Part 24

581 44 5
                                    

Dalam tiga hari ini Maura selalu mendapatkan bouquet bunga mawar. Hari pertama bouquet bunga itu dikirimkan ke apartemennya tapi hari kedua dan juga hari ini, bouquet bunga mawar itu dikirimkan ke rumah sakit. Semua kiriman itu dari Farel. Di setiap kiriman bunga itu akan terdapat kartu ucapan yang isinya semua permintaan maaf dan mengajak Maura untuk menerimanya kembali.

Lazimnya, di rumah sakit manapun, ruang forensik biasanya akan monoton. Tidak ada hal yang menarik. Tapi di rumah sakit dimana Maura berdinas, mungkin berbeda cerita. Setidaknya untuk beberapa hari ini, ruangan kerjanya sekarang menjadi lebih berwarna karena bunga-bunga yang dikirimkan oleh Farel akhirnya menghiasi ruang kerjanya.

"Cie... Cie.. Yang dapat kiriman bunga lagi..."

Maura hanya melirik saja ke arah sumber suara. Dia malas meladeni rekan kerjanya yang sangat suka bercanda itu. Sementara, Prima yang baru saja datang langsung menggoda Maura. Sejak Maura rutin mendapat kiriman bunga, ada satu lagi bahan untuk Prima menggoda Maura.

"Waahh.. Kemarin-kemarin kan mawar merah, sekarang ngirimnya ganti. Jadi mawar putih!" Prima langsung saja mengambil satu batang bunga mawar itu lalu mengendusnya.

"Eh, Ra, ini kan harusnya bunga buat lu kan ya? Tapi kalau gue lihat nih, lu kan gak ngasih respon apa-apa sama kiriman bunga-bunga itu...."

Prima menjeda sebentar perkataannya dan Maura yang sedari tadi masih sibuk dengan beberapa berkas laporan, lalu mendongakkan kepalanya, melihat lurus ke arah Prima.

"Hm... Jadi maksud gue, gimana kalau bunga itu buat gue aja? Boleh kan Ra?"

"HAH? Kamu tahu kan bunga itu dari Farel? Kamu mulai suka ya sama Farel? Hm... Kamu u..uudah belok" Maura berujar dengan nada yang sedikit keras

"SEMBARANGAN! Gue masih normal! Tuh buktinya gue bisa buntingin bini gue!" Sontak saja Prima langsung emosi mendengar pertanyaan Maura yang seperti tuduhan baginya.

"Lha kalau emang kamu masih normal, ngapain ngambilin bunga kiriman Farel?"

"Mana mungkin juga gue suka sama Farelius Phiterocantropus Erectus itu! Gue cuman pengen bilang kalau bunga mawar putih itu buat gue aja. Mau gue kasih ke bini gue!"

Maura yang mendengar itu sontak saja tidak bisa menahan tertawanya.

"Astaga Nyo.. Beli sendiri kenapa sih? Masak ngasih istri barang bekas? Kamu itu maunya romantis tapi gak mau keluarin modal. Gitu kan?" Maura yang awalnya duduk, kini berdiri dan berjalan santai mendekati Prima.

"No.. salah! Gue tuh bukannya gak modal atau pelit gitu, enggak! Gue itu cuman menerapkan pola hidup hemat dan cermat. Selagi bisa kita manfaatin dan gak ngerugiin orang lain ya gak masalah kan?"

"Hahaha.. Terserah kamu ajalah, Nyo.. Ambil aja bunganya, cuman aku kasihan yo sama Ani. Gimana kalau dia tahu bunga yang dikasih sama suaminya itu bunga bekas orang lain?" Ujar Maura sambil memasang wajah sedramatis mungkin.

Mendengar jawaban itu, Prima dengan cekatan langsung membungkus kembali bunga-bunga mawar lalu meletakkannya ke dalam kulkas yang ada di ruangan itu. Dia lantas tersenyum saat menutup kulkas yang sekarang berisi rangkaian bunga mawar.

"Gimana gua? Cerdas kan?" Ujarnya bangga sambil menepuk dadanya sendiri dan hanya dijawab dengan gelengan kepala dan kekehan senyum dari Maura.

