Walaupun sudah membaik dan keluar dari rumah sakit, Farel masih harus melakukan rawat jalan di rumah sakit. Jadilah hari ini Farel duduk di ruang tunggu pasien rawat jalan. Sengaja dia datang pagi di rumah sakit. Niatnya, setelah selesai dia terapi dan rawat jalan, dia ingin bertemu dengan Maura. Farel sudah tidak lagi menggunakan kruk, namun bukan berarti dia bisa dengan bebas menggunakan kakinya. Farel hanya bisa menggunakan kakinya untuk berdiri atau berjalan kurang dari setengah jam, selanjutnya dia harus beristirahat dulu, lalu bisa menggunakan kembali kakinya. Cukup merepotkan, tapi Farel bersyukur karena dia sudah lepas dari kruk penyangga kakinya.
Hampir tengah hari dan Farel sudah menyelesaikan semua terapi dan pemeriksaannya. Semuanya sesuai dengan yang dia harapkan. Berbekal informasi dari resepsionis, Farel berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit, berusaha mencari ruang instalasi kedokteran forensik. Tekadnya sudah bulat untuk membuka kembali komunikasi dengan Maura. Apapun nanti yang akan terjadi, dia sudah siap. Apapun itu.
Kaki Farel seakan terpaku. Di depannya sekarang, terdapat pintu ruang instalasi kedokteran forensik. Setelah menghela nafas panjang, dia lantas mendorong pintu itu. Seketika aroma formalin memenuhi penciumannya. Sejujurnya, dia tidak merasa nyaman sama sekali berada di ruangan ini. Bahkan, hampir saja dia muntah dan pingsan. Belum lagi matanya menangkap beberapa tubuh yang terbujur kaku dan ditutup dengan kain berwarna putih.
"Ada yang bisa kami bantu pak?" Sapa seorang perawat ramah pada Farel.
"Hm.. Saya lagi cari dokter Maura, apa bisa saya ketemu?" Jawab Farel kemudian.
"Oh, dokter Maura sekarang sedang di ruang autopsi. Mungkin agak lama, soalnya tadi pihak kepolisian juga ngirim orangnya ke sini. Biasanya kalau autopsi sama kepolisian akan lama, soalnya butuh detail" Perawat itu menjelaskan dimana Maura berada.
"Berarti masih lama ya? Kalau nunggu di sini bolehkah?" Sudah sejauh ini dan Farel tidak mau mundur. Apapun, hari ini harus bisa bertemu dengan Maura.
"Kalau bapak merasa nyaman, silakan aja sih kalau mau nunggu" Farel mengangguk. Nampaknya perawat tadi mengerti juga kalau dia tidak nyaman dengan kondisi di ruangan forensik.
"Hari ini dokter Maura shift pagi ya? Atau mungkin nanti aja saya ketemuannya. Selesai jam berapa ya shift paginya?"
"On schedulle dan kalau gak ada autopsi atau visum dadakan yang harus dikerjain sih jam tiga pak. Dari pak siapa ya? Ada pesen barangkali? Nanti bisa saya sampaikan ke dokter Maura-nya"
"Bilang aja tadi Farel pengen ketemu..." Farel hanya bisa tersenyum walaupun hatinya sekarang terasa masam. Bagaimana nanti reaksi Maura saat mendengar bahwa dia ingin bertemu? Apakah Maura akan marah? Atau terkejut? Farel sendiri tidak bisa membayangkannya.
Setelah menimbang sebentar, akhirnya Farel lebih memilih menunggu Maura di kafe depan rumah sakit. Setidaknya, di sana dia masih bisa merasa nyaman dan tidak terganggu dengan aroma dan suasana di ruang forensik. Dan juga, di kafe itu dia bisa mengerjakan beberapa hal sambil menunggu Maura menyelesaikan shift-nya.
Jam di pergelangan tangan Farel sudah menunjukkan jam setengah tiga. Kurang setengah jam lagi jadwal shift pagi Maura selesai. Posisi kafe itu tepat berada di depan pintu keluar rumah sakit dan Farel memilih duduk di area luar kafe. Alasannya jelas, akan lebih mudah buatnya untuk memastikan Maura sudah keluar rumah sakit atau belum.
