Farel menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Dia sudah kembali aktif di kantornya. Mobilitasnya masih belum pulih sepenuhnya, tapi karena pekerjaan yang semakin menumpuk, dia memutuskan untuk kembali ke kantor. Semakin lama dia menunda masuk ke kantor, akan semakin menumpuk beban pekerjaannya.
Ruang kerja Farel terletak di lantai 27 dan memiliki kaca yang sangat lebar sehingga bisa menunjukkan pemandangan kota di hadapannya. Sudah setengah jam Farel memandang keramaian kota dari ruang kerjanya. Tatapannya kosong dan tidak berfokus. Setiap beberapa menit sekali dia melihat ponsel yang ada di depannya. Tatapannya kembali kosong ketika dilihatnya tidak ada notifikasi apapun di ponselnya. Sisi logikanya sebenarnya mengatakan jika dia harus menelponnya, tapi hatinya masih belum siap hanya untuk sekedar menelpon.
Sore kemarin, setelah dia kembali kehilangan Maura, Farel langsung mencoba mencari nomer kontak Maura. Setelah mendapatkan nomer kontak, dia langsung menghubunginya saat itu juga. Beberapa pesan dan panggilan telpon, namun semuanya tidak mendapatkan respon dari Maura. Awalnya, Farel masih berpikiran positif. Mungkin saja Maura lelah atau dia langsung istirahat setelah seharian bekerja di rumah sakit, tetapi setelah berganti hari dan masih belum ada respon apapun dari Maura, pikiran-pikiran negatif kembali muncul di otaknya. Mungkin Maura sudah menutup pintu untuknya. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuknya.
Waktu berjalan dan sekarang sudah saatnya jam pulang kerja. Farel segera membereskan semua berkas-berkas yang ada di mejanya. Ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, tapi Farel lebih memilih membawa pulang pekerjaannya. Farel melirik poselnya yang sedari tadi dia abaikan setelah dia menyerah menunggu respon Maura.
Mata Farel langsung membola saat membaca pesan singkat yang dikirmkan Maura. Bibir tipisnya melengkung ke atas. Maura menerima tawarannya untuk bertemu sore ini. Farel langsung saja bergegas membereskan semuanya. Dia tidak ingin lagi terlambat untuk menemui Maura. Kali ini dia harus bisa bertemu dengan Maura dan setidaknya bisa berkomunikasi kembali dengan Maura. Soal permintaan maafnya, akan dia lakukan nanti jika setidaknya bisa berkomunikasi dengan enak.
Farel langsung memarkirkan mobilnya di depan halte tempat biasa Maura mendapatkan taksi. Dia tidak perduli dengan teriakan dari sopir taksi yang merasa Farel mengambil tempat biasa menunggu penumpang.
Tiga puluh menit kemudian, dari kaca spion, Farel melihat Maura yang keluar dari rumah sakit dan berjalan santai ke arah taksi yang sedang mangkal. Farel langsung membuka pintunya dan setengah berteriak, dia lantas memanggil Maura
"ARA... "
"Ara..." Farel menurunkan suaranya setelah Maura menoleh kepadanya. Dia lantas tersenyum dan membukakan pintu depan mobilnya. Maura yang melihat itu semua lantas tersenyum kecil. Dia lantas melangkah ringan ke arah mobil Farel.
"Aku pikir kamu bercanda waktu bilang kalau mau jemput aku?" Ucap Maura sekedar untuk basa-basi. Cara bicaranya yang santai dan hangat membuat hati Farel sedikit berbunga. Mungkin tidak akan susah untuk kembali bersama dengan Maura.
"Oh ya, kaki kamu gimana, Rel? Udah baikan, kan?" Tanya Maura untuk sekedar memecah keheningan di mobil. Untuk beberapa waktu, memang mereka hanya saling diam.
"Eh.. Hm.. Baik.. Udah jauh lebih baik. Ini buktinya udah boleh sama dokter Bimo buat nyetir kok." Farel sedikit gugup mendengar pertanyaan dari Maura.