"Eh, Ra, tuh belatung panuan emang seriusan pengen sama lu lagi ya? Trus lu mau gitu balikan sama gajah kudisan macem dia?" Tanya Prima setelah dia duduk santai di samping Maura.

"Iya, dia pengennya gitu. Padahal kemarin pas dia ngomong langsung ke aku, udah aku bilang kalau aku gak mau sama dia. Gak ada kata balikan, karena yang dulu itu kan dia jadiin aku pacar karena taruhan trus aku nerima dia juga karena dia udah lecehin aku. Cuman kayaknya dia ngotot sih"

"Yes! Lu bener. Dia kayaknya ngotot banget sampe ngirim bunga ke lu tiap hari. Mana bunga mawar lagi yang dia kirim. Harusnya kan bunga deposito, bisa lebih bermanfaat"

Maura menoleh lantas menyipitkan pandangan matanya ke arah Maura. Mendapat respon seperti itu Prima lantas menyahut

"Lha bener kan! Ngirim bunga kayak gituan palingan sehari dua hari doang, trus habis itu layu dan berakhir di tempat sampah. Tapi misal dia ngirim bunga deposito, kan lebih bermanfaat. Kalau misal lu gak mau, lu bisa kasih ke anak yatim, atau panti asuhan atau gimana... Lebih bermanfaat kan intinya"

Satu hal yang sangat Maura syukuri saat dia mendapat rekan kerja dan sahabat seperti Prima adalah bahwa temannya itu selalu mempunyai sudut pandang lain yang mungkin tidak lazim tapi terkadang harus diakui sudut pandang lain itu justru sudut pandang yang paling masuk akal.

***

Maura melangkahkan kakinya dengan santai. Harusnya dia hari ini shift pagi tapi karena ada autopsi dadakan, maka hampir jam enam petang dia baru selesai dengan semua pekerjaannya.

"Ara..." Mendengar namanya dipanggil, Maura menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah sumber suara dan di sana ada Farel yang sepertinya sedang menunggunya.

"Baru selesai ya? Udah mau pulang?" Tanya Farel setelah mereka hanya berjarak satu jengkal.

"Iya, harusnya malah jam tiga tadi. Cuman karena ada kiriman dari kepolisian, dan harus autopsi jadinya ya baru selesai sekarang" Jawab Maura lugas.

'Yuk, aku anterin pulang....."

"DOKTER MAURA....."

Maura dan Farel sedikit terkejut saat ada yang memanggil Maura dengan setengah berteriak. Ternyata Andro yang memanggilnya dengan setengah berteriak tadi.

"Dok, maaf dok, ini kayaknya ada yang harus dikoreksi untuk visum et reportem-nya. Dokter kayaknya belum nulis soal dugaan penyebab kematian korban dok.."

Maura lantas menghampiri Andro dan mengambil berkas yang ada di tangannya. Dia membuka berkas itu lantas tersenyum. Dia lantas menoleh ke Farel

"Iya, ini ada yang tadi kelupaan belum aku lengkapi. Alamat lembur ini... Rel, sorry ya, kamu pulang sendiri gak apa-apa kan? Aku masih harus lengkapi berkas visum ini dulu" Maura berucap dengan nada menyesal ke Farel.

"Oke kalau begitu. Besok aku jemput lagi ya.. " Walaupun sebenarnya kecewa dan merasa berat, tapi Farel menuruti Maura.

"Hm.. Sorry ya Rel.. Anyway, terimakasih lho kiriman bunganya. Ruang kerjaku jadi meriah sejak kamu kirimin bunga terus" Farel tersenyum saja saat Maura mengucapkan terima kasih untuk bunga-bunga yang dia kirim.

Selepas Farel pergi meninggalkan rumah sakit, Maura lalu tersenyum ke Andro dan menyerahkan kembali berkas visum yang tadi dia kerjakan. Tidak ada yang kurang dan tidak ada yang salah dengan laporan itu, hanya saja Andro menambahi dengan kertas kosong lalu menuliskan:

"DOK, PULANGNYA SAYA ANTARIN AJA. GAK USAH SAMA PAK FAREL"

Dan Maura cukup tanggap dengan apa yang dilakukan oleh Andro tersebut.

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang