Sesudah menikah, Farhan sekarang tinggal di apartemen yang dulunya dihuni Maura dan Dian. Namun, hanya sementara saja karena Kazuo sudah membangunkan satu unit rumah untuk Farhan dan Maura. Letak rumah baru untuk Farhan dan Maura masih satu kompleks dengan rumah yang sekarang ditinggali Marsih, sehingga Farhan tidak perlu jauh lagi dari Marsih. Bagaimanapun, Farhan masih harus menjaga Marsih meskipun masih ada Seno yang sekarang tinggal dengan Marsih.
Sore ini dihabiskan Farhan dan Maura di apartemen saja. Mereka sekarang santai sambil menonton tivi. Hanya ada mereka berdua di apartemen karena Dian sedang berada di rumah saudaranya karena tidak mau sendirian di apartemen.
Maura duduk bersandar di dada Farhan sambil terus memakan cookies bahkan sudah hampir tiga toples cookies sudah berpindah ke perut Maura. Farhan yang baru tahu kebiasaan Maura ini tentu saja heran, bagaimana mungkin Maura yang mempunyai hobi makan cookies tetap mempunyai tubuh yang proporsional.
Pandangan Farhan dan Maura langsung beradu saat televisi yang mereka tonton memotong acara yang disiarkan. Acara berubah menjadi breaking news yang memberitakan bahwa pesawat yang menuju ke Labuan Bajo mengalami hilang kontak. Maura langsung merasa de javu dengan berita yang menayangkan tentang pesawat yang hilang kontak. Pikiran buruk langsung saja menguasai otak Maura.
"Mas, itu bukannya pesawat yang tadi mau dinaiki sama Farel? Dia tadi bilangnya mau ke Labuan Bajo kan?"
Farhan yang mendapat pertanyaan itu sebenarnya juga mempunyai pertanyaan yang sama. Dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Maura.
"Tenang dulu, mas coba telpon Farel dulu ya. Belum tentu juga Farel ambil flight itu kan? Kamu yang tenang ya. Jangan panik dulu." Farhan masih berusaha berpikir tenang dan sekaligus menenangkan Maura yang terlihat seperti panik.
Beberapa kali mencoba tapi ponsel Farel tidak aktif.
"Telponnya gak bisa dihubungin. Mas chat juga cuman centang satu doang. Gak kekirim" Jawaban Farhan justru membuat Maura semakin panik. Itu sangat terlihat dari wajahnya yang tidak lagi santai seperti tadi.
Maura bahkan sekarang menegakkan duduknya. Walaupun Farel sudah menorehkan luka yang cukup dalam untuk Maura, tapi dalam beberapa bulan terakhirnya, jujur saja kalau dia merasa nyaman dengan adanya Farel di sekitarnya. Bagaimana Farel yang setiap hari berusaha untuk meminta maaf darinya, bagaimana Farel yang selalu menjemputnya dan bagaimana Farel yang mencoba untuk bersikap romantis sekarang seperti terputar seperti kaset kusut di kepalanya. Ada satu hal yang membuat Maura menyesal adalah dia masih belum bisa memaafkan Farel dengan sepenuhnya.
"Kita ke rumahnya aja gimana? Paling enggak kan orang rumah pasti tahu kan dia dimana? Sekarang masih jam tujuh malam. Belum terlalu malam juga kan?" Tawar Farhan dan langsung saja diangguki Maura. Dia langsung berdiri dan menarik tangan Farhan pelan, tanda supaya segera bergegas.
Perlu waktu setidaknya tiga perempat jam untuk sampai ke rumah Farel. Dan betapa terkejutnya mereka berdua saat tiba di rumah Farel ternyata Farel masih hidup. Bahkan Farel sendiri yang membukakan pintu rumahnya untuk Farhan dan Maura.
"Rel, lu kok masih hidup?" Bahkan Farhan tidak bisa menahan kagetnya sampai dia berteriak saat Farel tepat berdiri di depannya
"LU! KALAU LU KE SINI CUMAN BIKIN RIBUT, MENDING LU PULANG SONO! Dateng-dateng gak bawa makanan malah bawa ribut aja lu!" Jari telunjuk Farel menunjuk tepat di depan wajah Farhan. Farel langsung membalikkan badan Farhan dan mendorongnya untuk keluar dari rumahnya.
"Woiii.. Bentaran napa! Gue ke sini buat nanyain keadaan lu! Lu bukannya naek pesawat yang hilang kontak itu?" Farhan masih berusaha menjelaskan maksud kedatangannya sambil dia mencoba menahan dorongan dari Farel.
