Part 14

940 55 3
                                    

Sudah genap seminggu dari kejadian dimana Farel dibuat mati kutu dengan pertanyaan Prima dan juga sikap Muara yang seakan tidak terjadi apapun diantara mereka. Tentang Maura yang tidak dengan tegas mengatakan bahwa dia memaafkan atau tidak perbuatannya di masa lalu. Semuanya membuat Farel tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia mau meminta maaf lagi, tapi kenyataannya Maura baik-baik saja. Maura bersikap biasa saja saat dia ada di sekitarnya. Dia mau mencoba untuk mendekati lagi Maura dan menjadikannya kekasihnya, namun Maura juga mengatakan bahwa dia sudah menganggap mati semua orang yang terlibat di masa lalunya. Itu berarti termasuk dirinya. Apakah ini tanda jika Maura sudah menolaknya bahkan sebelum dia menyatakan semuanya?

Jika Farel menjadi overthinking dengan semua kejadian yang ada, maka kebalikannya dengan Maura. Seminggu ini sudah tidak ada lagi pesan masuk di ponselnya atau tidak ada lagi jemputan gratisan lagi. Tidak mengapa, karena memang Maura tidak tergantung dengan keberadaan Farel. Dia masih bisa menggunkan taksi atau angkutan lainnya.

Jam lima sore, tiba-tiba Maura yang sedang tugas jaga, dikejutkan dengan kedatangan Andro. Biasanya polisi itu datang dengan beberapa berkas atau bahkan dengan jenazah dari korban kecelakaan, kejahatan atau jenazah yang tidak diketahui identitasnya, tapi saat ini Andro malah membawa dua goodie bag yang lumayan besar.

"Dok, ini ada titipan dari abang saya yang kemarin ketemuan sama dokter di kafe depan" Ujar Andro sambil menyerahkan titipan oleh-oleh dari Farhan.

"Lho kok? Eh, jangan gini. Kan kenal aja enggak kok ngasih kayak ginian? Gak enak kan saya jadinya" Maura menjadi tidak enak hati saat menerima semua pemberian itu. Dia bahkan baru sekali bertemu dan belum mengenalnya sama sekali.

"Gak apa-apa dok. Mungkin karena dokter kemarin kan bilang kalau pengen ke Jepang, jadinya sama abang saya dibawain ini semuanya."

"Hm.. Gitu ya.. Tolong bilang terima kasih ya sama abangnya pak Andro. Eh, siapa namanya? Saya malah lupa namanya siapa" Akhirnya Maura menerima Japanese Banana Cake, dan satu boneka bantal dengan karakter doraemon yang berukuran lumayan besar.

"Farhan. Nama abang ipar saya Farhan."

"Oh, iya. Sampaikan terima kasih saya ke pak Farhan. Tahu aja kalau saya seneng sama doraemon."

Andro yang melihat bagaimana raut senang dari Maura saat mendapatkan oleh-oleh itu tentu saja ikut merasa senang. Tidak sia-sia dia selalu mengingatkan kakak iparnya itu untuk memberikan Maura sedikit oleh-oleh dari Jepang.

"Eh, dok, ini sebenarnya saya pengen bilang sesuatu sih, cuman takutnya nanti dokter kesinggung atau marah kalau saya ngomongnya" Andro ingin terus terang saja kalau dia berniat menjodohkan Maura dengan Farhan.

Maura mendongakkan kepalanya, melihat Andro lebih intens lagi. Lantas dia berucap

"Bilang aja sih pak. Sepanjang memang enggak melanggar norma atau aturan, saya tidak akan marah. Emang ada apa sih pak? Kayaknya serius banget?"

"Saya tuh pengen deketin dokter sama abang ipar saya itu. Dia orangnya baik kok dok. Cuman ya itu, kesannya kaku dan dingin gitu. Sama kalau lagi marah, dia bisa kayak godzila! Tapi dia baik kok sebenernya"

Maura menautkan alisnya saat mendengar bagaimana Andro berterus terang tentang Farhan. Apa mungkin sudah waktunya baginya untuk membuka hati kembali? Setelah dulu sempat berpacaran dengan Farel, hingga sekarang, Maura memang menutup hatinya untuk pria manapun. Baginya pria itu sama saja. Mereka hanya menjadikannya obyek mainan saja.