"Kamu sendiri gimana, Ra?" Farel balik bertanya ke Maura. Sesekali, dia menoleh ke Maura yang saat itu terlihat cantik di mata Farel.
"Me? Never been better" Balas Maura dengan santai. Senyum lalu melengkung di bibir Maura.
Sejenak Farel dibuat sedikit kaget dengan jawaban Maura. Semenjak mereka lulus SMA, memang sama sekali tidak ada saling menghubungi. Peristiwa di taman sekolah, dimana Farel memutuskan Maura, adalah kali terakhir mereka bertemu. Selama ini, Farel juga tidak berusaha untuk mencari atau menghubungi Maura. Kisah mereka sudah selesai. Demikian prinsip yang dipegang oleh Farel.
"Ini mau langsung balik apartemen atau kita makan dulu nih? Laper kan, pasti di rumah sakit juga belum sempet makan?" Farel mencoba menawarkan makan malam. Dia masih ingin mengobrol lebih lama dengan Maura
"Hm.. kayaknya langsung balik sajalah. Kasihan juga bunda sendirian di apartemen. Lagian konyol juga sih, mau makan aku masih pake baju ginian." Seperti biasanya, Maura memang mengenakan scrub dan ditutup dengan jaket rajutan.
Farel tersenyum saja mendengar penolakan dari Maura. Mungkin saja Maura capek setelah seharian berjaga. Lagipula, dia yakin masih ada besok hari untuk mengajak Maura.
Mobil yang dikendarai oleh Farel terus melaju hingga mereka memasuki kompleks apartemen tempat Maura tinggal.
"Masih tinggal di sini?" Pertanyaan dari Farel hanya dijawab anggukan dari Maura.
"Makasih ya, Rel udah dikasih tumpangan gratisan." Ucap Maura sambil sedikit basa basi. Farel menanggapinya dengan senyum di bibirnya.
"Anytime, Ra.. Oh ya, besok aku jemput lagi gimana?"
"Aku besok sih jatahnya masuk siang, jadi ya malam lho pulangnya. Bisa jam sembilan malam atau lebih."
"Jam sembilan malam sih masih sore juga, Ra. Besok ya aku jemput lagi..." Kembali, Maura hanya mengangguk saja.
"Ok.. Sampai besok ya Ra.. Salam ya buat tante.." Setelah cukup berbasa basi sekedarnya, Akhirnya Farel berpamitan di lobby drop off kompleks apartemen Maura.
Senyum tidak pernah lepas dari bibir Farel. Dia sangat tidak menduga jika respon yang diberikan Maura begitu menyenangkan. Sejujurnya dia sudah membayangkan akan menjumpai Maura dengan wajah yang tertekuk atau dia harus mendengar ucapan-ucapan keras dari Maura. Jika begini keadaannya, tidak akan susah untuk meminta maaf dari Maura dan kemudian merebut hatinya kembali. Sejujurnya, dia sangat terkesan dengan sikap Maura.
Maura mendudukkan dirinya di tempat tidur. Dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin di depannya. Semalaman Maura berbincang dengan Dian. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak lagi menghindari Farel. Dia juga berusaha untuk melepas luka dan kenangan buruk tentang Farel. Mungkin waktu memang sudah mengubah Farel.
Hari ini dia memutuskan untuk menerima tawaran Farel yang menjemputnya. Tidak ada salahnya jika dia menerima tawaran itu. Setidaknya, dia tidak perlu susah untuk mencari taksi untuk kembali ke apartemennya. Sepanjang perjalanan, susah payah Maura membuat senyum dan menekan suaranya.
"Aku memang sudah memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu, udah gak perduli lagi apa yang udah terjadi di masa lalu, dan mungkin memaafkannya, tapi untuk melupakan dan menghapus semuanya dari memori di otakku, sepertinya enggak!"
Maura bergumam sendiri di depan kaca rias di kamarnya. Senyum kembali muncul di bibirnya. Apapun yang akan terjadi setelah ini, harus dia hadapi. Dia bukan lagi Maura yang lemah seperti dulu. Dia harus kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomanceMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...