Tiga lebih seperempat. Maura belum juga menunjukkan dirinya. Hal ini membuat Farel menjadi sedikit gelisah dan tidak tenang. Berkali-kali dia bangkit dari tempat duduknya, melihat ke sekelilingnya, dan kemudian duduk lagi. Terus berulang seperti itu. Farel hanya khawatir, jika tadi perawat menyampaikan pesannya, lalu Maura memilih pulang lewat jalan belakang rumah sakit atau lewat jalan lain. Entahlah, dia hanya overthinking dengan semua keadaan ini.
Lima belas menit kemudian, mata Farel menatap satu siluet yang dia kenal. Maura berjalan santai sambil membalas senyum kepada orang-orang yang menyapanya. Sedikit bergegas, Farel langsung berdiri dan langsung berjalan ke arah Maura. Sialnya, lalu lintas sore itu sangat ramai, sementara kakinya masih belum bisa diajak untuk berlari. Walaupun sudah mencoba untuk memanggil Maura, tapi suaranya masih kalah dengan deru kendaraan di jalan, hingga akhirnya Farel harus kembali tersenyum getir saat Maura langsung masuk ke dalam taksi yang memang stand by di depan rumah sakit.
***
Selesai mandi dan menyegarkan diri, Maura lantas bergabung dengan Dian yang sekarang sedang nonton televisi. Maura langsung saja merebahkan dirinya di samping Dian. Dia bahkan membawa bantal dan selimut. Dian hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Maura. Biasanya, Maura akan ketiduran dengan membiarkan televisi yang tetap menyala.
"Capek banget ya kelihatannya anak bunda ini.. Hmm.." Dian bergumam sambil mengelus rambut Maura.
"Iya sih bun. Tadi soalnya ada autopsi barengan polisi juga. Biasalah, korban kejahatan tanpa identitas. Trus, kalau autopsinya itu barengan sama polisi, laporannya kan beda. Lebih detail dan rinci" Maura berucap sambil dia terus memakan cheese cookies.
"Ya udah, sekarang istirahat. Jangan ngemilin cookies juga gini. Ntar timbangan badan naik, bunda yang disalahin."
Mendapat peringatan seperti itu, Maura hanya menampilkan cengiran saja. Seperti wanita kebanyakan, berat badan adalah sesuatu yang sangat sensitif. Maura lantas meletakkan toples cookies yang memang sedari tadi dia peluk.
"Eh, bun.. Bunda masih inget gak sama Farel? Dia kapan hari opname lho bun. Mana yang nerima di IGD waktu itu Ara. Huh.. Bikin males sebenernya. Tapi untungnya sih langsung di take over sama dokter Feinya"
"Farel yang udah nyakitin kamu itu? Yang udah jadiin kamu mainan taruhan sama temennya? Lho dia sakit apaan?" Sebagai ibu, Dian memang mengetahui jika putri semata wayangnya itu dijadikan bahan taruhan, tapi Dian belum mengetahui bagaimana dan mengapa akhirnya Maura mau menerima Farel yang telah menjebaknya dan memanfaatkan kesedihannya. Maura masih merahasiakannya dari Dian.
Maura mengangguk, lalu dia kembali berucap
"Kecelakaan sih katanya, bun. Closed fractured di kakinya. Jadi pasiennya dokter Bimo dia sekarang."
"Trus, kamu sendiri gimana? Masih ada rasa gitu sama dia?" Dian menjadi penasaran sekarang. Maura menceritakannya dengan ringan dan tanpa ada nada emosi dalam bicaranya. Sejujurnya, dari hatinya Dian sendiri kurang menyukai pribadi Farel.
"Kalau rasa pengen nonjokin sih ada bun. Cuman kalau Ara pikir, ngapain juga, Ara nyimpen marah sama dia. Jujur, waktu lihat dia lagi, shock juga, tapi sekarang Ara udah gak anggep dia siapa-siapa lagi bunda. Tadi aja perawat bilang kalau dia nyariin Ara waktu Ara lagi autopsi, tapi bodo amat sih"
Dian hanya tersenyum mendengar perkataan Maura. Putrinya itu akan menjadi sangat manja dan seperti anak kecil jika sudah di rumah. Sangat berbeda jika dia di rumah sakit. Mereka berbincang santai, bahkan tanpa Maura sadari, ponsel yang ditaruh di sampingnya terus menerus menyala notifikasinya, menandakan adanya pesan yang masuk. Maura tidak tahu, jika ada seseorang yang tengah menunggu jawaban dan respon atas pesan yang dia kirim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
Storie d'amoreMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...