"Oh, lu maunya gue ikut naek pesawat itu trus kecelakaan gitu? Lu jadi orang jahat banget dah!"
"Bukan gitu maksud gue, monyong!"
Sontak saja keributan yang selalu terjadi kalau Farhan dan Farel bertemu mengundang kedua orang tua Farel, Rahmat dan Vera. Bahkan mereka harus melerai keduanya agar tidak ribut di ruang tamu.
Ketiganya kini berada di beranda belakang rumah. Rahmat yang menggiring mereka ke beranda belakang karena akan mengundang keamanan perumahan jika mereka dibiarkan ribut di depan rumah.
"Sekarang lu ceritain deh, gimana lu bisa lolos dari pesawat itu? Bukannya itu pesawat yang mau lu naikin?"
"Ya gara-gara ngobrol sama kalian itu, gue jadi selamat dari pesawat yang sekarang kabarnya hilang kontak itu." Farel membuka ceritanya.
"Hah? Gara-gara ngobrol sama kita? Gimana bisa?" Seperti biasanya, Farhan langsung saja berkomentar sebelum Farel menyelesaikan ceritanya.
"Ceritanya tadi tuh gue salah terminal. Flight gue harusnya kan dari terminal satu, kita tadi kan ketemuan di terminal dua. Trus habis kita ngobrol tadi, gue baru sadar kalau gue salah terminal. Gue nyoba ngejar sih ke terminal satu, cuman kan lu tahu sendiri bandara ramenya kayak pasar malam gitu. Gak bisa cepetlah gue ke terminal satu. Trus, nyampe di sana, check in udah ditutup. Ya udah, jadilah gue gak bisa terbang ke Labuan Bajo. Gitu ceritanya."
"Kalau gitu ceritanya, lu harus terima kasih tuh sama kita! Kalau enggak kita ajakin ngobrol kayaknya lu gak bakalan ada di sini dah malam ini" Farhan berucap dengan sedikit nada sombong.
"Iyee.. Gue terima kasih dah sama kalian yang udah ngajak gue ngobrol sampe gue sendiri salah ambil terminal keberangkatan" Ucap Farel dengan tulus. Dari hatinya dia setuju, kalau secara tidak langsung Farhan dan Maura adalah orang yang membuatnya gagal naik ke pesawat dan itu justru menyelamatkannya.
Farhan dan Maura yang mendengar itu hanya bisa menganggukan kepalanya saja. Setidaknya sekarang mereka sudah lega. Farel yang sudah menjadi teman dan mungkin juga sahabat tanpa mereka sendiri sadari.
Melihat situasi sudah tenang. Farel dan Farhan sudah tidak lagi bertengkar seperti biasanya, bahkan keduanya sedang santai ngemil pisang goreng yang tadi dibuat dadakan.
"Rel, mungkin ini saatnya buat aku ngomong sama kamu" semua perhatian dari Farel dan Farhan langsung tertuju ke Maura. Sedari tadi dia memang diam saja, dan sekarang tiba-tiba saja dia mengeluarkan suaranya.
"Rel, ini waktunya kamu buat nyari kebahagiaanmu sendiri. Jangan pikirin aku lagi. Aku udah bahagia dengan Farhan. Kamu juga harus bahagia ya. Dan aku udah maafin semua yang terjadi di masa lalu kita ya"
Farel yang awalnya santai saja menikmati pisang goreng langsung mengalihkan perhatiannya ke Maura. Dilihatnya Maura tersenyum tulus. Beberapa waktu kemudian seolah ada kelegaan luar biasa di hati Farel saat Maura mengatakan jika dia sudah memaafkannya.
"Makasih Ra. Makasih. Aku janji aku akan mencari kebahagiaanku. Terima kasih udah mau maafin semua kebejatanku"
PLAK
"LU! Ngapain liat istri gue kayak gitu?"
"EH, Kampret lu maen getok kepala aja! Ngajak gelut lu? Ayok dah sini gua jabanin lu!"
Dan mulailah kembali adegan keributan diantara Farhan dan Farel pun dimulai kembali. Maura yang melihat itu semuanya hanya diam saja sambil menyunggingkan senyumnya. Entahlah mulai kapan dia malah menikmati pertengkaran antara suaminya dan Farel yang biasanya dipicu hal-hal yang sepele. Tingkah mereka yang seperti anak kecil justru menjadi hiburan baginya.
"Boys will be boys" ucap Maura dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomansaMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...