"Waduh... Pak Farhannya ganteng gitu, apa ya mau sama saya yang bau formalin gini? Kerjanya sama jenazah"

"Kalau itu, biar urusan saya dok. Gampang kalau itu!"

***

Hampir jam setengah sepuluh malam dan Maura baru saja menyelesaikan semua pekerjaannya. Sekarang dia ada di depan rumah sakit. Entah mengapa, malam itu tidak ada taksi yang biasanya mangkal di sana. Jadilah dia sekarang berdiri sambil memainkan ponselnya. Niatnya akan memesan taksi online, namun tiba-tiba saja seseorang skuter matik mendekat ke arahnya.

"Mau pulang? Yuk Ra, aku antar" Ujar Farhan sambil membuka helm full face yang sedari tadi menutupi wajahnya.

"Oalah.. Mas Farhan tho. Iya nih mas mau balik. Cuman kok tumben ya gak ada taksi. Biasanya mesti ada yang mangkal di sini sih" Jawab Maura sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berharap ada taksi yang datang.

"Nah, ya makanya itu. Yuk, barengan aja sama saya. Daripada nungguin taksi. Ntar malah makin malem lho pulangnya. Gratis kok. Gak pake bayar naik motor saya"

Setelah sedikit menimbang-nimbang, akhirnya Maura menerima juga ajakan dari Farhan. Hari sudah cukup larut, lebih baik jika dia segera pulang saja.

"Oh iya sampai lupa, makasih lho mas oleh-olehnya. Apalagi boneka bantal doraemonnya. Tahu aja kalau saya suka sama doraemon" sebelum naik ke motor Farhan, Maura mengucapkan terima kasih dulu pada Farhan. Sementara itu, Farhan hanya mengangguk sambil tersenyum saja. Dia lalu menyodorkan helm lalu memakaikannya pada Maura.

Bagi Maura, ini adalah pertama kalinya dia menaiki sepeda motor. Maura menikmati sensasi sejuknya angin dan udara malam hari menerpa langsung wajahnya. Ternyata menggunakan sepeda motor tidak semenakutkan yang dia bayangkan selama ini. Hanya saja dia harus berteriak saat Farhan menanyakan arah ke apartemen tempat tinggalnya. Berkali-kali hampir saja Farhan salah mengambil jalan karena suara Maura yang berbaur dengan angin, hingga memaksanya duduk lebih mendekat ke Farhan.

"Nah.. Udah sampai nih kita.. Mau mampir dulu mas?' Maura sekedar berbasa basi menawari Farhan untuk mampir ke unitnya.

"Udah jam sepuluh malam. Nitip salam aja sama bunda. Ntar deh, kapan-kapan saya main" Jawab Farhan kemudian dan dijawab dengan anggukan oleh Maura.

"Jangan lupa bintangnya ya kakak..." Jokes Farhan saat menirukan driver ojek online membuat Maura semakin tertawa lebar.

Maura melangkahkan kakinya sesaat setelah Farhan meningglkan lobby drop off apartemen. Tanpa sadar dia sekarang memeluk erat goodie bag yang berisi boneka bantal doraemon, oleh-oleh Farhan dari Jepang. Senyum juga melengkung di bibir.

Farel yang melihat itu semua dari balik kemudi mobilnya menggeram marah. Seminggu ini dia tidak menjemput Maura dari rumah sakit, tapi setiap hari dia memantau Maura dari jauh. Dia bahkan selalu membuntuti saat Maura pulang dari rumah sakit, terutama di malam hari.

"Lu kenapa jadi kayak cewek murahan gitu sih Ra? Kok lu mau dianter sama orang yang gak lu kenal gitu sih Ra? Kalau emang gak ada taksi, lu bisa kan telpon gue buat jemput lu. Gue pasti dateng...."

"Siapa sih cowok miskin itu? Berani bener deketin Ara! Niat jemput tapi pake motor murahan gitu! Gak bakalan gue biarin dia dapetin Ara!"

Farel pergi dari apartemen dengan membawa perasaan marah. Andai dia tidak ingat kecelakaan yang kemarin dia alami dan menyebabkan kaki kanannya sampai kini masih harus terapi, mungkin Farel sudah membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. 

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang