura.

"Ini soal Farel dan Farhan bunda. Mereka ternyata saling kenal. Satu tempat kerjaan juga. Bahkan waktu Ara ke sana, mereka tuh keliatan banget akrab." Maura menjeda sejenak penjelasannya. Dian hanya mendengarkan saja. Menurutnya, putri semata wayangnya itu hanya butuh menceritakan semua dan butuh ada orang yang mendengarkannya.

"Trus, Farhan itu juga ternyata pemilik perusahaan tempat Farel kerja. Ara tuh kecewa sama mereka bun. Ngapain juga mereka nyembunyiin semuanya itu dari Ara? Apa mereka mau mainin Ara lagi kayak dulu Farel dan Billy mainin Ara? Ara takut bun...."

Di sini akhirnya Dian paham kalau putrinya ini masih belum bisa benar-benar lepas dari cerita masa lalunya. Sakit di masa lalunya karena perlakuan dari Farel masih membekas hingga saat sekarang.

"Kamu nanya nggak ke Farhan atau Farel soal ini waktu kalian ketemu itu?" Pertanyaan itu lalu dijawab dengan anggukan pelan dari Maura.

"Trus, gimana penjelasan mereka?"

"Ya mereka bilangnya kalau mereka emang satu tempat kerja tapi itu gak sengaja. Mereka satu tempat kerja setelah ketemuan sama Ara dulu."

"Trus, kalau yang soal Farhan ternyata pemilik perusahaan gimana? Apa penjelasannya?"

"Dia sih bilangnya kalau dia pengen Ara ngelihat apa adanya dia aja. Tapi kan itu sama aja dia ngetes Ara apa Ara itu orang matre apa enggak kan bun?"

Dian tersenyum mengerti sekarang tentang apa yang dirasakan oleh putrinya itu. Dia lantas membelai pipi Maura dan lalu mengarahkannya kepadanya. Membuat mereka saling berhadapan secara langsung.

"Gini, ini kalau menurut bunda lho ya. Bukan masalah kan kalau ternyata mereka itu satu kerjaan? Apanya yang salah kalau emang mereka satu kerjaan? Trus kalau soal mereka yang gak cerita ke kamu soal mereka yang satu kerjaan, inget, kalau kamu tuh bukan siapa-siapanya Farhan atau Farel lho. Kamu kan udah nolak Farel pas dia ngajakin kamu balikan trus kamu juga belum bilang iya kan ke Farhan waktu dia nembak kamu kan?"

Kening maura berkerut dan mencoba mencerna perkataan dari Dian. Dia akan membuka suara namun Dian lebih dulu bersuara

"Jadi kalau mereka itu bukan siapa-siapa buat kamu, ya mereka berdua gak ada kewajiban buat cerita ke kamu. Wong yang udah nikah aja kadang kita harus bisa jaga omongan kok. Kita harus milih mana yang bisa kita ceritain ke suami mana yang enggak"

Dian yang melihat Maura semakin bingung malah tersenyum lalu kembali berucap

"Misal nih, kamu udah nikah, trus kamu udah capek ngurus kerjaan rumah dari pagi sampe siang. Trus pas suami kamu balik, apa iya kamu akan bilang kalau kamu capek ngurus rumah? Kan enggak kan? Kamu tetep harus senyum waktu suami kamu dateng kerja"

Mereka berdua melanjutkan obrolan mereka. Banyak hal yang didapat Maura dari Dian. Mereka mengobrol bahkan hingga hampir menjelang malam hari. Angin pantai malam hari yang cukup dingin nyatanya tidak membuat mereka berdua kembali ke kamar hotel. Satu hal yang Maura dapat dari obrolannya dengan Dian, jika dia harus bisa melihat bukan hanya dari sisinya saja tapi mencoba melihat dari sisi Farel atau Farhan.

"Bun, kalau bunda jadi Ara, bunda bakalan milih siapa? Farel atau Farhan?"

***

Bukan hanya Maura seorang yang galau. Farhan dan Farel juga merasakan hal yang sama. Jauh dari Maura membuat mereka seperti dua anak kecil yang sering bertengkar untuk satu sebab yang tidak jelas. Harusnya saat ini mereka meeting dengan beberapa supplier bahan baku untuk pabrik, namun yang ada malah mereka seperti anak kecil yang berebutan ingin keluar dulu dari ruangan. Kazuo yang juga ikut dalam meeting kali itu hanya bisa menghela nafas dan menepuk jidatnya sendiri melihat kelakuan adiknya itu.

"Lu ngapain sih ngikut-ngikut gue keluar? Tuh ada abang lu tercinta lagi mimpin meeting, lu malah keluar!" Farel yang kesal dengan Farhan langsung saja mengomel setelah mereka berada di luar ruangan meeting.

"Suka-suka gue lah. Perusahaan milik gue ini! Ngapain lu ngatur-ngatur gue?" Farhan tentu saja sewot karena dia merasa langkahnya dihalangi oleh Farel.

"Minggir! Gue buru-buru mau ke bandara!" Ujar Farel lagi. Mendengar itu, Farhan lantas menarik pundak Farel bahkan hingga hampir terjungkang.

"Jangan bilang kalau lu mau ke Manado?" Farel langsung menatap tajam Farhan saat mengatakan demikian. Keduanya lantas saling melemparkan tatapan tajam, seolah sudah saling membaca pikiran masing-masing. Selang beberapa waktu kemudian, keduanya malah kembali berebut dengan berlarian di sepanjang koridor kantor. Tentu saja tingkah keduanya itu menjadi tontonan gratisan untuk semua karyawan.

Kazuo yang masih bisa melihat itu semua dari ruang meeting hanya bisa memegang keningnya yang tiba-tiba terasa pening saat melihat kelakuan adik dan karyawannya itu. Dia tidak lagi bisa fokus dengan meeting kali ini saat melihat kelakuan dari adiknya sendiri.


Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang